Saya Memilih Nahdlatul Ulama, Mengapa?

208

Saya Memilih Nahdlatul Ulama, Mengapa?

Mengapa saya memilih Nahdlatul Ulama sebagai way of life? Mengapa tidak Salafi-Wahabi, Assunah, HTI, FPI, Majelis Mujahidin Indonesia, FUI, dan atau yang lainnya? Secara mendasar tentu hidup itu pilihan. Kita bebas memilih mau ke mana melabuhkan pilihan keberislaman kita, selama di saat yang bersamaan tidak mengganggu, memaksa dan apalagi mengusik pilihan keberislaman orang lain. Pilihan yang selaras dengan hati nurani, disertai alasan logis-historis dan efek maslahat.

Belajar Islam itu penting. Tetapi lebih penting lagi adalah kepada siapa kita belajar? Siapa gurunya, bagaimana sanad (mata rantai) keilmuannya? Belajar di mana guru kita sebelumnya? Kepada siapa guru kita belajar Islam? Adakah cara dan teladan yang kita dapatkan ketika belajar Islam kepada guru tersebut? Apakah manfaat yang didapat? Apakah mampu membuat kita semakin ramah dan berakhlakul karimah? Atau malah sebaliknya, menjadi marah, emosional, membenci orang lain yang berbeda, mau menang sendiri sambil menyalahkan orang lain?

Saya belajar Islam secara kultural karena ikatan keluarga. Belajar Islam kepada orang tua, ayah dan ibu kandung di kampung. Termasuk tradisi yang berkembang di kampung tempat kelahiran. Maka ketika saya belajar kepada orang tua saya, berarti saya belajar kepada NU, karena orang tua saya–secara kultural NU. Ketika saya terus beranjak dewasa, logika dan nalar saya terus berkembang, apakah keberislaman saya kepada NU itu rasional apakah tidak dan seterusnya, proses ini ditelusuri.

Belajar di dan kepada NU adalah keberkahan. Bukan hanya belajar Islam kepada orang yang pandai berceramah. Nah NU itu berkah bukan hanya karena sanad keilmuannya muttashil (menyambung) sampai Walisongo, kepada para sahabat dan Nabi saw. Tetapi juga karena sumber keilmuan, mengaji Al-Qur’an, membaca literatur klasik (kitab kuning) dan segala ilmu yang dipelajari semuanya ada dan sumbernya jelas, siapapun boleh mempelajari. Saya juga mendalami NU bukan hanya karena kuktural-biologis, melainkan melalui pelacakan logis-historis dan konsistensi NU terhadap umat dan bangsa.

NU adalah pendiri bangsa ini. Jangan lihat NU hanya dengan konteks sekarang. Lihat NU secara menyeluruh. Agar jangan sampai ada barisan sakit hati, NU Garis Lurus, pernyataan keluar dari NU dan lain serupanya. Saya kadang kala melihat sendiri, baik dalam dunia nyata maupun maya, orang-orang yang menyatakan saya atau kami NU tapi bukan NU KH. Said Aqil Siroj, bukan NU yang ditunggangi Permadi Arya Abu Janda, bukan NU Gus Dur, bukan NU Syiah, bukan NU Katholik, bukan NU pluralisme, bukan NU Banser/GP Ansor, bukan NU jaga gereja, dan seterusnya. Orang-orang semacamnya ini tidak paham dengan NU. Mereka masih terjebak dengan perspektif bahwa NU itu parsial dan personal.

Saya NU maka saya mengajak agar siapapun bisa belajar tentang, kepada dan di NU. Ini ajakan bukan paksaan. Saya juga belajar Syiah, Ahmadiyah, Kristen, Hindu dll tetapi tidak membuat ke-NU-an saya goyah dan atau malah menjelek-jelekkan umat dan kelompok yang lain yang berbeda. Silakan memilih agama dan ormas apapun. Tetapi jangan lepas dari komitmen bersama kepada PBNU (Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, UUD 1945). Sebab Islam itu agama rasional dan agama teladan. Inspirasi dan ajaran yang ada dalam NU sangat logis. Sejurus dengan Islam akhlakul karimah yang diteladankan Nabi saw. Keislaman yang kokoh bersinergi dengan adat/budaya bangsa Indonesia.

Di NU dan ini yang paling berkesan adalah mampu membuat saya belajar untuk bersikap moderat (tawassuth) dan toleran (tasamuh). Belajar Islam di NU penuh dengan proses, sabar, tekun, tidak terjebak simbol, mengakar sampai ke dalam dan mendorong kita untuk hidup dengan sikap ramah dan akhlakul karimah. Jadi buat apa kita beragama dan atau belajar Islam tapi tidak mampu membuat kita menjadi moderat, toleran, ramah dan berakhlakul karimah? Belajar Islam kok instan, terjebak pada aksesoris (jenggot panjang, bicara semi arab, jubah, cadar, jidat hitam, celana cingkrang dll).

Mustahil Islam membenci agama dan kepercayaan lain. Karena Islam pasti rahmatan lil’alamin, mengasihi siapapun, tak pandang apakah dia beragama atau tidak sekalipun. Mustahil Islam mendorong pemeluknya menjadi pemarah, main kekerasan, membenci, memfitnah, menyebar hoaks. Mustahil Islam mengharamkan cinta tanah air (nasionalisme) dan tradisi bangsa Indonesia. Maka ini pengingat saya untuk sebagian kecil umat Muslim di luar NU yang hanya belajar Islam dari internet, dari potongan video ceramah seorang dai, dari ceramah dalam televisi parabola.

Wallaahu a’lam

Mamang M Haerudin (Aa)
GP Ansor Kabupaten Cirebon

Pesantren Bersama Al-Insaaniyyah, 9 Februari 2019, 10.54 WIB