Sirnanya Makna dan nilai Ramadlan

79

Oleh : Haqie Annazili (Ketua IPNU Kecamatan Plered)
Di tengah spirit zaman (zeitgeist) yang konsumeristik itulah Ramadhan kali ini hadir.
Melihat geliat ruh masyarakat konsumer yang lebih dikendalikan oleh kekuatan hawa nafsu tersebut, maka hampir seluruh energi masyarakat konsumer diorientasikan dan diproyeksikan untuk memenuhi tuntutan hawa nafsu. Karena yang diidealkan oleh hasrat, nafsu dan libido masyarakat konsumer adalah materialisme dan komoditi, maka energi masyarakat konsumer habis dikuras untuk memburu nafsu dan libido-libido tersebut:kekuasaan, kekayaan, keindahan, kepuasan, ketenaran, popularitas, kecantikan, kebugaran, kesenangan dan tak pernah meluangkan sedikit energi untuk perenungan, kontemplasi, muhasabah dan pencerahan spiritual.

Gairah libidinal masyarakat konsumer tersebut jelas bertentangan dengan spirit Ramadhan.
Karena spirit Ramadhan sangat menekankan perlunya mengekang hawa nafsu dan pembebasan jiwa dari beragam belenggu libido.Liarnya nafsu konsumerisme yang tak terkendali itu telah menggerus dan memusnahkan nilai dan makna Ramadhan sendiri.

Dalam spirit hawa nafsu konsumerisme itu, Ramadhan kini justru dijadikan sebagai alat bujuk rayu. Rayuan, menurut Baudrilard (1990), beroperasi melalui pengosongan tanda-tanda dari pesan dan maknanya, sehingga yang tersisa adalah penampakan semata. Sebentuk wajah merayu yang penuh make –up adalah wajah yang kosong makna, sebab penampakan artifisial dan palsunya menyembunyikan kebenaran diri. Apa yang ditampilkan rayuan adalah kepalsuan dan kesemuan. Apa yang tawarkan oleh rayuan bukanlah makna melainkan keterpesonaan, ketergiuran dan ketertarikan yang membangkitkan syahwat seseorang.

Dalam konteks tersebut, apa yang ditampilkan oleh nuansa Ramadhan sekarang ini tidak lain adalah keterpesoanaan dan ketergiuran dalam bingkai bujuk rayu. Nilai yang ada di balik bujuk rayu ritual Ramadhan itu bukan makna dan nilai Ramadhan itu sendiri, melainkan beragam komoditas dan syahwat konsumerisme.

Tawaran yang ada di balik buka bersama, ceramah Ramadhan, kuliah agama, sholat terawih dan sebagainya bukan nilai-nilai spiritual dan sosial yang menjadi esensi Ramadhan tetapi kepentingan ekonomi, politik, industri, kekuasaan dan sebagainya.

Pesan dan makna asli dari ritual Ramadhan bukan lagi beribadah, instropeksi diri dan pencerahan spiritual, melainkan pesan membeli produk, memilih calon bupati, memilih cagub, mengonsumsi ini, membeli itu dan seterusnya. Itulah nasib Ramadhan di tengah peradaban konsumerisme.

Di tengah maraknya pencitraan, pertandaan, kedustaan dan kepalsuan masyarakat konsumer itu Ramadhan masih sering diklaim sebagai ekspresi nilai-nilai keagamaan, benarkah? Wallohu’alam