Jejak Perumusan Pancasila Menuju Dasar Negara

163

Oleh : Karyudi
1 Oktober, Hari yang diperingati sebagai hari kesaktian pancasila ini mengingatkan kita pada pergumulan proses panjang perumusan Pancasila sebagai kesepakatan menjadi dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga Pancasila harus menjadi pusaka negeri ini tidak boleh ada yang menggesernya atau bahkan menggantinya dengan ideologi apapun. Dan demi alasan apapun.
Pada suatu hari yang bersejarah, di kediaman Muhammad Yamin, terjalinlah percakapan penting yang akan menjadi titik tolak bagi pembentukan dasar negara Indonesia, Pancasila. Dalam momen tersebut, hadirlah beberapa tokoh besar seperti Wahid Hasyim, Kiyai Masykur, Kahar Muzakkir dari Yogyakarta, dan yang tak kalah penting, Bung Karno.
Ketika Bung Karno tiba, percakapan yang sedang berlangsung pun terhenti, dan dia bertanya, “Ada apa?” Wahid Hasyim pun memberanikan diri untuk berbicara, “Kami ingin dasar Islam, tetapi jika dasar Islam dijadikan dasar negara, negara ini mungkin akan pecah. Bagaimana caranya agar umat Islam bisa bela tanah air tanpa membuat negara ini pecah?”
Bung Karno yang bijaksana merespons, “Mari kita tanyakan kepada Yamin, bagaimana pandangan beliau tentang tanah Jawa dan tanah Indonesia ini.” Yamin kemudian menceritakan bahwa zaman dulu, orang Jawa memiliki kebiasaan pergi ke pinggir sungai, pohon besar, atau tempat-tempat lain untuk bersembahyang dan meminta berbagai hal kepada Tuhan. Mereka mencari keselamatan dan berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan.
Bung Karno menyadari bahwa rakyat Indonesia selama ini sudah mencari Tuhan dalam hidup mereka, meskipun mereka mungkin tidak tahu di mana Tuhan itu berada. Kemudian, Bung Karno menyimpulkan, “Jadi, bangsa kita selama ini telah hidup dalam ketuhanan. Zaman Jawa adalah zaman ketuhanan, begitu juga dengan Islam. Ketuhanan adalah akar dari budaya kita.”
Namun, Wahid Hasyim menekankan pentingnya adil dalam menjalankan ajaran Islam. Dia berpendapat bahwa kemanusiaan boleh saja, tetapi harus adil. Tidak boleh ada perlakuan tidak adil terhadap siapapun, bahkan jika itu melibatkan orang terdekat.
Bung Karno juga menyoroti nilai-nilai kemanusiaan dalam budaya Indonesia. Dia menggambarkan bagaimana orang Indonesia dulu sangat toleran dan suka menolong satu sama lain. Mereka menjalankan gotong royong dan saling membantu dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, Bung Karno membahas pentingnya musyawarah dalam budaya Indonesia. Musyawarah merupakan cara orang Indonesia mencapai kesepakatan dalam berbagai hal, baik dalam perkawinan, penamaan anak, hingga penyelesaian masalah di masyarakat. Ini adalah contoh bagaimana rakyat Indonesia selalu mengedepankan kerjasama dan perikemanusiaan.
Tidak hanya itu, solidaritas sosial juga menjadi nilai yang sangat penting dalam budaya Indonesia. Orang Jawa dulu suka berbagi dengan tetangga mereka, bahkan jika itu hanya garam atau cabe. Ini mencerminkan semangat tolong-menolong dan gotong royong yang telah menjadi bagian dari budaya Indonesia.
Bung Karno akhirnya mengusulkan Pancasila sebagai dasar negara. Dia mengingatkan semua orang untuk tidak mengacaukan Pancasila dan menjaga nilai-nilai yang telah mereka diskusikan. Dalam momen tersebut, Indonesia menemukan landasannya: Pancasila, yang mencerminkan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, kerjasama, dan solidaritas sosial yang telah menjadi bagian integral dari budaya dan sejarah Indonesia.
Akan tetapi, Sejarah pembentukan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia adalah perjalanan panjang yang penuh dengan perdebatan dan kompromi. Bahwa, penggodokan Pancasila memunculkan polemik-polemik di kalangan tokoh-tokoh yang terlibat. Ini mendorong Soekarno untuk memanggil panitia 62 yang kemudian membentuk panitia kecil terdiri dari sembilan orang.
Panitia ini bertugas untuk mencari potensi kompromi lebih lanjut antara Islam dan nasionalisme, dan di dalamnya, Wahid Hasyim hadir sebagai perwakilan dari Nahdlatul Ulama (NU).
Hasil dari upaya panitia kecil ini adalah penambahan frasa pada dasar negara yang mengenai ketuhanan, yang kini berbunyi, “dengan kewajiban menjalankan syari’at bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.” Namun, perdebatan tidak berhenti di situ. Ki Bagus Hadikusumo mempertahankan pandangannya agar Islam dijadikan dasar negara berdasarkan ajaran Islam secara utuh, termasuk aspek iman, ibadah amal shaleh, dan jihad.
Perdebatan antara KH. Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, dan Kahar Muzakkir, yang merupakan tokoh-tokoh Islam yang sangat berpengaruh, akhirnya menghasilkan Piagam Jakarta. Namun, perdebatan tersebut tidak hanya melibatkan tokoh Islam.
Tokoh nasionalis sekuler dan Kristen, seperti Latuharhary, juga ikut ambil bagian dalam perdebatan. Mereka khawatir bahwa pengenalan syari’at akan menimbulkan masalah bagi agama-agama lain dan adat istiadat.
Dari sudut ini kemudian, Kiai Wahid Hasyim akhirnya menciptakan sebuah rumusan cerdas yang memadukan elemen sekuler dan monoteistik, yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Rumusan ini menjadikan persatuan nasional sebagai aspek yang paling penting.
Dalam pandangan Wahid Hasyim, pertanyaan yang terpenting bukanlah “Dimanakah akhirnya tempat Islam (di dalam negara itu)?” tetapi “Dengan jalan manakah kami akan menjamin tempat agama kami di dalam Indonesia merdeka?” Hal ini menggambarkan tekad untuk menjaga persatuan bangsa di atas segala perbedaan agama.
Pendekatan yang cerdik ini juga mendapat dukungan dari Moch. Hatta, yang menyadari bahwa semangat Piagam Jakarta tidak akan hilang dengan menghilangkan frasa mengenai syari’at Islam bagi pemeluknya. Sebaliknya, mereka menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa,” yang mencerminkan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Dengan demikian, para pendiri bangsa melakukan kesepakatan bersejarah dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUKI). Mereka berhasil membentuk dasar negara yang mencerminkan nilai-nilai monoteistik dan sekuler yang selaras dengan nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat Indonesia, terutama dalam konteks ajaran Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk.
Pancasila, dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” dan prinsip “Ketuhanan Yang Maha Esa,” mengukuhkan persatuan dan keberagaman sebagai landasan kuat negara Indonesia yang kita kenal hari ini.
Sebuah perjalanan yang panjang, namun menghasilkan dasar negara yang kokoh dan berakar dalam budaya dan sejarah bangsa Indonesia. maka tidak ada alasan apapun untuk menggantikan ideologi Pancasila sebagai dasar negara dengan ideologi apapun kecuali mereka yang mencoba berbuat makar terhadap negeri ini.