Ketika Manusia Merebut Kuasa Tuhan

68

Oleh : Iin Sholihin (Ketua Bidang Organisasi, Ideologi dan Kajian Strategis PAC GP Ansor Kec.Panguragan)

Tujuh tahun lalu, tepat pada tahun 2016, seorang kawan pernah bercerita trauma psikologis masa lalunya ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Masih teringat betul di memorinya, saat ia beserta teman sejawatnya dihujat, dimaki dan bahkan diteror, baik verbal atau fisik.

Ia pernah saat sedang salat di masjid, ada sekelompok orang yang melempari bebatuan. Padahal, pembangunan masjid sudah mendapatkan izin dari pemerintah setempat.

Memori buruk itu masih membekas sampai ia tumbuh dewasa. Ia merasa takut untuk mengekspos kepribadiannya kepada orang lain. Rasa takut akan diteror dan dilabeli sesat menjadi momok terbesar dalam hidupnya.

Kejadian itu bermula dari adanya fatwa “sesat” ormas yang dianutnya. Kawan saya itu menjadi bagian dari ormas Ahmadiah. Yakni ormas yang ramai dilabeli “sesat” oleh beberapa kelompok yang tidak sejalan cara pandang dalam beragama.

Kawan saya itu mungkin salah satu korban dari sekian puluh orang atau bahkan ratusan yang pernah mengalami kejadian seperti itu. Korban keegoisan orang-orang yang memonopoli kebenaran.

Fenomena mengkafirkan atau menyesatkan sering kali kita jumpai di berbagai daerah. Kebiasaan ini seperti sudah menjadi hobi ketika melihat perbedaan sudut pandang dalam beragama.

Fenomena penyesatan dalam Islam

Fenomena labeling “sesat” kepada orang lain sudah ada sejak zaman para sahabat nabi. Kejadian ini tumbuh berkembang pasca wafatnya sang pembawa risalah, Nabi Muhammad. Generasi yang bergaul secara intens dengan nabi, menjadi awal mula kemunculan labeling sesat antar umat Islam.

Sejarah mencatat, pertikaian sosial politik berakibat pada wilayah ideologis. Puncak dari fitnah itu adalah saat terbuhuhnya khalifah Utsman bin Affan. Kemudian berkembang pada waktu peristiwa tahkim dan berdirinya Dinasti Umayyah.

Imbas dari pertikaian idelogis tersebut munculnya tiga kelompok besar sebagai aliran keagamaan pertama dalam Islam. Yakni Syiah, Khawarij dan Murji’ah. Masing-masing kelompok ini saling mengklaim kebenaran pandangannya dan menganggap keliru pandangan kelompok lainnya.

Konflik dan klaim kebenaran ini semakin menyedihkan ketika dimensi kekuasaan turut melakukan intervensi. Bukti nyata terjadi pada masa Dinasti Abbasyiah ketika pemerintah mengakui Mu’tazilah sebagai aliran ideologi resmi negara.

Pada saat itu, ada sebuah peristiwa sangat memilukan yang dikenal dengan “mihnah” atau uji ideologi. Setiap tokoh akan ditanya tentang pandangan ideologinya dengan satu isu teologis, tentang kemakhlukan Alquran. Jika pandangannya tidak sesuai dengan ideologi Mu’tazilah, akan dikenakan hukuman oleh kerajaan.

Klaim kebenaran tafsir tunggal Alquran

Umat Islam sepakat menjadikan Alquran sebagai sumber hukum Islam pertama. Di samping itu, Alquran juga merupakan pandangan fondasi utama dalam berbagai hal.

Umat Islam yang meninggalkan Alquran dan mengakui keberedaannya dapat dianggap telah meninggalkan Islam. Keyakinan tersebut sudah final dan tidak bisa diganggu gugat.

Maka, tidak mengherankan jika suatu kelompok menggunakan Alquran sebagai alat pembenaran pandangannya sendiri dan menyalahkan pandangan orang lain. Seakan-akan Alquran hanya memliki tafsir tunggal yang dianggap sebagai pembenaran kelompok tertentu.

Padahal, karakteristik Alquran bersifat universal dan terbuka. Artinya Alquran bisa ditafsirkan dan dipahami dengan beragam sudut pandang.

Alquran ibarat mutiara. Cahaya yang terpantulkan dapat dilihat dari berbagai macam sisi. Cahaya dari semua sisi itu merupakan kebenaran individual dari setiap orang yang melihatnya. Tidak bisa cahaya dari satu sisi dianggap sebagai kebenaran tunggal.

Begitu pula tafsir terhadap Alquran. Satu tafsir atau pemahaman dari kelompok tertentu tidak bisa diyakini sebagai kebenaran tunggal. Sehingga, pemahaman tersebut dinilai paling merepresentasikan kepentinga Allah yang sebenarnya.

Paradigma seperti inilah yang menjadi pokok persoalan penyesatan dalam Islam. Letak kesalahannya bukan penggunaan ayat-ayat Alquran sebagai landasan hukum, melainkan pada tataran klaim kebeneran tunggalnya.

Sebab dalam hal ini, manusia secara tidak sadar telah menganggap pandangannya sebagai kebenaran mutlak. Padahal, kebenaran mutlak Tuhan itu sendiri. Artinya manusia yang demikian sama halnya telah merebut kuasa Tuhan. Miris Bukan?