Menjaga Pancasila Dengan Tawa

95

Menjaga Pancasila Dengan Tawa

Vinanda Febriani

Malam hari ini Paguyuban Jamaah Kopdariyah Magelang kembali menyelenggarakan agenda pertemuan rutin sekaligus memperingati Ulang Tahunnya yang pertama pada Sabtu (24/02/2018) bertempat di aula STAIA Syubbanul Wathon, komplek Pesantren Enterpreneur, Tempuran. Dengan mengangkat tema “Menjaga Pancasila Dengan Tawa, Cerdas, Ramah, Damai Bermedsos untuk Ruwat dan Rawat Kebhinnekaan” dengan mengundang narasumber kehormatan, yakni Gus Yahya Cholil Staquf, Romo Benny Susetyo PR.

” Ini merupakan suatu kehormatan bagi Masyarakat Magelang. Malam hari ini kita kerawuhan tokoh-tokoh Nasional, pejuang-pejuang Kemanusiaan” Kata Gus Yusuf Chudlori dalam Sambutannya.

Dalam Ulangtahun Jamaah Kopdariyah yang pertama ini, hadir pula Kapolres Kabupaten Magelang, KH. Labib Asrori, MAFINDO, Banser, Pendeta Parlen dan juga masyarakat “Relawan Kebhinnekaan” se-Kabupaten Magelang.

“Jamaah Kopdariyah akan terus menularkan virus-virus kedamaian dan kebersamaan demi terciptanya kedamaian, ketenteraman bagi kita semua” Pesan Gus Yusuf dalam akhir Sambutannya.

Diawali dengan beberapa pementasan kesenian dan hiburan seperti group hadrah Pringombo, Sulap, Puisi Teatrikal dan juga terakhir ada lantunan musik angklung dari Gereja Karasulan Baru Pringombo yang kemudian dilanjutkan diskusi santai sesuai dengan tema Jamkop, yakni Menjaga Pancasila dengan Tawa.

Menjaga Pancasila dengan Humor

Romo Benny mengatakan bahwasanya dahulu ketika Gus Dur masih langgeng, beliau selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan humor tanpa menyinggung pihak manapun, “Karena sebenarnya Humor itu membuat kita berpikir” kata Romo Benny.

Masih, kata Romo Benny, mentertawakan merupakan cara kita untuk membangun asosiasi, tertawa adalah kreatif. Kita dalam beragama harus kreatif, kreatif itulah yang nantinya menghasilkan kreatifitas. Jika kita tidak kreatif, maka kita akan tertinggal. Kreatifitas nantinya akan melahirkan nilai tambah. Nah, hoax terjadi karena kita tidak mampu memberi nilai tambah dalam kehidupan. Oleh karena itu, untuk menghadapi ancaman hantu Hoax ini kita perlu menggerakkan kreatifitas dan nilai tambah dalam kehidupan. Pelaku penyebar hoax ini merupakan orang-orang yang tidak memiliki kreatifitas dan nilai tambah yang kemudian menjadikan seseorang berinisiasi untuk membangun “keisengan” menarik dengan mencampurkan isu SARA didalamnya untuk kepentingan ekonomi, bukan ideologi.

“Jadi menurut saya, mulai saat inilah untuk kita semua satu jam saja puasa gadget. Mari kita kembali membangun budaya Makan. Dahulu Gus Dur ingin mendirikan Partai Meja Makan karena segala sesuatu bisa diselesaikan di meja makan. Disitulah pertemuan antara orangtua dan anak untuk menyelesaikan suatu masalah dari hati ke hati dengan kehangatan. Di Gadget, tidak akan pernah kita temui sebuah kehangatan karena di dalam gadget tidak ada sentuhan melainkan hanya sekedar kata-kata, dan kata tidak memiliki makna jika tanpa adanya sentuhan. Kata akan bermakna ketika ada sentuhan cinta.” Ucap Romo Benny, “Kata tanpa cinta hanyalah seperti hantu yang membuat kita menjadi buta. Kata demi kata yang dirangkai maka akan muncul sebuah keindahan. Keindahan akan muncul apabila bertemu dengan persaudaraan” Pungkasnya.

Selain itu, Gus Yahya Cholil Staquf menyebutkan bahwa banyaknya penindasan-penindasan yang terjadi di dunia ini adalah sebab sudah tidak adanya rasa kemanusiaan yang murni, tidak adanya kekuatan spiritualitas di dunia ini, tidak seperti di Indonesia yang mayoritas Islamnya menjunjungtinggi kekuatan kemanusiaan dan spiritualitas dalam bingkai Islam Nusantara. “Indonesia ini negara Islam, yakni negara Islam Nusantara. Bukan negara Arab, tidak bisa jadi Arab dan jangan sampai jadi Arab” kata Gus Yahya.

“Indonesia adalah negara Islam Nusantara, apa Islam Nusantara itu?. Pertama adalah, Gurauan. Zaman dahulu para Kyai bergurau itu merupakan hal biasa. Bahkan ada yang sampai gurauannya parah, namun mereka tidak pernah sekalipun jengkel. Berbeda dengan saat ini dimana orang bergurau, salahsatu dari mereka merasa sakit hati. Inilah bedanya orang zaman dahulu dengan orang zaman sekarang. Kedua, perhatikan sejarah kemerdekaan. Bahwasanya Agama tidak pernah menjadi warna dalam dinamika sosial di bumi Nusantara. Mulai adanya konflik mengatasnamakan Agama adalah saat sesudah kemerdekaan. Sebab saat itu orang-orang diberi kesempatan untuk berpolitik dan sebagian besar dari mereka memanfaatkan agama sebagai alat untuk berpolitik. Jika kita ingin kembali ke ranah Islam Nusantara, maka satu satunya cara adalah dengan berhenti menggunakan agama untuk dijadikan alat dalam berpolitik.” Pungkas Presiden Terong Gosong yang memiliki gerakan GERANAS atau Gerakan Tertawa Nasional Tersebut.

Oleh karenanya, mulai detik ini marilah bersinergi bersama melawan, menolak dan menyudahi pemanfaatan agama untuk kepentingan politik yang nantinya akan memunculkan suatu konflik. Rakyat Indonesia harus selalu menjunjungtinggi kebhinnekaan. Salah satunya adalah dengan tawa, karena tawa mampu menyatukan perbedaan diantara kita.

Salam Jamaah Kopdariyah
Tebarkan kebaikan, taburkan cinta kasih dan berbagi karunia.

Vinanda Febriani. Borobudur, 25 Februari 2018.