Refleksi Kehidupan

253

Seorang psikolog (ahli jiwa) yang bernama Erickson mengatakan bahwa kehidupan ini adalah ibarat sebuah buku. Setiap akhir tahun kita harus memberi judul bab dalam buku kehidupan kita. Tentu saja tiap-tiap orang
memberikan judul yang berbeda-beda. Semua itu bergantung bagaimana seseorang menjalani kehidupannya. Dan kelak akan tiba waktunya buku kehidupan itu akan berakhir. Lembar halamannya habis. Tinta yang kita punya hanya tersisa untuk menuliskan judul buku kehidupan kita. Maka setelah membaca dengan teliti dan merenungkan bab demi bab buku kehidupan itu, kita sekarang harus memberi judul buku kehidupan kita.

Menurut Erickson, judul buku kehidupan itu hanya ada dua kemungkinan yaitu: “Kepuasan” atau “Keputus-asaan.”. Dan saya sadari di setiap langkah ruang dan waktu kepuasan dan keputus-asaan sangatlah berdekatan tanpa kita sadari kepuasaan tidak akan pernah ada ujunya bagai mana kita menyikapi kepuasan itu apa kah sebagai rasa syukur kita atau sebaliknya jangan  samapi menjadi kufur nikamat. Sebagaimana yang Allah firmankan :

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ

“(Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)” (An Nahl: 53

Namun seringkali kita kurang menyadari akan nikmat yang telah kita terima tersebut. Sehingga tentu saja membuat kita lalai dari mensyukurinya. Padahal seorang muslim wajib mensyukuri nikmat yang ia peroleh. Allah ta’ala berfirman :

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ

“Ingatlah kepada-Ku, Aku juga akan ingat kepada kalian. Dan bersyukurlah kepada-Ku, janganlah kalian kufur”
(QS. Al Baqarah: 15)

Dalam ayat ini, Allah ta’ala memerintahkan kepada kita untuk bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan dan melarang kita untuk berbuat kufur. Bahkan di ayat yang lain Allah mengancam orang-orang yang berbuat kufur dengan adzab yang pedih. Sebagaimana dalam firman Nya :

وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

Dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih”

(QS. Ibrahim: )
Sahabat, mengapa kita seringkali menjilat orang lain untuk kepentingan diri kita? Mengapa kita seringkali menyalahkan orang lain utuk menyelamatkan kepentingan kita? Mengapa kita seringkali mencari-cari kelemahan orang lain untuk menjatuhkan mereka? Tidak sadarkah bahwa diri kita mungkin lebih banyak kekurangannya dibanding denga orang yang tiap hari kita cari-cari kesalahannya. Tidak sadarkah bahwa menjilat itu merupakan perbuatan yang nista. Tidak sadarkah diri kita bahwa perbuatan itu sejatinya tidak ada bedanya dengan menjilat kotoran kita sendiri.

Oleh karena itu wajib bagi kita untuk perhatian terhadap perkara yang penting ini, sehingga tidak menjadi golongan orang-orang yang kufur atas nikmat Allah dan dapat terhindar dari ancaman adzab yang pedih.

*Reza Pahlevi,Mahasiswa STIE MUTTAQIEN dan Kader PMII Purwakarta