Soal Toleransi, Mari Lihat Umar!

645

Oleh : Farid Farhan*)

Mereka yang bukan saudaramu dalam Iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan – Imam Ali Karramallahu wajhahu –

Untuk kami kaum sarungan, saat momentum Hari Natal tiba, pastilah teringat sebuah nama milik seorang pribadi yang agung. Ia rela menjadi martir, menumbalkan diri sendiri demi ketentraman ibadah umat kristiani waktu itu. Hingga kini, namanya begitu harum sebagai syuhada, sebagai pejuang kemanusiaan, sebagai penjaga nilai-nilai toleransi dalam menjalankan ibadah berdasarkan agama dan keyakinan masing-masing dari kita.

Malam itu, 24 Desember 2000, Riyanto menjadi salah satu dari empat anggota Barisan Ansor Serba Guna (BANSER) yang ditugaskan oleh GP ANSOR Mojokerto untuk turut serta mengawal pelaksanaan Misa Natal di Gereja Eben Haezer, Mojokerto. Misa yang awalnya berlangsung khusyu’ itu mendadak dikejutkan oleh kecurigaan salah seorang jemaat yang melihat bungkusan dalam plastik.

Tak ingin ibadah jemaat lain terganggu karena bungkusan itu, Riyanto memberanikan diri untuk membukanya. Keberanian yang dia tunjukan sama sekali tidak surut seujung rambut pun saat melihat percikan api keluar dari bungkusan yang ternyata sebuah bom itu.

Teriakan ‘Tiaraaaap!!” darinya refleks diikuti oleh gerakan cepat melemparkan bungkusan itu keluar gereja. Namun sayang, bom itu terpental sehingga ia harus mengambilnya kembali. Saat mencoba melempar jauh-jauh bungkusan itu untuk kali kedua, Allah SWT menggariskan takdir-Nya, bom meledak dalam pelukan Riyanto, menjadikan tubuhnya berserakan sehingga aparat membutuhkan waktu beberapa jam untuk mengumpulkan potongan tubuhnya kembali.

Kini, 16 Tahun sudah berlalu sejak kejadian itu, rentetan teror sebagai buah dari ajaran intoleran terus menerus menggerogoti kehidupan kebangsaan kita. Namun, meskipun percikan gerakannya masih tetap eksis terasa, sebagai orang Sunda, tentu saja saya menganggapnya masih untung karena untung masih ada Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang berhasil mengorganisir Densus 88 untuk melakukan deteksi dini terhadap ‘Bom Panci Bekasi’, terhadap percobaan peledakan bom di Tangerang Selatan, juga penangkapan terduga teroris di Deli Serdang dan Payakumbuh.

Juga sebagai warga Purwakarta, pantaslah saya menganggap untung karena masih ada Kang Dedi Mulyadi, seorang pejuang toleransi di tanah Sunda yang hari ini berbeda, dulu sangat toleran sehingga Majelis Wali Songo hanya cukup mengutus satu orang Wali bernama Sunan Gunung Jati atau Syaikh Syarif Hidayatullah untuk mengislamkan seluruh tanah Sunda,

Namun kini, saat ratusan ribu pesantren telah berdiri diatasnya, Jawa Barat malah menjadi Juara Umum kasus intoleransi dengan rincian sebagaimana yang dirilis oleh Setara Institut yakni 2.948 tindakan pelanggaran, 1.867 peristiwa, 346 kasus gangguan tempat ibadah dan 365 kebijakan diskriminatif.

Misi Purwakarta sebagai Jerusalem Jawa Barat

Menurut catatan sejarah pada Tahun 637 sebagaimana dikutip dalam Jerusalem, Kesucian, Konflik dan Pengadilan Akhir (Kuncahyono, Trias 2011 : 150), setelah mengepung Jerusalem, akhirnya pasukan Khalifah Umar bin Khaththab berhasil masuk ke Jerusalem dengan damai setelah menandatangai perjanjian dengan pemimpin Jerusalem ketika itu, Patriark Elya Sophronius, sang penyandang gelar al-Quds atau orang suci dalam tradisi Kristiani setempat.

Beberapa tahun sebelumnya, Patriark Sophronius mengatakan ia tidak akan menandatangani perjanjian dengan siapapun kecuali dengan Khalifah Umar sendiri. Kemudian, Sophronius—yang boleh jadi sampai hari ini kita mempermasalahkan akidahnya— ‘Uskup Kristen Kafir’ dari Yunani ini menghadiahkan sebidang tanah kepada Khalifah Umar untuk membangun mesjid yang hari ini kita kenal sebagai Mesjid Umar.

‘Uskup Kristen Kafir’ ini pula yang mengantarkan Khalifah Umar berkunjung ke Gunung Muria atau Temple Mount atau Haram asy-Syarif, tempat Rasulullah SAW melaksanakan Mi’raj menuju Sidratul Muntaha. Khalifah Umar juga meminta kepada Sophronius untuk diantar melihat-lihat tempat Ibadah Kristen termasuk Gereja Makam Suci yang dibangun oleh Kaisar Konstantinus atas permintaan Ibundanya, Ratu Helena.

Dore Gold sebagaimana dikutip Trias (2011 : 154) menulis, toleransi agama dikembangkan di Jerusalem pada masa kekhalifahan Umar. Larangan berupa pemasangan salib di tempat umum yang diberlakukan sejak zaman Romawi, seketika dicabut oleh Khalifah Umar. Umat Kristiani diperbolehkan memasang salib di tempat terbuka dan juga diperbolehkan untuk melaksanakan ritual ibadah Minggu Palma.

Umat Yahudi pun demikian, mereka bebas membangun sinagoga di berbagai tempat bahkan di bawah Temple Mount, padahal sebagaimana paparan diatas, Temple Mount adalah tempat Rasulullah SAW melaksanakan Mi’raj dipandu Malaikat Jibril. Berdasarkan beberapa penggalian arkeologi di Temple Mount ditemukan bahwa Tarikh-nya menunjukan masa kekhalifahan Umar.

Suasana toleransi di Jerusalem ala Umar lah yang hari ini sedang diikhtiarkan di Purwakarta melalui advokasi dari Sang Bupatinya sendiri. Alergi mengunjungi tempat beribadah agama lain sedang coba dicarikan anti biotik-nya dengan cara membangun kebersamaan sejak dini, sejak usia sekolah diantara para pelajar beda agama. Tempat ibadah untuk seluruh agama dipersiapkan oleh Pemerintah Kabupaten Purwakarta di masing-masing sekolah

Langkah terbaru, menjelang Hari Natal tiba (25/12) mendatang, wilayah sekitar gereja dibersihkan secara sukarela oleh para pelajar di Purwakarta meskipun secara akidah mereka jelas berbeda. Namun tentu secara kemanusiaan mereka semua sama.

‘Kaum sumbu pendek’ yang gampang terbakar itu memandang langkah ini sebagai pendangkalan akidah pelajar muslim, kalau akidah pelajar Purwakarta dianggap menjadi dangkal karena berusaha memberi ruang ibadah kepada umat agama lain, maka dangkal sudah akidah Khalifah Umar yang memberi ruang ibadah kepada seluruh warga Jerusalem.

Sabda Rasulullah SAW :

“Wajib atas kalian mengikuti sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin setelahku, gigit sunnah itu dengan gigi geraham kalian”, — Hadist Riwayat Imam Ahmad bin Hanbal. (*)

*) Penulis adalah pegiat media sosial di Kabupaten Purwakarta.