Menjadi Santri Kekinian

474

Menjadi Santri Kekinian

(Sebuah Curhat Terbuka kepada Diri Saya dan Teman-Teman Semisal Saya)

Oleh: Hilmi S Fuadi (Nahdliyyin Garis Imut)

Sebagai orang yang kebagian menjalani hidup di era milenial, ditakdirkan untuk menjadi warga Indonesia serta terlahir di tengah lingkungan muslim, tentu saja kita wajib mempersembahkan berjuta-juta syukur. Apalagi, jika ditambah fakta bahwa kita sedang menjalani nasib mulia–berjuang agar layak mendapat kehormatan pangkat “santri”, maka semakin berlipat gandalah kewajiban bersyukur itu.

Generasi milenial, penduduk bumi pertiwi, terlahir di kalangan muslim dan berjuang menjadi santri; beberapa poin di atas adalah nikmat agung yang tidak akan pernah tuntas kita syukuri.

Namun tanpa mengurangi perasaan syukur tersebut, harus tetap kita ingat bahwa setiap kondisi dan keadaan–konteks–pasti memiliki plus-minusnya masing-masing. Tidak ada yang sempurna di muka bumi ini. Dan dunia memang bukanlah tempat di mana kita dapat menemukan surga; pasti selalu kita temukan lubang dan kurang.

Begitu pula ketika kita menjadi muslim di Indonesia dan berada pada zaman yang diisi oleh generasi milenial ini, dengan segala kemajuan sains dan teknologinya, akan selalu ada sisi cacat dan lemah. Bahkan jika kita menilik lebih lanjut, tantangan yang dihadapi kaum sarungan pada zaman kekinian boleh dibilang memiliki tingkatan kesulitan tersendiri.

Mereka yang menjalani karir kesantriannya saat ini tak lagi dibenturkan dengan situasi penjajahan kolonial. Mereka juga tak lagi dipersulit oleh nihilnya akses dan fasilitas. Mereka–atau tepatnya kami–saat ini justru harus berjuang melawan kemegahan fasilitas, keistimewaan akses dan keamanan serta kenyamanan yang melenakan.

Bayangkan saja, beberapa hal yang dimimpikan dan diperjuangkan oleh para pendahulu, justru saat ini–dalam beberapa titik–hal tersebut malah menjadi musuh dan rintangan yang amat membahayakan. Bukan berarti berbagai fasilitas yang menunjang dan kondisi nyaman itu harus sepenuhnya kita buang, bukan juga kenyamanan dan fasilitas tersebut tak memiliki manfaat sama sekali. Namun yang pasti, nyaman terlalu dekat dengan manja dan fasilitas terlalu akrab dengan malas. Hal inilah yang menjadi tantangan kita sesungguhnya.

Kita saat ini tak perlu lagi mengangkat senjata dan bercucuran darah. Kita juga tak lagi harus membagi waktu untuk mengaji dan memasak sendiri. Sekarang juga sudah ada ATM, sehingga ketika uang saku sudah menipis, kita tak harus jauh-jauh pulang.

Hal terbesar yang menjadi gangguan kita saat ini, bukanlah sesuatu yang berada di luar kita; melainkan adalah diri kita sendiri. Penyakit-penyakit khas kaum milenial seperti kecanduan teknologi (medsos, selfie, info hoax, game, gadget, dll), tergoda pergaulan cabe-cabean, sikap manja, rasa malas dan penyakit-penyakit lainnya; itulah yang harus kita kalahkan.

***

Namun begitu, masalah kita bukan hanya itu saja. Perjuangan tak cukup sampai di sana. Selebihnya dari gangguan-gangguan yang disebut di atas, kita juga ditunggu oleh tugas yang luar biasa berat. Amanah ilmiah yang telah diwariskan oleh para ulama terdahulu, harus kita dalami dan lanjutkan demi berlangsungnya transmisi keilmuan antar generasi.

Selain pula menghadapi badai ekstremisme/takfirisme yang semakin kondang di tanah air tercinta ini, kaum sarungan juga diharuskan memiliki sikap progresif dalam semangat merelevansikan substansi ajaran Islam pada konteks kekinian. Kaum sarungan tak boleh jumud dan ketinggalan, bahkan seharusnya merekalah yang senantiasa menjadi teladan bagi peradaban.

Namun faktanya selama ini, sejak dimulainya kemunduran tradisi intelektual umat Islam, kita selalu saja terseok-seok kelimpungan. Alih-alih menjadi sosok terdepan memimpin peradaban, kita lebih gemar terjebak di tengah gelombang perkembangan zaman. Daripada menjadi pahlawan yang memberikan jawaban, kita malah terkesan lebih hobi menjadi sumber persoalan.

Kenyataan ini sungguh pahit dan jauh dari harapan. Bahkan, hal ini jelas saja menyelingkuhi tujuan dan fungsi agama sebagaimana yang kita pahami. Kita juga harus mulai peka serta berpikir ke arah ini.

Stereotip klasik yang mengatakan bahwa santri yang pulang dari pesantren hanyalah memiliki masa depan menjadi “ustadz”, saya sendiri tidak sepenuhnya sependapat. Lebih dari sekadar mengajar dan berceramah, saya mengidamkan kaum sarungan dapat menjadi pengisi peradaban serta penggerak masyarakat. Atau dalam bahasa al-Qur’an, ia harus bisa menjadi khalîfah fil-ardl.

***

Dengan penyakit-penyakit khas milenial yang telah saya sebut terdahulu, maka degradasi kualitas kaum sarungan menjadi tak dapat terhindari. Jika santri-santri terdahulu menginjakkan kaki di pesantren sudah dengan bekal dasar-dasar fikih, tauhid, nahwu dan sharafnya, maka saat ini kita temui “santri baru” dengan kepolosannya tentang ilmu agama. Masuk ke pesantren, ia mulai dari alif, ba, ta.

Dan bukan hanya polos dari pengetahuan agama, “santri-santri” baru di zaman kini juga sudah dilengkapi dengan fitur-fitur kenakalan yang semakin wah dan beragam. Saya tidak akan menyebut lebih jauh tentang ini. Cukup saja kita yakini bahwa tantangan yang dihadapi oleh seluruh elemen kepesantrenan hari ini sungguhlah tidak mudah.

Kenyataan ini membuat proses pengajaran di pesantren jelas mengalami penurunan. Para kiai pun harus menyocokkan materi yang diajarkannya dengan kualitas dan kesiapan murid. Maka dengan ini, seharusnya kita tahu bahwa waktu yang dibutuhkan untuk menyerap pelajaran pesantren dengan utuh menjadi lebih panjang dan lama.

Lalu apa kabar fakta yang terjadi? Apalagi ditambah dengan hiruk pikuk wacana FDS, ah, kita sama-sama tahu apa yang saya pikirkan. Dan memang benar. Pada akhirnya, permasalahan ini menjadi begitu kompleks. Terlalu banyak kendala, terlalu banyak yang harus dikerjakan, juga terlalu banyak pihak yang harus bekerja sama.

Namun setidaknya, jika kita telah memiliki kesadaran ke arah sana, tidak ada salahnya, bukan, jika kita mengerjakan apa yang kita bisa? Kita tidak usah repot-repot meminta pihak lain untuk mengerjakan pekerjaannya. Lebih baik kita fokus saja terhadap tugas dan pekerjaan kita sendiri.

Kepada diri saya dan teman-teman semisal saya, saya menyarankan kita semua agar lebih galak melakukan langkah awal dalam perjalanan besar ini. Di samping ngaji pokok yang sudah menjadi kewajiban utama, banyak membaca, berdiskusi dan latihan menulis harus menjadi hobi selanjutnya.

Indonesia sudah merdeka. Situasi di sini juga relatif sangat aman dan nyaman bila dibandingkan dengan yang terjadi di Timur-Tengah. Tak lupa, kita juga punya bekal teknologi yang bisa membantu. Dan yang terpenting, kita punya buaanyak ulama yang telah membantu kita memahami agama. Kita tak usah ‘sok-sok’an lalu mengatakan “kembali ke Qur’an”.

Sungguh, warisan pengetahuan yang telah dicapai oleh para ulama terdahulu, sepanjang umur pun tak akan cukup kita gunakan untuk membaca dan menyerap semuanya. Sebagai anak zaman kecanggihan, mari kita permalukan diri kita sendiri di hadapan karya-karya ulama terdahulu yang sudah berpikir lebih jauh dari apa yang hari ini orang-orang bincangkan.

Memang benar, pada sebagian lain, kita temukan produk-produk ulama yang tak bisa lagi digunakan pada zaman yang mbuh ini. Dan itulah tugas santri sesungguhnya; melakukan relevansi. Bahasa al-Qur’an yang sering dikutip Kiai Sa’id; liyatafaqqahû fid-dîn.

***

Walhasil, saya ingin menegaskan bahwa tak ada alasan untuk tak bersyukur menjalani takdir sebagai “santri” di zaman ini. Toh hidup di zaman Kanjeng Nabi juga bukan jaminan kita akan beriman. Sekarang, ulama telah banyak berkarya, lengkapnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah maju juga dapat dijadikan alat. Kantun daékna.

Banyak membaca, berdiskusi, latihan menulis. Karena dengan membaca, kita mendapat ilmu baru. Dengan berdiskusi, kita mendapat sudut pandang baru. Dan dengan menulis, kita tahu bahwa tidak banyak yang kita tahu. Kita sadar bahwa kita belum banyak belajar.

Namun meski begitu, pada sisi yang lain, menulis juga dapat meningkatkan level kekerenan kita. Karena bagi orang keren, keren itu banyak menulis dan banyak membaca. Bukan banyak gaya ala Korea.

Seperti yang sedang saya lakukan ini. Belajar menulis. Belajar, belajar dan belajar. Walaupun telah belajar lumayan lama, tapi tetap saja belepotan dan tak layak baca… seenggaknya aku udah berusaha. Hmmm.

Wallâhu a’lam bish-shawâb.