NU dan POLITIK

594

Tidak terasa rangkaian pesta demokrasi mulai pilkada sampai dengan pemilihan umum semakin dekat, walaupun aktifitas politik sebenarnya bukan hanya pilkada, pemilu dan pileg, tapi momen-momen itulah yang menjadi banyak perhatian dan melibatkan masyarakat banyak. Menyikapi rangkaian agenda politik tersebut Nahdlatul Ulama (NU) sebagai lembaga (organisasi keagamaan & kemasyarakatan) sudah mengambil sikap yang tegas yaitu khittah yang secara sederhana berarti bahwa NU sebagai Ormas tidak bersinggungan langsung dengan politik praktis. Namun demikian NU tidak bisa hanya berpangku tangan menyaksikan aktifitas politik praktis begitu saja, Prof. Kacung Marijan mengatakan,

“Meski NU sudah menyatakan diri tidak berhubungan dengan politik praktis, namun NU tidak bisa begitu saja lepas dari dunia politik. Sebab bagaimanapun NU harus memikirkan nasib warganya yang akan menjadi objek kebijakan politik”.

Pertanyaan berikutnya adalah sikap politik bagaimanakah yang harus dilakukan NU ?

NU sebagai lembaga sebenarnya sudah memberikan pedoman dan rambu-rambu yang jelas tentang bagaimana warga NU berpolitik, yaitu hasil Muktamar ke-28 di Krapyak Yogyakarta tentang Sembilan Butir Pedoman Politik NU sebagai berikut :

  1. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai

dengan Pancasila dan UUD 1945.

  1. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat adil dan makmur lahir dan batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat.
  2. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban, dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.
  3. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama

haruslah dilakukan dengan moral, etika, dan budaya yang Berketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

  1. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.
  2. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkukuh konsensus-

konsensus nasional, dan dilaksanakan sesuai dengan akhlaqul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah.

  1. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama, dengan dalih apa pun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah-belah persatuan.
  2. Perbedaan pandangan di antara aspirasi-aspirasi politik warga Nahdlatul Ulama harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu’ dan saling menghargai satu sama lain, sehingga dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama.
  3. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama

menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.

Disamping itu pendapat-pendapat lain bermunculan setidaknya dari tokoh NU sendiri.

Masih menurut Prof. Kacung Marijan, “Politik yang dimainkan NU tidak boleh sama dengan yang dimainkan partai politik. NU menggunakan politik tinggi, jika parpol selalu bekerja untuk merebut dan mempengaruhi kekuasaan, NU tidak boleh

seperti itu. Politik NU hanyalah mempengaruhi kekuasaan, tanpa harus ikut-ikutan merebut kekuasaan, jika NU ikut-ikutan merebut kekuasaaan maka apa bedanya dengan partai politik. Dengan demikian NU harus bisa mempengaruhi kebijakan negara yang dapat menguntungkan warganya.

Tidak jauh berbeda dengan pendapat Kacung Marijan, Gus Mus (KH. Musthofa Bisri) menjelaskan tentang tiga konsep gerakan politik bagi warga NU, Pertama, Politik Kebangsaan, gerakan ini menekankan agar warga NU menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Nahdliyin harus berkeyakinan sebagai orang Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang kebetulan ada di Indonesia. Kedua, Politik Kerakyatan.

Bahwa orang-orang NU yang dipimpin oleh para ulama harus memiliki kepekaan terhadap umat, baginya alasan utama seorang alim disebut kiai karena peka dan sikap kasih sayang terhadap umat. Ketiga, Politik Kekuasaan. Atau Politik Praktis, justru gerakan politik inilah yang banyak diminati orang NU, sehingga yang terjadi saling jegal dan saling nyalip dan yang menjadi korban adalah warga NU yang terombang-ambing kebingungan.

Kedua pendapat tokoh NU di atas yang saya tangkap merupakan bentuk penafsiran terhadap Sembilan Butir Pedoman Politik NU hasil Muktamar Krapyak, lalu bagaimanakah sikap politik kita sebagai Nahdliyin selama ini ?

Kiai Berpolitik ?

Kiai sebagai bagian dari Nahdliyin dan panutan umat sepak terjangnya senantiasa menjadi perhatian publik. Membicarakan kaitan kiai dan politik praktis bak cerita bersambung yang selalu ditunggu kisah lanjutanya, ketertarikan publik melihat sepak terjang kiai di ranah politik mungkin disebabkan oleh citra keduanya, dunia politik praktis yang sudah kadung dicitrakan “kotor” dan dunia kiai sebaliknya. Opini yang berkembang tentang keterlibatan Kiai dalam kancah politikpun beraneka ragam, setidaknya mengerucut kepada 4 opini : Pertama, karena citra politik dianggap kotor dan kiai sebaliknya maka kiai harus bisa masuk didalamnya mengajak mereka menjadi lebih baik (ladang dakwah), dengan alasan kalau yang kotor-kotor itu dibiarkan maka kiai ikut berdosa karena berdiam diri melihat kemunkaran yang

merajalela. Kedua, sebaiknya kiai menghindari politik praktis, kalau kiai masuk didalamnya dikhawatirkan merusak citra kiai yang maqomnya bukan di dunia politik, bahkan banyak pesantren yang terbengkalai karenanya. Ketiga, terserah kiainya, mau masuk politik atau tidak toh semua hal harus dipertanggungjawabkan. Keempat, sebaiknya sebelum kiai berpolitik dikaji terlebih dahulu kemampuan dan medan yang akan dihadapi, jika memang dapat membawa kemaslahatan umat, berpolitik lebih baik dalam kondisi seperti ini, sebaliknya justru malah nantinya terseret arus sebaiknya tidak masuk.

Tinggal beberapa bulan lagi agenda politik itu akan datang, bagi kader-kader NU atau yang mengaku kader NU yang mau atau bahkan sudah menjadi politisi sudah

sepatutnya mengikuti petunjuk-petunjuk berpolitik yang sudah digariskan oleh para sesepuh NU, mari kita saksikan bersama bagaimana kelanjutan cerita bersambung itu, selamat menyimak…

Afwan, Wallahul Muwafiq Ila Aqwamitthariq…

Sumber Bacaan :
1.Majalah Nahdlatul Ulama AULA, No. 03Tahun XXIX Maret 2007
2.Majalah Nahdlatul Ulama AULA, No. 02Tahun XXX Pebruari 2008

Oleh : Ahmad Khotib
(Khodimul Ma’had Raudlatuttholibin, Cisetu Rajagaluh Majalengka )