Metodelogi Da’wah Rijalul Ansor Pengajian ke 1

336

SILATURAHMI KE PESANTREN

Pesantren adalah ruhnya Nahdlatul Ulama, kalau unsur pimpinan Ansor dan kader Ansor sudah malas bersilaturahmi kepada kyai atau pimpinan pesantren, maka bisa jadi yang bersilaturahmi ke pesantren itu bukan kelompok kita, yang akhirnya kita akan tertinggal kehilangan bazis dan kader NU di pesantren. Ketika ruh itu hilang, maka akan mati, Kondisi hari ini perlahan pesantren salafiyah mulai meninggalkan kultur dan setruktur NU, dia lebih Cenderung didekati oleh kelompok organisasi Radikal, dan anti NKRI, yang pada akhirnya dia berapiliasi langsung dengan organisasi tersebut. Mungkin dia merasa tertarik dengan nuansa baru yang lebih agresif dalam panatisme beragama.
mungkin saja pimpinan pesantren merasa dijauhi oleh orang orang yang berstruktur di NU, sehingga dia beranggapan bahwa orang NU dan Banomnya lebih asik ngurus kegiatan setruktur, sementara kultur dia acuhkan, dia terlena jadi aktivis organisasi, aktivis partai, bahkan yang lebih prihatin dia terlena jadi aktivis proposal. Dia Datang kepada kyai tatkala ada butuh saja, giliran sudah tercapai cita citanya dia jauh lagi dengan pesantren, sama sekali jarang bersilaturahim dengan kiyai, apalagi kalau dia sudah menjadi pejabat publik dan menjadi anggota DPRD, sudah jarang bersilaturahim dengan kyai. jangan jangan sudah tidak kenal lagi dengan para kyai dan kesepuhan pesantren, giliran mau ada pimilihan lagi baru dia sibuk mengganggu aktivitas para kyai, pura pura paling dekat dengan kyai, pura pura perhatian kepada kyai, karena butuh suara dengan menggunaakan kebesaran nama kyai tersebut, nah inilah penyakit sederhana yang bisa jadi berbahaya.
Pesantren itu rumah kita, maka jangan sekali kali menjadi tamu di rumah kita sendiri. pesantren warisan leluhur Nahdlatul Ulama, lebih dominan di lahirkan oleh kyai kyai NU.
Kalau ditarik benang merahnya, dari hasil analisa yang kita pelajari, banyak kyai/pimpinan pesantren yang berusia muda, yang perlu kita dekati dan diajak diskusi tentang NU, ketika dia mondok mungkin saja tidak sempat belajar tentang NU, bahkan gurunya tidak pernah mengarahkan persoalan NU kepada santrinya, apalagi kaderisasi kepada santrinya untuk menjadi bagian dari NU, maka, setelah santri itu pulang ke rumah nya dia mendirikan pesantren atau kalau anak kyai dia meneruskan pesantren yang dipimpin oleh bapaknya.
Hasilnya, ketika dia menjadi pimpinan pesantren masyarakatpun perlahan mulai mengakui akan keilmuannya, namun dia tidak sadar bahwa pesantren dan keilmuan yang ia pelajari sanadnya dari kyai NU. Dia merasa ber NU itu ketika amaliah ibadahnya masih sama suka kunut, Tahlil, marhaba dll. seakan akan dia merasa cukup bahwa ber NU itu hanya melaksanakan ubudiahnya saja, padahal ber NU yang seharusnya bukan dilihat dari persoalan amaliahnya saja, tetapi soal sudut pandang beragama dan bernegara harus sesuai dengan idiologi NU.
Anwar Nasihin