PROGRAM DAN STRATEGI PEMBELAJARAN UNTUK SEMUA ANAK

77

Oleh: Robiansyah. STU, S.Pd., M.Pd. (Praktisi Pendidikan dan Dosen Pendidikan Khusus UPI)

Program pembelajaran dan strategi pembelajaran merupakan salah satu kesatuan dalam proses kegiatan belajar dan mengajar (KBM) di sekolah. Sebelum masuk pada inti permasalahan yang akan dijabarkan, terlebih dahulu saya ingin menggambarkan paradigma menghadapi persoalan pendidikan anak dari sudut pandang yang lebih humanistik, yakni dengan memperlakukan peserta didik secara holistik dan lebih menghargai hak-hak anak sebagai seorang manusia dengan memusatkan perhatian pada kebutuhan belajarnya. Layanan pendidikan untuk anak ini tidak didasarkan atas kecacatannya dan/atau hambatan-hambatan belajar dan perkembangan lainnya, tetapi lebih difokuskan pada kebutuhan khususnya atau tahap perkembangannya.
Berdasarkan paradigma tersebut, maka anak seyogyanya tidak dipisahkan dari komunitasnya; mereka sebaiknya belajar bersama-sama dengan teman sebayanya di sekolah reguler untuk memperoleh layanan yang sesuai dengan kebutuhan khususnya. Pemikiran inilah yang selama ini dikenal dengan pendidikan inklusif yang memayungi pelaksanaan sekolah inklusif, yaitu sekolah yang menghargai keragamanan anak didik tanpa diskriminasi dengan memberikan layanan pendidikan yang menguntungkan semua anak sehingga menjadi landasan untuk menuju terbangunnya masyarakat inklusif.
Untuk merealisasikan layanan pendidikan yang sesuai dengan kemampuan setiap anak dari masing-masing kelompoknya di kelas sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, maka sebaiknya kita menggunakan strategi pembelajaran yang mendasarkan pada keberagaman (Differentiation) kemampuan belajar mereka yang berbeda-beda. Strategi pembelajaran ini dapat diterapkan dengan efektif melalui perubahan atau penyesuaian antara kemampuan belajar mereka dengan harapan/target, alokasi waktu, penghargaan/hadiah. tugas-tugas/pekerjaan, dan bantuan yang diberikan pada anak-anak dari masing-masing kelompok yang beragam, meskipun mereka belajar dalam satu kelas, dengan tema dan mata pelajaran yang sama.
Saya contohkan. Misalnya, harapan atau target belajar matematika untuk anak kelas III SD yang cepat belajarnya (high function learners) adalah memahami dan mampu menggunakan perkalian dalam soal ceritera dengan analisisnya pada tahapan berpikir abstrak, sedangkan untuk anak-anak yang kemampuan belajarnya rata-rata (average performers) mempelajari perkalian hanya sampai ratusan pada tahapan semi konkrit, dan untuk anak yang lambat belajarnya (slow learners) mengenali perkalian baru sampai puluhan dengan tahapan konkrit, serta bagi anak autis mempelajari matematika sampai ratusan dengan lebih banyak memfokuskan pada keunggulan visual thinkingnya (pemahaman konsep melalui pengamatan dengan bantuan gambar, kode, label, simbol atau film dan sebagainya).
Demikian pula dalam alokasi waktu, penghargaan/hadiah. tugas-tugas/pekerjaan, dan bantuan yang diberikan juga disesuaikan dengan tahapan perkembangan belajar dari masing-masing kelompok tersebut. Jadi proses layanan pembelajarannya bukan didasarkan pada bentuk layanan sama rata, sama rasa dan disampaikan secara klasikal, tetapi diarahkan pada pembelajaran yang lebih demokratis dan proporsional sesuai dengan harapan dan target belajar dari masing-masing kelompok anak tersebut, dan proses belajar anak-anak tersebut tidak dipisahkan berdasarkan kelompok atau dipisahkan dari komunitasnya, melainkan mereka belajar bersama-sama dengan teman sebayanya di dalam kelas reguler.
Apabila program dan proses belajar anak didik disesuaikan dengan keberagaman dari setiap kelompok tersebut, maka semua anak dalam kelas yang sama itu dapat mengikuti proses belajar sesuai dengan porsinya masing-masing. Siswa yang belajarnya cepat tidak harus mendapatkan materi pelajaran dan alokasi waktu belajar yang sama dengan teman-teman sebaya pada umumnya (average group) atau sama dengan temannya yang lebih lambat belajarnya atau sama dengan temannya yang autis. Sebelum mereka berpartisipasi dalam belajar secara penuh, anak perlu meyakini bahwa mereka bisa belajar. Untuk menumbuhkan keyakinan tersebut pada semua anak, maka mereka memerlukan sebuah reward (penghargaan, hadiah dan sejenisnya). Pemberian reward ini sangat diperlukan oleh semua anak untuk mengembangkan harga dirinya (self-esteem) dan identitasnya. Khususnya buat anak-anak yang lambat belajarnya, dengan memperoleh reward pada setiap langkah selama menyelesaikan pekerjaan dan proses belajarnya, maka membuat mereka menjadi lebih percaya diri dalam mengerjakan tugas atau pekerjaannnya. Dengan kata lain, anak harus dihargai apa adanya. Mereka harus merasa aman, bisa mengekspresikan pendapatnya dan sukses dalam belajarnya. Ini membantu anak menikmati belajar dan guru bisa memperkuat rasa senang ini melalui penciptaan kelas yang lebih ‘menyenangkan’. Di kelas seperti itu, harga diri anak ditingkatkan melalui reward (penghargaan/pujian); di dalam kelompok ini anak yang kooperatif dan ramah didukung; sehingga anak merasa sukses serta senang belajar sesuatu yang baru.
Begitu juga bantuan dan bimbingan pada anak yang cerdas pun, tetap perlu diberikan walaupun tidak sebanyak dan seintensif yang diberikan pada anak autis dan anak-anak lain yang lebih lambat belajarnya. Pada anak-anak autis dan yang lambat belajarnya membutuhkan bimbingan pada setiap tahapan belajarnya. Jadi, apabila strategi dan atmosfir proses belajar seperti telah dijelaskan tersebut dapat direalisasikan dengan optimal, maka dapat mengantarkan semua anak untuk mencapai proses belajar yang menyenangkan bagi semua anak tanpa adanya diskriminasi (joy of learning dan fun of learning). -Semoga Bermanfaat-