Remaja Sebagai Modal Pembangunan

237

Oleh : Siti Fatonah
Pada tahun 2007 sangat banyak jumlah remaja umur 10-24 tahun terdapat sekitar 64 juta atau 28% dari jumlah penduduk Indonesia sebanyak 222 juta jiwa (proyeksi penduduk tahun 2000-2025, BPS, Bappenas, UNFPA, 2005) di samping jumlahnya yang sangat besar, remaja juga mempunyai permasalahan yang sangat kompleks seiring dengan masa transisi yang dialami remaja.

Misalnya masalah pergaulan bebas, menyalahgunakan narkoba, broken home, genk motor, dan pencarian jati diri.
Masa remaja adalah suatu masa di mana individu dalam proses pertumbuhannya (terutama fisik) telah mencapai kematangan.

Periode ini menunjukkan suatu masa kehidupan di mana kita sulit untuk memandang remaja itu sebagai anak-anak, namun juga tidak sebagai orang dewasa. Masa transisi yang dialami remaja, menuntut remaja untuk berjuang menemukan jati diri, kemandirian, dan self-regulasi nya.

Mereka hidup di dalam masyarakat yang dominannya adalah orang dewasa, mereka harus menyesuaikan diri dengan kehidupan, di mana pembatasan-pembatasan dan peraturan-peraturan yang berlaku sering dirasakan remaja sebagai suatu peraturan yang sangat berat.

Bagi kebanyakan remaja, periode ini merupakan periode yang amat kritis. Jika remaja mampu mengatasi berbagai tuntutan yang dihadapinya secara integratif, maka ia akan menemukan jati dirinya. Sebaliknya bila gagal, ia akan berada pada krisis identitas yang berkepanjangan.

Masa remaja dikenal dengan masa percobaan yakni, masa transisi di mana ia mencari identitas diri dan pikiran serta pendiriannya selalu berubah-ubah. Pada masa remaja ini, terjadi perubahan psikis yang cepat atas perubahan sikap dan tingkah laku dengan menyesuaikan diri pada lingkungannya. Pada masa pencarian jati diri inilah, kadang kala para remaja kurang tepat dalam menggambarkan mengenai konsep-konsep dalam berperilaku dan bertindak.

Sehingga biasanya remaja yang mengalami hal tersebut akan mengalami krisis identitas yang berkepanjangan. Misalnya tidak sedikit di antara remaja tersebut menggambarkan konsep gaul dengan cara bergabung bersama genk motor, mereka seakan terlihat gagah dan mengikuti zaman, merasa diri terkenal dan banyak lagi alasan-alasan yang kontradiktif.
Selain terlibat dengan genk motor, konsep gaul yang kurang tepat tergambar oleh para remaja yakni dengan mengkonsumsi bahkan mengedarkan narkoba.

Remaja pengguna narkoba pada umumnya memiliki alasan-alasan seperti; ketidakpuasan dalam keluarga, sehingga secara alami mereka akan membentuk kelompok sebaya yang saling mempengaruhi dan memberikan dorongan untuk mencoba narkoba. Pada kelompok teman sebaya inilah, konsep-konsep gaul yang kurang tepat terpengaruh begitu saja, karena akan muncul anggapan jika tidak mencoba narkoba maka akan dianggap sebagai orang yang tidak berani, remaja yang kuno dan setumpuk pemikiran yang keliru.

Menurut Kartini Kartono hal ini disebabkan karena disorganisasi sosial atau berkurangnya tata nilai dan aturan-aturan tingkah laku sosial terhadap anggota-anggota kelompok lain. Serta akibat dari disoroganisasi personal yaitu kekalutan dan kepanikan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan yang tidak tertata nilai-nilai sosialnya.

Namun, jika melihat dari sisi psikologi remaja, bahwasanya pada masa remaja sering muncul keinginan untuk menunjukkan sikap-sikap berani dan ingin diperhatikan orang lain. Sebenarnya sifat-sifat tersebut pada permulaannya hanya sifat yang didemonstratif untuk menyembunyikan kegelisahan-kegelisahan yang belum dikenalnya.

Menurut Dr. Umar Usman, bahwa remaja mengalami hidup di dua alam yakni alam khayalan dan alam nyata di mana banyak ditemukan gejolak jiwa dan fisik. Masa transisi merupakan masa perpindahan alam khayalan ke alam nyata di mana banyak remaja berkhayal bahwa dirinya seorang super hero dalam segala hal.

Dalam kondisi seperti ini, remaja memerlukan subjek modal yang dapat dijadikan panutan dan contoh dalam pola bertindak dan berperilaku. Peranan orangtua sangatlah diperlukan dalam membentuk remaja agar lebih produktif.
Bukan hanya peranan orangtua saja, namun peranan lembaga-lembaga sosial, organisasi-organisasi yang berbasis remaja dapat ikut andil dalam pembentukan kondisi sosial yang kondusif.

Dalam hal ini ikatan pelajar putri Nahdlatul Ulama, sebagai organisasi yang notabennya remaja harus aktif dengan kegiatan-kegiatan yang postif dan interaktif untuk para remaja. Dengan membentuk kelompok-kelompok diskusi teman sebaya, karena pada kenyataannya saat seorang remaja mendapatkan sebuah masalah, mereka lebih nyaman berbagi cerita (curhat) kepada teman sebayanya daripada kepada orangtua atau para ahli.

Maka dari itu, mari kita lakukan hal-hal positif dengan memulai dari diri kita sendiri, dari orang-orang terdekat, melalui kelompok-kelompok teman sebaya menyebarkan virus-virus kebaikan dan pemahaman bahwa gaul itu tidak dengan gaya yang urak-urakan atau dengan konsep yang terlihat “baragajul”.

Jadikan gaul itu sebagai sarana dalam mengekspresikan diri, berani berprestasi dan berkarya dengan cara yang positif dan ikut andil dalam pembangunan daerah, karena kita para remaja harus bergerak menjadi modal pembangunan—bukan menjadi beban pembangunan.

Penulis adalah Ketua IPPNU Kota Bandung, Mahasiswa S1 UIN Sunan Gunung Djati Bandung