Teologi Pembebasan bagi Kaum Difabel

455

Begitu kelam dan gelap melihat berbagai gejala sosial  dalam rentetan perjalanan panjang masyarakat Indonesia, mulai banyaknya penyandang disabilitas seakan terlupakan oleh berbagai kalangan, khususnya pemerintah yang menjadi tugasnya dalam memenuhi kebutuhan sosial  masyarakat yang mengalami disabilitas. Kaum difabel menjadi masalah kronis sosial di Indonesia,  tidak menjadi sorotan bagi difabel dalam memberi kesempatan bagi mereka untuk mengasah kapasitas diri, potensi maupun ruang aktualitas bagi mereka.

Diskriminasi bagi mereka sering terjadi dalam rung publik seperti minimnya akses pendidikan bagi mereka, jaminan sosial ekonomi bagi mereka serta tidak adanya fasilitas publik bagi mereka. Lalu menjadi tanda tanya besar di mana kah kehadiran pemerintah sebagai pengemban amanah untuk kehidupan layak bagi mereka?.

Menurut hasil pendataan (survey) PT Surveyor Indonesia (Persero) menyebutkan jumlah penyandang cacat di Indonesia paling tertinggi ada di sembila provinsi yaitu sebanyak 299.203 Jiwa dan salah satunya Jawa Barat menjadi posisi tertinggi hingga tahun 2009 dengan angka 50,90 persen. Dari kelompok umur, usia 18-60 tahun menempati posisi tertinggi kecacatan yang paling banyak dialami adalah cacat kaki (21,86%),mental retardasi (15,46%) dan bicara (13,08%). Dan penting menjadi catatan besar bagi pemerintah untuk menjadi skala prioritas bagi aum penyandang disabilitas.

Sementara UUD 1945 pasal 34 poin 1 dan 2 menyebutkan bahwa Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Begitupun poin2 di sana dijelaskan Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

Walaupun pemerintah telah mengesahkan UU No 4 tahun 2016 tentang penyandadang disabilitas yang menjadi harapan dan mimpi besar bagi mereka demi terpenuhi pengidupan yang layak bagi kaum difabel. Namun sejauh ini pelaksanaan UU itu menjadi tabu belaka ,banyaknya diskrimasi dan penindasan terhadap kaum difabel. salah satunya akses di dalam dunia kerja banyak perusahaan yang tidak menyediakan peluang  mendapatkan pekerjaan untuk kehidupan layak kaum difabel.

Pesta demokrasi menjelang pemilihan umum di berbagai daerah, mereka sering tidak dilibatkan dalam partisipasi pemilihan kepala daerah, ruang akses politik mereka tidak diberikan oleh pemerintah, seakan hak atas kaum difabel ini tidak menjadi sorotan oleh pemerintah maupun publik untuk memberikan kesejanteraan dan memperlakukan mereka dengan adil serta setara dalam tatanan sosial.

Rangkaian ini seakan menjadi goresan luka sosial bagi rakyat, cerita diskriminasi dan kekerasan seakan tidak kunjung usai terus berputar tanpa henti, seakan menjadi mimpi yang kosong bagi kaum difabel, lalu di manakah para Negara sebagai abdi rakyat untuk kaum difabel?

Teologi Pembebasan sebagai Solusi

Konsep dasar teologis menjadi penting dalam menjawab berbagai problem yang dihadapi bagi kaum difabel, karena adanya diskriminasi pemikiran oleh masyarakat dengan menilai buruk tentang kaum difabel, sehingga peran teologis dengan pendekatan humanistik menjadi alternatif dalam meluruskan stigma pemikiran negatif dan kekerasan terhadap kaum difabel.

Bila dikaitkan dengan problem kaum difabel teologi pembebasan menjadi konsep jawaban bagi  kaum tertindas khususnya bagi para kaum difabel.

Kembali Menengok sejarah perjuangan Nabi Muhammad (570 – 632 Masehi), yang secara harfiyah berarti manusia yang terpuji, adalah nabi terakhir dan merupakan revolusioner pertama di zaman modern ini.

Dia membebaskan budak-budak, anak-anak yatim dan perempuan, kaum yang miskin dan lemah. Perkataannya yang mengandung wahyu menjadi ukuran untuk membedakan yang benar dari yang salah, yang sejati dari yang palsu, dan kebaikan dari kejahatan. Misinya sama dengan nabi-nabi terdahulu; supremasi kebenaran, kesetaraan dan persaudaraan manusia. Untuk meningkatkan kesetaraan sosial dan persaudaraan manusia,

Muhammad Saw dengan ajaran-ajaranya, mendorong emansipasi kaum budak. Para pemeluk agama Islam yang pertama terutama adalah budak-budak, mawali (budak yang telah dimerdekakan), para wanita dan anak-anak yatim. Sehingga banyak sahabat yang dulunya adalah seorang budak. Mereka diantaranya adalah Bilal, Syu’aib, salman, Zaid bin Haritsah, Abdullah ibn Mas’ud, dan ‘Ammar bin Yassir.

Mengutip perkataan Ashgar Ali Engineer tentang bekal ajaran Islam yang sangat erat dengan Teologi Pembebasan, yaitu

  • Persaudaran Universal, semua elemen harus menjungjung asas persaudaraan kepada kaum difabel dengan bersama saling menolong dalam suatu kebaikan (Fastabiqul Khoirot).
  • kesetaraan, menjungjung tinggi persamaan dalam berbagai aspek kepada semua manusia termasuk warga Negara tanpa pandang suku,agama,ras dan budaya semua harus diperlakukan sama termasuk bagi mereka kaum difabel.
  • Keadilan sosial, pemerintah(Stakeholder) harus memenuhi akses dan mengeluarkan kebijakan non-diskrimatif terhadap kaum difabel dalam aspek pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya agar mampu terciptanya keadilan sosial.

Beberapa poin diatas menjadi catatan refleksi penting untuk semua bahwa ajaran teologi mengajarkan untuk peduli terhadap sesama manusia dengan menganut asas persaudaraan,kesetaraan dan keadilan sosial sebagai manusia. Teologi pembebasan menjadi sarana dan media pembebasan untuk para kaum difabel dengan melawan penindasan struktural serta menghormati martabat mereka sebagai manusia dengan memberikan hak yang sama kepada meraka karena mereka warga negara Indonesia dan pemerintah berlaku adil dan setara kepada kaum difabel dalam pemenuhan hak mereka sebagai manusia.

Sumber :

PT.Surveyor Indonesia, Laporan tahun 2009

Asghar Ali Engineer, 1999, Islam dan teologi Pembebasan, Bandung :, Mizan

UUD 1945 Pasal 33

Penulis :

Rangga Julian Hadi.S.Hum ,

Mahasiswa Sejarah Kebudayaan Islam,

Anggota PMII Kab.Bandung

Kordinator SahabatLintasIman(SALIM)