MENAPAKI JEJAK PERJUANGAN ANSOR BANSER NU ( DI KECAMATAN SUKASARI 1946-1965 )

637

MENAPAKI JEJAK PERJUANGAN ANSOR BANSER NU

( DI KECAMATAN SUKASARI 1946-1965 )

Rabu 30 Oktober 2019 saya berkunjung ke kediaman salahsatu kiyai sepuh di kecamatan sukasari sekaligus pengurus NU lebih tepatnya ,Mustasyar MWCNU Kecamatan sukasari 2019, KH.E Sulaiman Natuga ,”Uwa Encang”begitu sapaan akrabnya, Beliau adalah Putra seorang Ulama besar disaat itu yaitu KH.Sobandi ( Alm ) dan “Uwa Encang” ini juga merupakan salah satu santri dari pesantren terkenal dan termashur ditanah jawa (Pesantren Tebu Ireng) dibawah bimbingan seorang guru besar Asyaikh KH.Cholik Hasyim adik dari Syaikh KH.Wahid Hasyim Salah satu dari Putra dari Panutan kita tercinta HadratuSyaikh KH.Hasyim As’ary Pendiri Nahdlatul U’lama,dan Uwa Encang ini juga bersahabat dengan KH.R.Endang Buckhori “Abuya sapaan akrabnya”( Ponpes Asrofuddin Conggeang Sumedang ) saat mondok di tebu ireng 1959-1962.

KH.ABDUL CHOLIQ HASYIM

AHLAWAN YANG TERLUPAKAN

Sumber poto by: Tebu ireng Online
Sumber poto by: Tebu ireng Online

Sewaktu mondok di tebu ireng KH.Encang Sulaiman Natuga dibimbing langsung oleh seorang guru besar yaitu KH.Abdul Cholik Hasyim atau biasa dipanggil Gus Choliq saat itu. Gus Cholik lahir pada tahun 1916 Putra ke enam dari Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari dan Nyai Nafiqah. Abdul Hafidz merupakan nama kecil KH.Abdul Cholik Hasyim, sejak kecil kelebihan Gus Cholik sudah muali tampak terlihat dari beberapa kejadian ketika tamu ayahnya dating dengan mobil misalnya, Gus Cholik menekan ringan bodi mobil tersebut dengan jarinya, anehnya seketika itu bagian yang dipencetnya tadi menjadi penyok, padahal terbuat dari besi baja yang keras. Terjadi pula ketika sang ayah pernah menghukumnya, Gus Cholik di ikat disebuah pohon sawo dan diberi kelangrang ( Semut merah ganas) namun semut-semut itu hanya lewat begitu saja dan tidak mau menggigit tubuh Gus Cholik.

Sejak kecil KH.Abdul Cholik Hasyim dididik langsung oleh Hadratussyaikh ( Ayahnya), setelah dianggap mampu, Abdul cholik melanjutkan pendidikannya ke pondok pesantren Sekar putih Nganjuk. Lalu dilanjutkan menuju pesantren Kasingan, rembang ( kota pesisir laut utara). Disana beliau belajar kepada Kiyai Kholil bin Harun yang terkenal sebagai pakar Nahwu, bahkan sampai dijuluki Imam Sibawaih Zamanihi, Beliau melanjutkan pendidikannya ke pesantren Kajen, Juwono, Pati Jawa tengah.

Pada tahun 1932 Abdul Choliq Hasyim muda, pada saat itu berusia 16 tahun pergi ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Ia bermukim selama empat tahun sambil memperdalam keilmuan, salah seorang gurunya adalah Syaikh Ali al Maliki al Murtadha. Tahun 1936, Abdul Choliq pulang ke tanah air. Selang beberapa waktu sang ayah menjodohkannya dengan seorang wanita salehah bernama Afifah putra seorang saudagar dari Kecamatan Ngoro (Jombang) bernama Haji Dimyati. Selang dua tahun Nyai Afifah wafat disebabkan sakit.

Setelah itu, Abdul Choliq dinikahkan lagi dengan salah satu keponakan Kiyai Baidlowi asal Purbalingga bernama Siti Azzah. Pada tahun 1942, lahir bayi laki-laki dari pasangan KH Choliq Hasyim dan Sitti Azzaah bernamakan Abdul Hakam, yang merupakan putra tunggal Kiyai Choliq

Sumber foto : google
Sumber foto : google

KELUARGA DAN PERJUANGAN

(KIYAI CHOLIK MASUK DALAM KEMILITERAN)

Cinta tanah air adalah hal yang sejak kecil diterima oleh Kiyai Choliq. Nyai Nafiqah sering menceritakan kekejaman para penjajah terhadap bangsa Indonesia dan kesewenang-wenangan mereka atas kaum muslimin serta tindakan-tindakan keji mereka terhadap para kiai. Beliau senantiasa bercerita, “Dulu yang musuhi ayah, mbah dan para kiyai itu adalah Belanda.” Maka dengan perlahan jiwa membela tanah air telah mendarah daging kedalam jiwa Kiyai Kholiq. Sejak itu terukirlah dalam hatinya rasa cinta terhadap tanah air.

Selama masa revolusi fisik, Kiyai Choliq aktif berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI. Sejak tahun 1944, atau satu tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI, Kiai Choliq masuk dalam dinas ketentaraan nasional. Beliau menjadi anggota PETA. Bahkan dalam tubuh PETA beliau diangkat menjadi Daidanco (Komandan Batalyon) yang memimpin Daidan IV Gresik-Surabaya. Kiai Choliq merupakan orang dekat Jenderal Sudirman bersama kakaknya, Kiai Wahid Hasyim. Kiai Choliq mengundurkan diri dari militer pada tahun 1952 dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel (Letkol), kemudian pergi ke Makkah guna menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya.

Mundurnya Kiai Choliq dari militer tidak mengubah perjuangannya untuk tanah air, kiai Choliq tetap aktif berperan dalam perjuangan membantu rakyat. Beliau ikut juga berperan menumpas peristiwa pemberontakan PKI yang pertama. Beliau selalu terlihat menjadi orang terdepan dalam memperjuangkan tanah air. Terlihat ketika pelaksanaan oprasi wilayah Madiun, Probolinggo, Lumajang , Jember, dan beberapa daerah lain di Jawa Timur.

Pada masa penjajahan, Kiai Kholiq pernah ditahan oleh tentara Belanda tanpa alasan yang jelas. Beliau hendak dijatuhi hukuman mati. Keluarga dan santri Tebuireng cemas dibuatnya. Pada detik-detik terakhir menjelang eksekusi, Kiai Kholiq meminta waktu kepada algojo untuk salat dua rakaat. Seusai salat, Kiai Kholiq mengangkat tangan berdoa kepada Allah. Anehnya, setelah itu pihak Belanda menyatakan bahwa Kiai Kholiq tidak jadi dihukum mati.

KIYAI ABDUL CHOLIK HASYIM

12 TAHUN MEMIMPIN TEBU IRENG

1952-1965

Kiyai Choliq menunaikan ibadah haji kedua kalinya pada tahun 1950-an, sepulang dari haji Kiyai Choliq mampir dulu ke Jakarta menemui Kiyai Wahid Hasyim yang saat itu menjadi Menteri Agama. Di sana beliau membicarakan masalah kepemimpinan Tebuireng yang waktu itu dipegang oleh Kiyai Baidlawi.

Sepulang dari Jakarta, Kiyai Choliq mampir ke Desa Kwaron, Jombang. Di sana ia tinggal di rumah adiknya yang paling bungsu, Muhammad Yusuf Hasyim. Dari Desa Kwaron Kiyai Choliq mengirim utusan ke Tebuireng untuk membicarakan masalah suksesi kepemimpinan Tebuireng dengan Kiyai Baidhawi. Mendengar rencana tersebut, Kiyai Baidhawi lalu menyerahkan kepemimpinan Tebuireng kepada Kiai Choliq.

Kepemimpinannya di Tebuireng banyak melakukan pembenahan pada sistem pendidikan dan pengajaran kitab kuning, yang pada tahun-tahun sebelumnya digantikan dengan sistem klasikal. Langkah pertama yang diambilnya ialah meminta bantuan kakak iparnya, Kiai Idris Kamali (tahun 1953), untuk mengajar di Tebuireng. Kiai Idris diminta untuk mengajarkan kembali kitab-kitab kuning guna mempertahankan sistem salaf, serta melakukan revitalisasi sistem pengajaran.

Kiyai Saleh Darat, Gurunya Mahaguru

Dalam memimpin Tebuireng, Kiyai Choliq terkenal sangat disiplin. Ini mungkin merupakan pengaruh tidak langsung dari jiwa militernya. Meskipun demikian, Kiyai Choliq sangat hormat kepada Kiyai yang telah membantu beliau mengajar di Pesantren Tebuireng, seperti Kiyai Idris, Kiyai Adlan Ali, Kiyai Shobirin, Kiyai Mansur, dan Kiyai Manan. Sedangkan Kyiai Choliq mengajar kitab-kitab dalam hal tasawwuf.

Sedangkan Kiyai Choliq sangat disegani masyarakat, karena memiliki ilmu kanuragan yang cukup tinggi. Hampir setiap hari tamu-tamu berdatangan ke rumahnya, baik meminta doa-doa atau meminta syarat kesembuhan. Masyarakat percaya bahwa Kiai Choliq mewarisi kesufian dan kekaromahan Kiyai Hasyim, sehingga beliau sering melakukan keajaiban-keajaiban tertentu. Kiyai Choliq juga terkenal kebal senjata tajam. Saat terjadi peristiwa G-30S PKI, Kiyai Choliq memberikan amalan untuk kekebalan dan kesaktian kepada para santri dan masyarakat.

Selain terkenal memiliki karomah tinggi, Kiyai Choliq juga memiliki kebiasaan mengoleksi kitab-kitab syair berbahasa Arab (semacam ontologi). Hal ini dapat dilihat dari kitab-kitab peninggalannya yang masih tersimpan rapi di Perpustakaan Tebuireng.

Pada masa Kiyai Choliq, madrasah yang telah dirintis oleh para pendahulunya tetap dipertahankan. Saat itu Madrasah Tebuireng terdiri dari tiga jenjang, yakni Ibtidaiyah (SD), Tsanawiyah (SLTP), dan Mu’allimin. Pada masa ini pula, Madrasah Nidzamiyah yang dulunya didirikan oleh Kiyai Wahid, berganti nama menjadi Madrasah Salafiyah Syafi’iyah.

Karomah Kiyai Abdul Choliq Hasyim

( Guru KH.Encang Sulaiman Natuga)

Dalam buku “Pahlawan yang Terlupakan, Sang Kiyai Kadigdayan, Biografi KH Abdul Choliq Hasyim” (Pustaka Tebuireng, 2011), diceritakan, saat mengemban amanah sebagai pengasuh Tebuireng, Kiyai Choliq pernah mengajak putranya, Gus Hakam yang tengah duduk di kelas 4 MI, untuk mendirikan salat berjamaah di Ndalem Kasepuhan Pesantren Tebuireng.

Namun ada yang aneh, keduanya shalat saling membelakangi: Kiyai Choliq menghadap kiblat dan Gus Hakam membelakangi kiblat. Gus Hakam yakin bahwa beliau menghadap ke arah kibalt sesuai keyakinannya. Beliau bersandar pada kaidah fiqih: “Keyakinan tidak dapat digugurkan oleh keraguan.” Setelah salam, Kiyai Choliq terkejut melihat putranya salat dengan membelakangi kiblat. Perdebatan terjadi di antara bapak dan anak ini. Gus Hakam tetap ngotot bahwa arah kiblat yang beliau yakini benar.

Kemudian Kiyai Choliq salat dua rakaat dan memanjatkan doa. Lalu, beliau memerintahkan Gus Hakam untuk mengulangi salatnya di atas sajadah sang ayah. Tatkala Gus Hakam tengah takbiratul ihram di atas sajadah sang ayah, beliau melihat Ka’bah berada tepat di depan mata. Akhirnya, Gus Hakam mengakui bahwa arah kiblat yang didawuhkan (disampaikan) ayahnya adalah benar.

Selain itu, Kiyai Choliq sangat disegani masyarakat karena memiliki ilmu kanuragan tinggi, hampir setiap hari tamu-tamu berdatangan ke rumahnya, baik meminta doa-doa atau meminta syarat kesembuhan, masyarakat sangat percaya bahwa Kiyai Choliq mewarisi kesufian dan kekaromahan Kiyai Hasyim sehingga bisa melakukan keajaiban-keajaiban tertentu. Konon, Kiai Choliq pernah menurunkan buah kelapa tanpa memanjatnya,ketika dia menggerakkan tenaga dari bawah, buah kelapa sudah berjatuhan, Dia juga terkenal kebal senjata tajam.

Mungkin ini pula kelak dikemudian hari, karomah atau kebarokahan seorang Kiyai besar seperti Kiyai.Abdul Cholik Hasyim turun kesalahsatu muridnya yang bernama KH.Encang Sulaiman Natuga, jejaklangkah gurunya yang sangat kental dibidang ketasawwufan, Ilmu kanuragan dan kemiliteran, sperti kita tahu bahwa KH.Encang Sulaiman Natuga selain menjadi jama’ah TQN beliau ini juga senang sekali berkuda dan bermain silat ( Maenpo) istilah dijaman itu.

Akhir Hayat

Senin, 21 Juni 1965, tiga bulan atau 100 hari sebelum meletusnya peristiwa G.30.S/PKI. Kiyai Choliq menderita sakit. Semua keluarga mencemaskan kondisi beliau yang semakin menurun, keluarga besar Tebuireng mengharap kesembuhan untuk pengasuh pesantren. Namun, Allah telah menghendaki Kiyai Choliq untuk menghadap kepada-Nya

Innalillahi wa innailaihi rojiun.

Sebagaimana keluarga lainnya, pesantren tebuireng berduka. Jenazah Kiai Choliq dimakamkan di komplek pemakaman keluarga pesantren Tebuireng. Semoga Allah SWT memberikan tempat terbaik di sisi-Nya dan segala yang beliau rintis bermanfaat bagi generasi selanjutnya. Aamiin. Sumber: tebuireng.online

KH.ENCANG SULAIMAN NATUGA

SOSOK SEDERHANA DAN EKSENTRIK

(UWA ENCANG)

Doc Foto ; Zay
Doc Foto ; Zay

Setibanya saya dikediaman nya disana nuansa kekeluargaan kental terasa seperti orang tua terhadap anaknya,tidak ada rasa canggung bahkan diselingi tertawa dan senda gurau Khas kiyai NU saya disambut dengan sangat antusias, tak lupa secangkir kopi hangat dan rokok kretek djisamsoe pun menemani pembicaraan kami saat itu.

Saya pun menerangkan maksud kedatangan saya, yaitu salahsatunya ingin mengetahui bagaimana jejaklangkah perjuangan para Kiyai NU, Ansor dan Banser di kabupaten sumedang khususnya di kecamatan sukasari Jaman dulu ( waktu itu masih kecamatan tanjungsari ). Beliau dengan sangat antusias bahkan mengucapkan syukur Alhamdulillah( kepada saya) ada pemuda yang ingin mengetahui sejarah keNUan dan keAnsoran, beliau (-red-KH.E Sulaeman Natuga) menuturkan sejarah perjuangan NU, Ansor dan Banser saat itu dengan pasih dan tanpa kelihatan mengingat terlebih dahulu, mengalir seperti melihat tulisan buku saja didalam menerangkannya.

Pada saat itu NU hanya baru sebatas di tingkat di kabupaten sumedang saja salahsatunya dipelopori oleh keluarga seorang kiyai sekaligus ulama besar di kabupaten sumedang yaitu Mama Syatibi seorang Alim ulama kharismatik di kabupaten sumedang, diantara kepengurusan NU saat itu terbilang masih terbatas di tingkat kabupaten saja belum berkembang seperti sekarang ini, pada saat itu ANSOR dan BANSER belum cukup dikenal dikalangan masyarakat banyak, namun menurut nara sumber:KH.E.Sulaeman Natuga Menuturkan, Existensi Ansor dan Banser sudah ada saat itu, termasuk beliau salahsatu anggota Ansor yang aktif hingga sekarang.

KH. Encang Sulaiman Natuga adalah salahsatu putra dari seorang kiyai sepuh di Dusun Nanggerang Desa Nanggerang Kecamatan sukasari yaitu Mama KH.Sobandi ( Alm) yang mana sangat dekat dengan keluarga pendiri pondok pesantren Sindangsari Al-Jawami ( tahun 1931 M) di Kecamatan Cileunyi kabupaten Bandung yang didirikan oleh Asy-Syaikh KH.Muhammad Sudjai ( Alm) Putra dari seorang Ulama besar yaiu KH.Muhammad Ghazali ( Alm) merupakan salahsatu pesantren terkemuka dijawa barat kala itu. Pesantren Sindangsari Al-jawami di perbaharui pembangunannya pada tahun 1960 dan terbentuk kepanitiaan yaitu diantaranya :H.Djunaedi sebagai ketua, H.R Totoh Abdul Fatah, H.Shaleh dan tokoh lainnya seperti H.Yahya dan didesain oleh salah seorang arsitek muda sekaligus sebagai pelaksana pembangunan saat itu yaitu Endang Rachmat dan pada tahun 1977 Pesantren Sindangsari berganti nama menjadi Pesantren Sindangsari Al-jawami Cileunyi Bandung Nama ini juga diambil dari nama sebuah kitab yang sangat disenangi Beliau(Sesepuh pesantren) yaitu kitab Ushul Fiqih “ Jam’ul Jawami” pada Jaman Gubernur jawa barat Bapak.K.HA.Kunaefi dan HR.Moch Yogi SM Panglima KODAM lll SILIWANGI “ dari situlah cikal bakal kelahiran para pejuang Ansor dan Banser NU dikecamatan Tanjungsari ( Sekarang dimekarkan menjadi kec.Sukasari) dimulai. aljawami.blogspot.com.

Poto Uwa Encang Sewaktu Muda
Poto Uwa Encang Sewaktu Muda

(dari koleksi poto KH.Encang Sulaiman Natuga)

ANSOR BANSER SUKASARI ADA DARAH GARUTNYA

DAN KEBERKAHAN TEBU IRENG

Saat itu terbentuklah kepengurusan NU kabupaten sumedang di era kepengurusan mama Asyatibi diantaranya, KH.Aceng Sambas tanjungsari, KH.Lukman Almajiddiyah Nyalindung Sukasari,disebut juga nama-nama kiyai lainnya seprti KH. Purqon ( Pesantren Cileles)Jatinangor, dan (KH. Sopandi Al-Majidiyah Nyalindung mekarsari ) dalam “versi dan kisah yang lain”dan masih banyak lagi nama nama di tanjungsari dan seputarnya yang tak bisa disebutkan oleh Ua karena lupa tuturnya.

Salahsatunya Pesantren Al-Majidiyah, berdiri pada tahun 1925, Pondok Pesantren Al-Majidiyah beralamat di Nyalindung RT 01/02 Desa mekarsari, Sukasari, Kabupaten Sumedang.

berawal didirikan Mesjid Al-Majidiyah Nyalindung didirikan pada Tahun 1925 oleh K.H Abdul Majid (K.H. Hujaemi). nama asal mesjid ini adalah Mesjid Nyalindung, sesuai dengan tempat atau nama dari dusun tempat didirikannya mesjid tersebut. Namun setelah K.H. Abdul Majid (K.H. Hujaemi) meninggal dan diteruskan oleh menantunya K.H. Sulaeman, ketika renovasi mesjid K.H. Sulaeman beserta warga masyarakat dan santri-santrinya sepakat mengganti nama mesjid tersebut menjadi Mesjid Al-Majidiyah. nama mesjid tersebut diajukan sebagai pengingat atas jasa-jasa KH. Abdul Majid sebagai orang pertama yang mendirikan dan merintis Pondok Pesantren di Daerah Nyalindung, Mekarsari, Sukasari, Sumedang”.

Pengasuh :K.H Abdul Majid (K.H. Hujaemi),K.H. Sulaeman dan K.H Sopandi

sumber: -laduni.id-

KH.E.Sulaiman Natuga di Acara NU Bersama sahabat-sahabatnya
KH.E.Sulaiman Natuga di Acara NU Bersama sahabat-sahabatnya

( KH.E.Sulaiman Natuga di Acara NU Bersama sahabat-sahabatnya)

Dari kiri : Kiyai.Rohanda sukasari,Ust.Yayat Pagaden Margajaya, Kiyai.Encang Sukasari, Kiyai Oyo Tanjungkerta

Doc foto: Zay -2009-

Kaka dari Kiyai Encang Sulaiman Natuga yaitu KH.Achmad Mansyur mondok sekaligus menjadi pengajar di pondok pesantren Al-jawami cileunyi bandung dan kelak dikemudian hari menjadi menantu dari mama Al-jawami tersebut, dari situlah pertemuan KH.Achmad Mansyur dengan 3 santri putra dari seorang Kiyai Limbangan Garut yaitu, KH.Ilyas dimulai, yang kelak ketiganya ( Putra KH.ilyas limbangan garut) tersebut menjadi cikal bakal pengurus NU sumedang sekaligus salah satunya menjadi pelopor keansoran dan kebanseran di Kecamatan Sukasari . Suatu saat Kaka dari KH.Encang Sulaiman Natuga yaitu KH.Achmad Mansyur yang selain menjadi pengajar di pondok pesantren Al-jawami cileunyi, beliau juga senangsekali berdagang,salahsatunya ketika berdagang saat itu ditemani oleh seorang santrinya bernama Aceng ( Putra Kiyai ilyas tengger Limbangan Garut) yang selalu menemani dan membantu KH.Achmad Mansyur dalam berdagang pakaian/kain, kebetulan saat itu berdagang di daerah Desa nanggerang,kecamatan sukasari,sumedang tempat kediaman ayahnya ( KH.Sobandi), saat ayahnya melihat seorang santri yang menemaninya tersebut langsung berkata: ”Budak ieu aya pibakalaeun yeuh, beda tina sorot mata jeung pamorna” begitu kira kira perkatan KH.Sobandi kepada santri tersebut saat itu, hingga pada akhirnya santri tersebut diangkat menjadi anak angkat oleh KH.Sobandi hingga disekolahkan dan dipesantrenkan kedaerah cianjur dan berteman dalam tabligh dengan seorang santri bernama Muhammad Abdul Gaos yang kelak dikemudian hari menjadi seorang ( Mursyid Thariqot Qodiriyah wa Naqsabandiyah Suryalaya) . apa nama pesantren kiyai ilyas itu? ucap saya ”Uwa poho deui atuh da geus heubeul”.Tutur Uwa

MENJADI SALAHSATU PENGURUS NU

KABUPATEN SUMEDANG

Menurut Uwa juga, salahsatu dari 3 bersaudara putra kiyai ilyas limbangan garut tersebut ada yang menjadi pengurus NU di kabupaten sumedang, salahsatunya yaitu Raden Tatang Abdullah termasuk kakak-kakanya juga pindah ke sumedang dan diangkat jadi guru Agama oleh Mama Syatibi, sementara Aceng ( Kiyai Aceng ilyas) menjadi salahsatu pelopor dan pengurus NU dikecamatan Sukasari ( Kecamatan Tanjungsari) saat itu.

Mama Syatibi adalah Seorang Ulama Kharismatik dan bijaksana sekaligus pejuang NU di Kabupaten sumedang, kesolehan dan kebijaksanaanya tak akan cukup untuk dituliskan disini, Salah satu murid Mama Syatibi H. Ahmad Junaidi Iskandar dalam haul mama syatibi yang ke 32 dalam testimoninya menyatakan, Almarhum sangat mementingkan sekali salat, terutama kepada murid-muridnya. “Beliau itu sangat khawatir jika anak-anaknya ataupun murid-muridnya menyepelekan salat. Tidak ada artinya ilmu yang tinggi kalau salatnya lalai,” katanya.

Menurutnya, Mama sangat mudah diajak konsultasi baik masalah keagamaan maupun pekerjaan. “Solusi atas pertanyaan yang kita sampaikan semuanya aplikatif, mudah dilaksanakan. Bukan sekedar teori,” katanya. Mama juga merupakan figur yang mampu menyatukan unsur-unsur bangsa pada zamannya baik itu ulama, umaro dan umat. “Pada zaman beliau, unsur Muspida sudah biasa bersama-sama salat di Mesjid Agung ini dengan seragamnya. Semuanya menyatu dengan umat,” katanya.sumber : http://www2.sumedangkab.go.id

KH.Encang Sulaiman Natuga ( Uwa Encang) juga menuturkan bahwa, perjuangan untuk menegakkan Ke NU-an dan keAnsoran saat itu sangatlah berat rintangannya, dari mulai menghadapi pergerakan komunis hingga menghadapi pasukan DI /TII dan segenap para penjarah Gorombolan, pada tahun 1958 atau 1965an lah imbuhnya.

Untuk menghadapi berbagai konplik saat itu salahsatunya menghadapi taktik DI/ TII untuk memeras masayarakat termasuk membujuk,mengajak para ajengan dan tokoh setempat untuk bergabung dengan mereka dengan memakai Slogan, Tambal, Timbeul, Timbul, Tambal artinya: bantulah Pasukan DI/TII, Timbel artinya: berilah perbekalan dan Timbul artinya : kejayaan Islam ala DI akan Maju. Begitu kira-kira tutur Uwa

Belum lagi melawan pasukan BSA ( barisan sakit ati ) yaitu pasukan pejuang yang tidak diakui pemerintah hingga melakukan tindakan anarkis diantaranya memanpaatkan situasi genting saat itu, dengan melakukan penjarahan dan perampokan bahkan tidak segan untuk melakukan kekerasn pisik kepada warga yang kebetulan memergoki atau mencoba menghalangi aksinya.

SEJARAH DI/TII DI JAWA BARAT

Negara Islam Indonesia (disingkat NII; juga dikenal dengan nama Darul Islam atau DI) yang artinya adalah “Rumah Islam” adalah gerakan politik yang diproklamasikan pada 7 Agustus 1949 (ditulis sebagai 12 Syawal 1368 dalam kalender Hijriyah) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat. Diproklamirkan saat Negara Pasundan buatan belanda mengangkat Raden Aria Adipati Wiranatakoesoema sebagai presiden.

Gerakan ini bertujuan menjadikan Republik Indonesia yang saat itu baru saja diproklamasikan kemerdekaannya dan ada pada masa perang dengan tentara Kerajaan Belanda sebagai negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara. Dalam proklamasinya bahwa “Hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam”, lebih jelas lagi dalam undang-undangnya dinyatakan bahwa “Negara berdasarkan Islam” dan “Hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan Hadits”. Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban negara untuk membuat undang-undang yang berlandaskan syari’at Islam, dan penolakan yang keras terhadap ideologi selain Alqur’an dan Hadits Shahih, yang mereka sebut dengan “hukum kafir”, sesuai dalam Qur’aan Surah 5. Al-Maidah, ayat 50.

Dalam perkembangannya, DI menyebar hingga di beberapa wilayah, terutama Jawa Barat (berikut dengan daerah yang berbatasan di Jawa Tengah), Sulawesi Selatan, Aceh dan Kalimantan. Setelah Kartosoewirjo ditangkap TNI dan dieksekusi pada 1962, gerakan ini menjadi terpecah, namun tetap eksis secara diam-diam meskipun dianggap sebagai organisasi ilegal oleh pemerintah Indonesia.

Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat

( Darul Islam/Tentara Islam Indonesia )Bendera DI/TII

Pada tanggal 7 Agustus 1949 di suatu desa di Kabupaten Tasikmalaya ( Jawa Barat ). Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia. Gerakannya di namakan Darul Islam (DI) sedang tentaranya dinamakan Tentara Islam Indonesia ( TII ). Gerakan ini dibentuk pada saat Jawa Barat di tinggal oleh Pasukan Siliwangi yang berhijrah ke Yogyakarta dan Jawa Tengah dalam Rangka melaksanakan ketentuan dalam Perundingan Renville.

Ketika pasukan Siliwangi berhijrah, gerombolan DI/TII ini dapat leluasa melakukan gerakannya dengan membakar Rumah – Rumah Rakyat, Membongkar Rel Kereta Api, menyiksa dan merampok harta benda penduduk. Akan tetapi setelah pasukan Siliwangi mengadakan Long March kembali ke Jawa Barat, gerombolan DI/TII ini harus berhadapan dengan pasukan Siliwangi.

Usaha Untuk menumpas pemberontakan DI/TII ini memerlukan waktu yang lama disebabkan oleh beberapa faktor, yakni :

– Medannya berupa daerah pegunungan – pegunungan sehingga sangat mendukung pasukan DI/TII untuk bergerilya,

– Pasukan Kartosuwirjo dapat bergerak dengan leluasa di Kalangan Rakyat,

– Pasukan DI/TII mendapat bantuan dari beberapa orang Belanda, antara lain pemilik – pemilik perkebunan dan para pendukung negara Pasundan,

– Suasana Politik yang tidak stabil dan sikap beberapa kalangan partai politik telah mempersulit usaha – usaha pemulihan keamanan.

Selanjutnya dalam menghadapi aksi DI/TII pemerintah mengerahkan pasukan TNI untuk menumpas gerombolanini. Pada tahun 1960 pasukan Siliwangi bersama rakyat melakukan operasi “ Pagar Betis “ dan operasi “ Bratayudha “ Pada tanggal 4 Juni 1962 Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo beserta para pengawalnya dapat ditangkap oleh pasukan Siliwangi dalam operasi “ Bratayudha “ di Gunung Geber, daerah Majalaya, Jawa Barat. Kemudian Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo oleh Mahkamah Angkatan Darat dijatuhi hukuman mati sehingga pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dapa di padamkan. Sumber :tambangilmu.com

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (lahir di Cepu, Jawa Tengah, 7 Januari 1905 – meninggal di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, 5 September 1962 pada umur 57 tahun) adalah seorang tokoh Islam Indonesia yang memimpin pemberontakan Darul Islam melawan pemerintah Indonesia dari tahun 1949 hingga tahun 1962, dengan tujuan mengamalkan Al-Qur’an dan mendirikan Negara Islam Indonesia berdasarkan hukum syariah

(Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Sekarmadji_Maridjan_Kartosoewirjo

Dari sini dapat kita lihat bagaimana seseorang yang berpendidikan, berilmu agama bahkan menjadi salahsatu tokoh islam besar saat itu menjadi pemimpin kaum radikalis dan pemberontak yaitu DI/TII yang banyak memakan korban jiwa in,i jelas aneh menurut saya,intinya jangan sekali-kali terkecoh dengan orang yang mempunyai paham atau gerakan seperti itu.”

PERGERAKAN DI/TII DI DESA NANGGERANG

DAN TAKTIK DOKTRINASI NYA

Desa Nanggerang teridiri dari beberapa dusun diantaranya : Kp.Haurkuning, Kp Singkup, Kp.Ciliang, Kp.Nanggerang, Kp.Babakan, Kp.Hantap dan Kp.Heuleut yang berbatasan dengan Desa Banyuresmi,Sindangsari dan desa mekarsari, masuk pada wilayah kepemerintahan kecamatan sukasari. Disebelah barat desa Nanggerang menjulang sebuah gunung yang terkenal namanya yaitu “Gunung Manglayang” berbatasan dengan wilayah kota bandung. Menurut Uwa juga desa nanggerang saat itu sangat kental dengan paham nasionalisnya,sehingga dalam berbagai aksi kesosialan dan jiwa gotongroyongnya sangatlah terbangun dengan baik, meski dalam hal keagamaan masih terbilang sangat minim, sehingga ini menjadi pokus perhatian para tokoh Agama saat itu diantara, KH.Sobandi dan KH.Achmad Mansyur ayah dan kakanya Uwa, sebagai penggerak keagamaan di wilayah desa nanggerang. Saat itu usia KH.Encang Sulaiman Natuga ( Uwa Encang) baru berusia kira-kira antara 16-18 tahunan, namun sudah senang ikut diacara-acara keagamaan ayahny, kaka dan para ajengan lainya, sehingga terbentuklah jiwa juang dan keagamaan di dirinya, yang kelak semangatnya tadi mengantarkan Uwa ke pesantren Tebu ireng.

Menurut Uwa Encang,saat itu para pasukan cikal bakal Ansor/Banser bersatu padu menghimpun kekuatan dengan masyarakat yang sejalan ideologi dan pemahamannya, sementara dilain pihak ada DI/TII, disisi lain masyarakat juga mendapat konflik yang sangat serius dikarenakan bersatunya Partai Komunis dengan Pemuda Rakyat yang sebelumnya bernama “Pemuda Sosialis Indonesia” yang juga sebagai sayap kepemudaan dari partai komunis saat itu. https://id.wikipedia.org/wiki/Pemuda_Rakyat- artinya saat itu kondisi faham, pemikiran dan mental masyarkat di tempat itu sulit ditebak, pengaruh dari banyaknya pergerakan dan doktrinisasi faham dari pihak komunis, DI/TII dan Pemuda Rakyat( Sayap Kepemudaan Komunis).Belum lagi menghadapi pasukan BSA, sehingga para tokoh, penggerak keamanan termasuk OKD dan masyarakat membuat pagar pertahan yang dibuat menggunakan “bambu guluntungan” yang dibuat runcing atasnya serta berlapis-lapis, pagar tersebut mengelilingi seluruh desa, dari mulai perbatasan jalan utama sebelah timur sampai batas desa sebalah barat Kaki Gunung manglayang yang semuany pagar dibuat mengeliling wilayah desa tersebut dengan harapan para kelompok gorombolan/ penjarah tidak dapat masuk ke kampung tersebut, terkenal dengan nama Gerakan “ Pagar Betis”. Namun ada yang unik dari para pasukan DI/TII saat itu mereka justru sebelumnya memilih cara halus untuk mempengaruhi para pemuda, masyarakat termasuk pasukan “ansor banser” yang anggotanya terdiri dari para anggota OKD/hansip yang direkrut menjadi sebuah pasukan yang nantinya menjadi ansor banser , Pasukan DI/ TII memampaatkan situasi yang tidak kondusip atas penjarahan yang dilakukan oleh “BSA” tadi mereka menyebut bahwa BSA ini para pemberontak dan kaum anti agama, mereka ( DI/TII) berdakwah, ceramah dan mendoktrin dan menghasut masyarakat untuk ikut bergabung dengan mereka, mereka selalu menyerukan Slogan “Tambal,Timbel,Timbul” kalau diartikan secara bebas kuranglebih: Bantulah Pasukan kami dengan berbagai pasokan makanan dan segenap kemampuan yang ada sehingga pasukan akan timbul kemenangan islam, berharap semua masyarakat mau bergabung dengan mereka. Ansor Banser saat itu ( belum bernama Ansor Banser ) dipimpin oleh seorang Ketua OKD/Hansip sekaligus menjadi Komandan Banser Bernama Koko kiyai subki saat itu menjadi lebe dan beranggotakan 20 orang anggota hansip yang dibentuk menjadi anggota banser dan diberi seragam Banser saat itu masih berwarna coklat ( polisi), belajar baris berbaris, pawai, hingga bermain drumband untuk mengiringinya, kedisiplinan anggota banser saat itu sangatlah ketat, Suatu ketika pada acara pawai Harlah dari alun-alun sumedang dan melewati “terminal ciakar sekarang” hingga cikoneng berangkat tanpa kendaraan dan pulangnya hanya menggunakan truk yang lewat saja.tutur Uwa encang

Pada saat Harlah dibandung jawabarat Banser pun kembali hadir untuk memeriahkan acara tersebut, kebetulan saat itu Hadir pula Pengurus NU sumedang KH.Muhammad Syatibi ( Mama Syatibi) dan beliau sangat mengapresiasi kehadiran Banser yang ikut pawai tersebut Mama Syatibi berucap: “Wadduh Masyaa Alloh ieu Pasukan urang Nanggerang !” ada hal unik pula saat itu ketika ada seorang ajengan “Doyet” dari dusun pangkalan tertarik kepada banser dan masuk kedalam barisan Banser tersebut, namun namanya ajengan tentu cara berjalan nya pun tidak akan sama seperti pasukan banser yang terlatih, saat itu dengan tegas pemegang komando Bpk doyet ( Dusun Ciliang Nanggerang) mengeluarkan ajengan tersebut dari barisan he he disiplin tinggi. Begitu KH.Encang Sulaiman Natuga ( Uwa Encang) menceritakan diselingi mata yang berkaca-kaca seakan benar benar merasakan bagaimana gentingnya situasi saat itu.

Bedil Dorlok untuk Menumpas DI/TII

Ketika pemberontakan DI/TII pimpinan Kartosoewirjo di Jawa Barat mulai mendekati masa akhir, para pengrajin di Cikeruh mendapat pesanan dari TNI untuk membuat bedil “dorlok” (didor kemudian dicolok). Dorlok artinya setelah ditembakkan, senapan mesti ditusuk untuk mengeluarkan selongsong, kemudian diisi peluru lagi.

Bedil dorlok diproduksi untuk mempersenjatai milisi bentukan TNI, yakni Organisasi Keamanan Desa (OKD), yang membantu TNI dalam menumpas DI/TII. Menurut Idih, pesanan bedil ini datang lewat sejumlah Komando Distrik Militer (Kodim) yang bermarkas di sejumlah kabupaten/kota di Jawa Barat, yang hampir semuanya terpapar pemberontakan DI/TII.

Kusabab dorlok mah hiji-hiji, teras wéh ngadamel dorma, janten sakali némbak téh tiasa lima (Karena dorlok [sekali tembak] hanya satu peluru, maka dibuatlah [senapan] dorma (didor lima), jadi sekali tembak bisa [memuntahkan] lima [peluru]),” ujar Idih.

Sigana sieuneun dibedil ogé ku urang dieu (Mungkin [DI/TII] takut ditembak juga sama orang sini),” imbuh Idih seraya tertawa. Saat operasi Pagar Betis digelar, Idih sempat ikut operasi tersebut selama tiga hari di kaki Gunung Manglayang. Jika kawan-kawannya sesama warga sipil hanya bersenjatakan golok atau pedang, ia justru membawa bedil dorlok seperti para anggota OKD. Tentara tak ada yang melarangnya, sebab mereka tahu Idih adalah salah seorang anak pengrajin senapan dari Cikeruh. https://tirto.id/sejarah-bedil-cikeruh-penumpas-ditii-bertahan-hingga-zaman-kiwari-dkcP

Hal lain juga diceritakan oleh Kosyim ±70thn-an ( Alm) Warga dusun heuleut Rt.02 Rw.04 menuturkan, saat itu warga sukarela diberikan pelatihan ketentaraan bahkan polisi desa juga hanya tamatan SR/SD mereka dibekali pendidikan kemiliteran bahkan cara menggunakan senjata, setelah itu mereka dibekali senjata “Dorlok” itupun yang diberi senjata hanya komandan regunya saja, Bah kosim menceritakan kepada saya bagaimana kesulitannya menggunakan bedil tersebut, ketika musuh yang datang banyak sedangkan Senjata yang digunakan hanya”Dorlok”, ketika musuh yang lainnya sudah dekat sementara bedil atau senajata yang dipakai hanya mampu menembakan peluru satu kali saja, kemudian harus di isi ulang kembali dimana sebelumnya harus di “colok” dulu untuk membuang selongsong peluru yang tertinggal didalam bedil dengan menggunakan semacan “Nyere” Lidi dari kawat atau besi. Ini sungguh mengerikan sekaligus merepotkan dimana musuh didepan sudah mendekat sementara senjata yang dipakai melawan harus menunggu isi ulang dulu, Ucap Bah Kosim sambil berlinang.

PELOPOR KE NUan DAN KE ANSORAN

DI KECAMATAN TANJUNGSARI

( KELAK PEMEKARAN MENJADI KECAMATAN SUKASARI)

Tanjungsari adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Jatinangor di barat daya, Kecamatan Cimanggung di selatan, Kecamatan Pamulihan di timur, Kecamatan Sukasari di barat laut serta wilayah Kabupaten Subang di sebelah utara. Sebelum pemekaran, wilayah Sukasari dan sebagian wilayah Pamulihan adalah bagian dari Kecamatan Tanjungsari.

KH.Aceng adalah putra dari seorang kiyai bernama Mama KH.Ilyas tengger,Limbangan, Garut. Yang dijadikan anak angkat oleh ayah KH. Encang yaitu Mama KH.Sobandi (Alm) yang kemudian disekolahkan dan dipesantrenkan oleh beliau, diantara para sahabatnya yaitu : Lukman nyalindung mekarsari,Abah Ateng yang jadi Naib di Manglayang saat itu, Ato bakan limus, Empur Ja’far, Ucu Suami halina bakan limus,Fadhil Nanggerang,yang kemudian hari Fadhil menjabat Lurah di desa Nanggerang. Selanjutnya KH.Aceng ini dinikahkan dengan putri kandung beliau KH.Sobandi (anak kukut dikawinkeun ka anak pribadi) begitu kira-kira bahasa Uwa didalam menuturkannya.

Pada saat itu tahun 1965 modin, irin dan cating (Warga Dsn Haurkuning, desa nanggerang) salahsatu santri Uwa, juga sebagai warga NU, disuruh untuk memasang bendera NU namun dilarang hingga ditahan oleh polisi karena saat itu menjelang pemilu/ masa tenang, karena saat itu NU pernah masuk di politik hingga akhirnya NU kembali ke Khitoh NU sebagai Organisasi Non Politik, tutur Uwa.

Desa Nanggerang merupakan sebuah desa yang berada di wilayah Kecamatan Sukasari Kabupaten Sumedang. Lokasinya berada di bagian tengah memanjang ke bagian barat wilayah kecamatan. Ujung barat wilayahnya berbatasan dengan wilayah Kabupaten Bandung. Jika dilihat dilihat dari pusat Kecamatan Sukasari, lokasinya berada di sebelah barat dengan jarak sekitar lima kilometer.

Berdasarkan data Kecamatan Sukasari dalam Angka tahun 2014 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sumedang, pada tahun 2013 Desa Nanggerang memiliki status sebagai pedesaan dengan klasifikasi sebagai desa swadaya. Secara topografis, wilayah Desa Nanggerang berada di kawasan dengan bentang permukaan tanah berupa lereng dan berbukit. Ketinggian wilayah dimana kantor desa berada pada 1.200 meter di atas permukaan laut. Secara geografis, Desa Nanggerang memiliki wilayah yang dibatasi oleh wilayah-wilayah sebagai berikut: Desa Banyuresmi di sebelah utara dan sebelah timur dengan tambahan Desa Mekarsari, Desa Sindangsari di sebelah selatan, serta Kabupaten Bandung di sebelah baratnya.

(Sumber: BPS Kabupaten Sumedang)- http://sumedangtandang.com/direktori/detail/desa-nanggerang.htm

BENDERA NU BERKIBAR DI TANAH SUKASARI

Dari sinilah KH.Aceng Ilyas Nanggerang, KH.Lukman Mekarsari, Kiyai Syambas Tanjungsari mulai menjadi pengurus NU di kabupaten sumedang di era/ masa kepengurusan KH.Ahmad Syatibi ( Mama Syatibi), selanjutnya menyebarluaslah ke NU-an dikecamatan tanjungsari saat itu, hingga saat kecamatan sukasari terbentuk, Ke NU-an terus dikenalkan di seluruh dkecamatan sukasari, termasuk KH.Encang Sulaiman Natuga yang saat itu masuk di kepengurusan ANSOR kecamatan sukasari, bersama para sahabatnya. Diantara para sahabat KH.Encang ini banyak yang menjabat sebagai guru agama, namun beliau tetap pokus berdakwah ke masyarakat dan berkeliling dari satu desa ke desa yang lainnya dan tanpa henti disamping mengajarjkan ilmu keagamaan berhaluan Ahlussunnah Wal’jamaah, hingga hari ini beliau juga tidak henti dan tak mengenal lelah untuk mengenalkan paham ke NU-an dan KeAnsor-an kepada masyarakat demi menjaga keamanan dan kedamaian dikalangan masyarakat banyak, untuk mencegah peristiwa serupa DI/TII dan KOMUNIS terulang kembali ditanah pertiwi,Ibuhnya.

dan hingga tulisan ini dibuat KH.Encang Sulaiman Natuga ( Uwa Encang ) Menjabat sebagai :Mustasyar MWCNU Kecamatan Sukasari” bersama sahabat para sahabatnya : KH.Sopandi Al-majidiyah Nyalindung, KH.Komarudin, KH.Asep Sopyan R, KH.Abdul Karim, K.Agus Fadil.

Hingga hari ini, jejak langkah perjuangan para Kiyai NU, Tokoh Masyarakat dan Segenap Tokoh kepemudaan tersebut dapat disaksikan dan dirasakan oleh kita semua, dengan terbentuknya MWCNU,ANSOR, BANSER dan DENWATSER kecamatan sukasari. Diakui atau tidak, kedamaian yang kita rasakan saat ini adalah hasil Pergerakan, Perjuangan serta doa para kiyai dan para pejuang terdahulu, yang mana setiap detiknya diselimuti tetesan keringat bercampur darah para syuhada. Akankah kita hanya tersenyum dan mengenang sejarah tersebut ???

Waktu menunjukan Pukul 16:45 WIB, sebelum pembicaraan kami akhiri, Uwa Encang Berpesan : 1. Jangan berhenti Tholabul’ilmi & Ramaikan Majelis pengajian

2. Jangan pernah bosan untuk bersilaturahmi, tukar ide dan gagasan

3. Saatnya anak muda menjadi garda terdepan penerus perjuangan

Karena hari ini tantangan belum berakhir !. imbuhnya

Wallahu’alam Bishowab

Kebenaran hanya milik Alloh subhanahu wata’ala

PENULIS : SURYANA

Kabid Kaderisasi & Organisasi

GP ANSOR Kabupaten sumedang,kecamatan sukasari.

Sumber:

Doc : Audio wawancara ( KH.Encang Sulaiman Natuga )

Sumber dan referensi lain : tebuireng.online

Yasin, A. Mubarok dan Fatkhurrahman Karyadi. 2011. Profil Pesantren Tebuireng. (Jombang: Pustaka Tebuireng).

Tim Pustaka Tebuireng. 2011. Pahlawan yang Terpukan, Sang Kiai Kadigdayan, Biografi KH. Abdul Choliq Hasyim. (Jombang: Pustaka Tebuireng).

El Keyyis, Isno. 2015. Perjuangan Laskar Hizbullah di Jawa Timur. (Jombang: Pustaka Tebuireng)