Gembira Ke Sekolah

35

Oleh: R. Kurnia P. Kusumah Udeng
Para orang tua dan tenaga pendidik, tampaknya perlu melihat kembali sistem pendidikan yang berjalan selama ini dengan pendekatan yang lebih mengena. Sudah merasa mendidik dengan sebaik-baiknya, sudah mengikuti kurikulum; metode dan teori-teori yang menggunung, tapi hasilnya berputar-putar dari penekanan ke penekanan kepada anak didik.

Terkesan mencari-cari model pendekatan yang cocok, setiap pergantian menteri berganti pula kebijakan. Setiap pergantian kebijakan sudah tentu dibarikade dengan alasan ilmiah, maka yang terjadi adalah bentrokan ‘ilmiah’ antar periode pemerintahan; terus berkutat disitu, sementara anak didik malah makin stress.

Meski kebijakan berganti-ganti, dunia pendidikan kita tidak menunjukan perubahan yang signifikan menuju perbaikan. Dari dulu, kita masih mengenal istilah-istilah diskriminatif yang tidak perlu; siswa pintar dan bodoh; siswa mampu dan miskin; sekolah favorit dan kelas jauh; sekolah mahal dan murah; guru killer dan asyik; guru kaya dan miskin; pelajaran berat dan ringan; masa depan cerah dan suram.

Rencana pemerintah menerapkan sistem Full Day School seminggu 5 hari, belajar 8 jam sehari tidak lebih dari upaya modifikasi penekanan lama ke penekanan model baru. Saya kira, apapun istilahnya selama masih mengandung unsur “stressing”, menambah jam belajar dan jadwal yang ketat, dunia pendidikan kita tidak akan berubah.

Saya berharap rencana Menteri Muhajir Efendi itu kandas dihadang Presiden, karena lebih banyak masyarakat yang menentang daripada yang menerima. Presiden Jokowi kelihatannya lebih membutuhkan solusi pendidikan yang substantif daripada sekedar sensasi kegaduhan baru karena ‘kreatifitas’ pembantunya.

Gembira Itu Penting

Saya sering melihat dalam kehidupan sehari-hari, seorang melatih binatang supaya terampil selalu dalam suasana bermain. Melatih gajah, singa laut, lumba-lumba, atau binatang apapun diperlakukan sebagai teman bermain dalam suasana gembira. Tidak ada tekanan, paksaan, atau ditakut-takuti.

Mereka diberi keleluasaan naluri untuk bergembira. Tongkat dilempar jauh kemanapun si lumba-lumba akan kembali melaksanakan tugas dengan baik.  Di dalam kegembiraan, mereka lebih mudah menyerap pesan-pesan pelatih. Dengan kegembiraan, potensi dalam dirinya mudah berkembang; tidak perlu disuapi, mereka akan mencari sendiri pesan itu. Tapi, jika  ditempa dalam keadaan stress, tidak akan melahirkan apapun kecuali menuju kematian.

Saya sangat terenyuh menyaksikan anak didik dipukuli oleh gurunya dihadapan kelas karena tidak mengerjakan PR. Bahkan lebih buruk dari itu, ada anak didik baku pukul dengan guru lantaran anak didik tidak disiplin.

Potret buram sistem pendidikan kita tidak lepas dari sosial ekonomi yang melatarinya. Si guru mungkin sedang ada masalah di rumah; kreditan motor belum lunas ditagih debt collector; sementara si anak didik baru menyaksikan orang tuanya berantem, tidak sempat sarapan, berangkat sekolah dengan perut lapar.

Sistem pendidikan yang dibayang-bayangi tekanan terhadap guru dan anak didik, di rumah maupun sekolah tidak akan menghasilkan apapun. Disinilah negara perlu mengambil alih peran untuk menciptakan iklim belajar-mengajar dalam suasana gembira.

Jangan buat alasan membela diri jika sistem pendidikan kita masih jauh ketinggalan oleh negara lain dengan alasan dibuat-buat; beda kultur-budaya, beda sistem ekonomi, masyarakatnya belum siap, mereka bukan kitalah, dan lain sebagainya. Pada intinya tidak mau mencontoh yang baik, lebih “nyaman” dengan keadaan sekarang. Ada satu negara yang patut dicontoh, Finlandia.

Finlandia Sistem Pendidikan Terbaik Dunia

Finlandia adalah negara dengan sistem pendidikan terbaik dunia. Di negara telepon genggam merk Nokia itu, anak-anak belajar cuma 5 jam sehari, itupun 1 jam istirahat di kelas. Tapi anak-anak Finlandia pintar-pintar, melebihi anak-anak negara-negara maju lainnya. Sementara Indonesia akan menambah waktu belajar sampai jam 4 sore. Itu artinya anak-anak belajar 8 jam sehari.

Finlandia tidak membebani anak dengan pelajaran yang membuat mereka stress. Bahkan anak-anak tidak dibebani PR dan UN. Selama sekolah hanya mengalami 1 x UN pada umur 16 tahun. Mereka diberi ruang untuk bermain supaya gembira ke sekolah. Di Indonesia, UN lebih dipandang sebagai “proyek”.

Finlandia tidak menerapkan sistem yang diskriminatif sebagai alasan demi mengukur prestasi. Membedakan anak-anak dengan sistem rangking hanya akan melahirkan ‘orang-orang pintar’ dan ‘orang-orang bodoh’. Semua anak didik dipandang sama pintar. Yang pintar dan yang bodoh tidak dikecualikan, semua dalam kelas yang sama, mendapat perlakuan yang sama.

Perlengkapan sekolah, biaya sekolah gratis, 100 % ditanggung negara, bahkan anak-abak diberi makan waktu isrirahat. Negara mengambil alih seluruh proses, sarana dan prasarana agar tidak menjadi kendala bagi anak-anak maupun guru.

Sekolah tidak mengenal anak mampu dan tidak mampu, karena anak tidak perlu mengeluarkan biaya apapun. Guru digaji 29.000$ itu setara dengan penghasilan anggota DPRD TK I di Indonesia. Mereka tidak perlu memikirkan kekurangan uang untuk keperluan di rumah. Profesi guru di Finlandia sekelas dengan dokter atau pengacara.

Ketika anak lahir ke dunia, negara sudah mengantisipasi proses pendidikannya.
Di Finlandia, anak-anak baru boleh sekolah pada umur 7 tahun. Negara Finlandia menyadari bahwa  bermain adalah bagian penting dari pendidikan.

Antar sekolah tidak perlu ada kompetisi, yang membedakan antara sekolah favorit dan sekolah abal-abal, karena semua sekolah diberi fasilitas yang sama. Dengan model seperti ini, apakah guru dan anak-anak tidak merasa gembira?

Finlandia lebih menekankan kualitas daripada lamanya belajar. Sekolah-sekolah di Finlandia diciptakan sedemikian rupa seakan-akan menjadi rumah kedua bagi guru dan anak-anak didik. Mereka rindu datang ke sekolah untuk mengembangkan bakat dan kemampuan dirinya. Dan masih banyak lagi kemudahan yang diberikan negara kepada sekolah, pada prinsipnya semua yang berhubungan dengan pendidikan sepenuhnya ditanggung negara.

Sementara di Indonesia, seakan-akan terjadi dua dunia yang terpisah antara sekolah dan kehidupan diluar sekolah. Anak-anak merasa berat jika hendak pergi ke sekolah; jam belajar yang lama, PR, uang saku buat makan, ongkos transport, biaya sekolah, buku-buku yang belum dibeli. Bagi anak-anak, sekolah adalah beban, apalagi buat yang tidak mampu sekolah bukan arena “bermain” yang dirindukan.

Menurut para ahli, kenakalan anak-anak Indonesia diluar sekolah seperti tawuran, narkoba, pergaulan bebas adalah ekspresi penyambutan mereka terhadap tekanan hidup. Mestinya mereka bisa mengantisipasi dengan datang ke sekolah. Seharusnya sekolah bisa menjadi teman yang nyaman untuk mengatasi masalahnya sehari-hari.

Bagaimana Dengan Pendidikan Agama?

Pendidikan agama berbanding terbalik dengan pendidikan umum. Pendidikan agama lebih menerapkan pendidikan keimanan yang transendental, termasuk kehidupan setelah kematian; hal mana tidak perlu pembuktian empirik, sementara pendidikan umum lebih mengedepankan terjaminnya kehidupan didunia.

Dalam pendidikan agama, faktor stressing sangat diperlukan. Ada materi dogma-dogma yang harus diserap anak didik untuk melahirkan karakter dan sikapnya sesuai dengan agama yang diyakininya. Dalam hal ini konsep peniadaan kurikulum pendidikan agama oleh mendikbud bisa dimaklumi, bahwa pesantren; madrasah diniyah, tsanawiyah, aliyah; gereja, klenteng, pura akan lebih berkompeten terhadap anak-anak didik.

Wallohua’alam Bishowwab.