Cuaca Panas Ekstrim: Refleksi Relasi Manusia Dengan Alam Dalam Kerangka Maqoshid Syariáh

154

Oleh : M. Hilmi Kamil

Beberapa daerah di Indonesia merasakan cuaca panas yang tidak biasa (baca: ekstrim) dibandingkan dengan cuaca tahunan sebelumnya. Menurut siaran pers BMKG pada tanggal 30 September 2023 menyebutkan bahwa, “. . .periode tanggal 2 – 29 September 2023 di beberapa wilayah Indonesia terjadi cukup tinggi dengan kisaran suhu antara 35 – 38.0 °C pada siang hari, dimana suhu maksimum tertinggi selama periode tersebut ada yang mencapai hingga 38.0 °C yang terukur di Kantor Stasiun Klimatologi Semarang – Jawa Tengah pada tanggal 25 dan 29 September 2023, serta di Stasiun Meteorologi Kertajati, Majalengka – Jawa Barat pada tanggal 28 September 2023. Sementara itu suhu maksimum terukur di wilayah Jabodetabek berada pada kisaran 35.0 – 37.5 °C, dimana suhu maksimum hingga 37.5 °C terukur di wilayah Tangerang Selatan pada tanggal 29 September 2023.”

BMKG melanjutkan siaran persnya dengan menjelaskan bahwa cuaca ekstrim tersebut masih akan terjadi di bulan Oktober 2023. Oleh karenanya, masyarakat dihimbau agar menjaga kesehatan, salah satunya menjaga kecukupan cairan tubuh.

Phenomena cuaca ekstrim tersebut dapat direfleksikan dalam kerangka maqoshid syariáh. Dalam maqoshid syariáh terdapat proteksi hikmah yang bersifat prefentif dan represif untuk menghadapi tiap dinamika yang terjadi, khususnya dalam hal ini hubungan manusia dengan alam.

Maqoshid syariáh merupakan “goals” atau tujuan inti dari diturunkannya hikmah/syariáh oleh Allah Swt., baik yang dapat difahami manusia atau yang belum/tidak difahami manusia, yang hanya perlu diimani.

Kriteria goals maqoshid syariáh adalah bersifat primer (utama), sekunder, serta tersier. Yang perlu diperhatikan pertama kali adalah goals yang bersifat primer, yaitu dalam rangka 1. melindungi agama; 2. melindungi diri; 3. melindungi kesehatan akal fikiran; 4. melindungi keturunan; serta 5. melindungi harta. Setiap maqoshid syariáh pasti terkandung kemanfaatan bagi keselamatan manusia di dunia dan di akhirat.

  1. Menjaga Kelestarian Alam Bagian Dari Maqoshid Syariáh
    Baik langsung maupun tidak langsung, setiap prilaku manusia akan diberikan ganjaran oleh Allah Swt. Dampaknya dapat dirasakan baik di dunia atau di akhirat. Dalam konteks balasan di dunia, Allah Swt. Berfirman:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum Ayat 41).

QS. Ar-Rum Ayat 41 tersebut memberikan petunjuk yang tegas mengenai kausalitas, atau sebab akibat dari perbuatan manusia. Frasa “kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia” jelas menunjukkan dampat negatif dari perbuatan manusia terhadap alam/lingkungan yang pasti mengancam eksistensi maqoshid syariáh.

Penggundulan hutan, misalnya, pasti akan mengancam ekosistem alam yang dapat menyumbang dampak negatif pemanasan global. Ketika musim hujan tiba, dampaknya adalah dapat terjadi banjir besar. Selain itu, pencemaran air akibat limbah yang tidak ditanggulangi dengan baik dapat mengakibatkan pencemaran air untuk konsumsi. Pencemaran udara akibat polusi, pasti berakibat terganggunya saluran pernafasan. Semua dampak negatif tersebut merusak sendi-sendi kehidupan manusia secara luas, baik secara fisik maupun psikis.

Oleh karenanya, menjaga kelestarian alam merupakan bagian dari maqoshid syariáh yang tidak dapat dipisahkan demi terwujudnya kehidupan manusia yang selamat dunia dan akhirat, sebagaimana kaidah fiqh berikut:

“Perkara yang menjadi penyempurna dari perkara wajib, hukumnya wajib”

  1. Refleksi Tindakan Prefentif dan Represif dalam Menjaga Kelestarian Alam
    Tindakan prefentif bahasa sederhananya ialah sebagaimana tergambar dalam pribahasa “lebih baik mecegah daripada mengobati”. Tindakan ini mendapat atensi yang baik dalam Al-Quran sebagaimana tergambar dalam kisah Nabi Yusuf.

Nabi Yusuf dikisahkan mendapat tugas untuk menafsirkan mimpi dari raja sebagaimana tergambar dalam Al-Quran:

“Dan raja berkata (kepada para pemuka kaumnya), sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus; tujuh tangkai (gandum) yang hijau dan (tujuh tangkai) lainnya yang kering. Wahai orang yang terkemuka!” (QS. Yusuf ayat 43)

“(Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru), ‘Yusuf, hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu dan mereka mengetahuinya.’ Yusuf berkata, ‘Hendaknya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan. Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan di masa itu mereka memeras anggur.’”(QS. Yusuf ayat 46-49)

Dari kisah di atas dapat dipahami bahwa mitigasi resiko merupakan tindakan yang baik. Karenanya, sebagai umat Islam, Kita wajib mengambil pelajaran di atas. Dalam konteks kehidupan kekiniaan bahwa menjaga kelestarian alam merupakan hal yang wajib dimitigasi kemungkinan buruk yang akan terjadi apabila manusia tidak disiplin dalam menjaganya.

Dalam hal tindakan represif, manusia harus bertanggung jawab memulihkan dampak negatif yang terlajur terjadi akibat merusak alam. Sebagaimana salah satu sabda Nabi Muhammad Saw:

“Semua penyakit itu ada obatnya. Apabila obat tersebut sesuai dengan penyakitnya, penyakit tersebut akan sembuh dengan seizin Allah” (H.R. Muslim)

Hadits tersebut mengindikasikan bahwa setiap dampak negatif/cobaan yang menimpa manusia pasti ada solusinya. Dalam kaitannya dengan alam yang rusak, misalnya penggundulan hutan, pencemaran lingkungan, tentunya harus dilakukan usaha-usaha pemulihan yang tepat. Manusia secara sadar harus bekerja sama dan bertanggung jawab dalam pemulihan lingkungan yang terlanjur rusak/dirusak. Hal ini demi peningkatan dan keberlangsungan kualitas hidup yang layak, sekarang dan yang akan datang.

  1. Peran Negara Dalam Menjaga Kelestarian Alam
    Dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, dijelaskan:“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Oleh karenanya, Negara wajib hadir dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup yang baik. Apabila kelestariannya terjaga, salah satu dampak positifnya ialah terhadap kesehatan warganya.

Secara lebih spesifik, aturan hukum terkait kelestarian alam tercantum dalam beberapa undang-undang, di antaranya adalah: Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 06 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, Undang-undang (UU) Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan jo. Undang-Undang Nomor 06 Tahun 2023, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, peraturan menteri terkait, dan peraturan daerah di tiap tingkatan provinsi, serta kabupaten/kota.

Poin pentingnya adalah negara secara normatif sudah memberikan perlindungan sedemikian rupa dalam bentuk aturan hukum dalam Undang-Undang Dasar 1945, undang-undang, peraturan daerah serta peraturan pelaksananya. Namun yang lebih penting ialah bagaimana merealisasikan aturan tersebut sebagaimana mestinya.

Negara secara prefentif wajib melakukan upaya-upaya sesuai koridor hukum yang telah ditetapkan. Negara melakukan perlindungan terhadap standar baku mutu lingkungan udara, air, dan tanah yang berkualitas. Memaksa setiap orang yang akan melakukan aktifitas yang berpotensi menggangu kelestarian alam, agar bertanggung jawab dan disiplin untuk mengikuti aturan yang tidak melebihi batas yang dibolehkan oleh standar baku mutu.

Negara secara aktif juga harus bertindak represif ketika terdapat pihak yang melanggar batas standar baku mutu lingkungan tanpa pandang bulu, baik personal maupun korporasinya. Hukum pelakunya dengan setimpal atas kejahatan merusak alam!

  1. Penutup
    Sebagai instropeksi diri, Penulis melihat bahwa “mungkin” dampak cuaca panas beberapa bulan terakhir ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perbuatan manusia yang diduga lalai terhadap kewajibannya dalam melestarikan alam.

Melestarikan alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya melindungi masa depan eksistensi kemaslahatan manusia itu sendiri. Oleh karenanya, upaya negara dalam melestarikan alam harus konsisten sesuai dengan aturan hukumnya, selain didukung oleh kesadaran warga dan korporasi terhadap pentingnya keberlangsungan kemaslahatan generasi masa depan.

Sebagai penutup, marilah Kita doakan semoga saudara-saudara yang kekeringan dan terganggu pertaniannya akibat cuaca ekstrim ini diberikan ketabahan. Selain itu, semoga diampuni segala dosa-dosa dan kesalahan Kita agar Allah senantiasa menurunkan rizki keberkahan hujan bagi wilayah yang dilanda cuaca panas ekstrim. Aamiin !

Wallahu a’lam.
Wallahul Muwafiq Ilaa Aqwamithariq.

Oleh : M. Hilmi Kamil
(Kader Gerakan Pemuda Ansor Kota Bekasi) /10 Oktober 2023