Mengamati Putaran Kedua Pilkada DKI

267

Oleh: Kurnia P. Kusumah

Atas undangan sahabat Amsar A. Dulmanan, saya hadir sebagai peserta dalam Diskusi yang digelar IKA PMII DKI di lt 5 Ged.PBNU, Jakarta, 03/03/17 dengan Tema; NU Dalam Konstalasi Politik Islam. Para Pembicara; Dr. Efendi Choiri, Dr. Mundi Harno, dan dua orang lagi saya lupa namanya.

Menarik sekali diskusi itu karena sangat beragam aliran pemikirannya. Diskusi yang dihadiri para senior PMII seperti Shbt. Syukur Sabang, Syahrul Arubusman, Umarsyah, dan lainnya pantas saya angkat dalam tulisan ini karena saya anggap bisa mewakili mazhab-mazhab politik Islam yang tengah mengemuka saat ini.

Para pembicara secara garis besar menyampaikan pikiran kebetulan sama persis apa yang saya pikirkan; NU terbagi atas 3 kelompok; 1. Konservatif, 2, Moderat, 3, Liberal.

Pertama; kelompok konservatif, yang menyatukan agama dan negara. Islam adalah ajaran yang harus dijalankan oleh negara sepenuhnya, atau yang disebut negara-agama. Tokoh-tokohnya Sayd Kutub, Hasan Al-Bana, dll.

Kedua; kelompok moderat, yang meletakan agama dan negara dalam ruang yang berbeda, namun saling mengisi satu sama lain, tokohnya Husen Haykal.
Ketiga; liberal, yang memisahkan agama dan negara tanpa ada hubungan apapun atau negara- sekular, tokohnya Mustafa Kemal Attaturk.

Inilah konfigurasi corak pemikiran politik Islam dunia yang merembes ke tanah air. Jika kita melihat sikap, perilaku, pernyataan para tokoh-tokoh politik terkait Pilkada DKI 2017 maka kategori itu akan membantu penglihatan secara simplistis.

Ada peserta yang protes dengan kategorisasi itu, katanya NU itu satu, buat apa dibeda-bedakan. Itu bisa memecah-belah kekompakan warga nahdliyin. Namun dengan tangkas pembicara Efendi Choiri (Gus Choi) menyangkal, Allah Swt mengangkat derajat manusia lebih tinggi dari mahluk lain; malaikat, syetan, hewan, gunung-gunung, mereka diperintah Allah sujud kepada manusia karena manusia diberi kemampuan memberi nama-nama atau menggolong-golongkan ( Àl-Baqarah, 25).

Saya sependapat dengan Gus Choi, bahwa atmosfir politik Islam tanah air memang begitu adanya. Itulah yang menjadi alasan mengapa kita bergabung di NU. Sudah bergabung di NU-pun kemudian masih terkotak-kotak, maka itu pun keniscayaan. Saya teringat Alm. Mahbub Junaidi dalam Kongres PB PMII, Pondok Gede, 1987 ; “hanya dengan memahami corak berfikirnya, maka kita dpt mengenali orang-orang”

Lebih lanjut diskusi mengemuka, negara agama dalam rentang sejarah dapat merusak citra agama yang sakral dan luhur. Negara agama tidak lebih dari “labeling” sebagai upaya legitimasi para politisi korup agar bisa berlindung dibalik kesucian agama. Kaum Konservatif NU melihat Pancasila yang telah dinyatakan “final” adalah pernyataan politik belaka. Di forum itu saya malah mengatakan, penerimaan Pancasila bagi kaum konservatif adalah kepura-puraan.

Suatu saat jika ada pihak yang memelopori berdirinya negara Islam, mereka akan mendukung. Mereka sangat sensitif terhadap perbedaan agama, Kebenaran hanya dari Islam, diluar Islam salah semua. Seharusnya Islam menjadi sumber dari segala sumber hukum yang harus ditegakan dimuka bumi.

Sementara itu bagi kaum moderat, Pancasila diterima atas kesadaran ke-Islaman, bukan kepura-puraan. Mereka menolak negara agama lantaran tdk ada dasar yang kuat dalam Al-Quran perintah mendirikan negara Islam.

Bagi kaum moderat kebenaran bukan hanya dari Islam, ada kebenaran lain disamping Al-Quran, sy teringat ada Taurat, Zabur dan Injil sebagaimana petunjuk Al-Quran sendiri; Tàurat dan Injil harus diikuti (Qs 5;68), Taurat dan Injil dibenarkan Al-Quran (Qs 32:23), Taurat dan Injil adalah induk Al-Quran (Qs 43: Az-Zukryf). Bahkan ditambah ayat yang mengatakan orang kristen sahabat dekat orang Islam (Qs 5:82).

Sementara penjelasan tentang kaum liberal tdk mengemuka, mungkin peserta diskusi kurang menguasai materi “Islam Liberal”atau hal lain, terlebih sang tokoh JIL, Ulil Absor Abdala tdk hadir.

Akhirnya pembahasan mengerucut pada Pilkada DKI 2017. Dukungan komunitas NU terpecah kepada ketiga paslon. Apa yang menarik pada putaran kedua?

Setelah paslon 1 Agus-Silvy dinyatakan tidak masuk putaran kedua, maka partai-partai pengusung: PPP-Romy, PKB, Demokrat akan sangat menentukan kemenangan paslon no 2 atau no 3 pada tahap penentuan. Kemana suara mereka akan diarahkan?.

Para peserta diskusi tidak ada yang berani tergesa-gesa menyimpulkan siapa yang bakal menang diputaran akhir, kemungkinan fifty-fifty, keduanya bisa menang-bisa kalah.

Suara Agus-Silvy belum pula bisa dipastikan apakah akan diarahkan kepada paslon 2 atau 3. Euphoria sama-sama “anti Ahok” memang sudah sangat masif di partai-partai pedukung putra SBY ini. Bahkan Rois Aam PB NU dan Ketua MUI KH.

Maruf Amin sudah sangat berjasa menggelontorkan massa NU tumpah ruah dalam aksi 411 dan 212 sebagai indikasi penolakan thd paslon no 2, Ahok-Djarot. Secara kasat mata, maka suara mereka pasti akan dilimpahkan pada kawan konspirasi yaitu paslon no 3, Anis-Sandi. Namun, analisa berikut dapat meragukan kemungkinan itu.

Pertama, tema Islam Nusantara yang tengah diusung PKB akan kehilangan “spirit” jika suara dilimpahkan kepada paslon No 3. Disitu sudah bercokol kelompok Islam transnasional yang merupakan “musuh” Islam Nudantara. Kata “Nusantara” dibelakang kata “Islam” adalah kredo politik untuk melawan musuh. Orang akan berpendapat bagaimana bisa “air bersekutu dengan minyak”.

Dipihak lain, jika suara diarahkan ke paslon 2, PKB terlanjur euphoria menolak Ahok habis-habisan atas alasan penistaan agama. Maka, kurang elok jika kemarin diludahin, sekarang dijilat lagi. Apa kata dunia? Disinilah Ketua PKB Muhaimin Iskandar lagi bingung, sebingung-bingungnya. Kedua pilihan baginya berat. Kesana bukan, kesitu bukan. Dulu, waktu menentukan pilihan ke putra SBY, semata-mata atas pertimbangan pragmatis PKB demi Pemilu 2019. Sekarang? Saya kira MI tengah terbelit tali permainannya sendiri.

Tapi, belum lama saya lihat di TV, PKB berancang-ancang mendukung pasangan Ahok-Djarot. Melalui salah satu pengurus DPP, tengah menjajaki kemungkinan pertemuan dengan paslon “kotak-kotak”. Kita lihat saja nanti, kalaupun benar itu adalah pilihan “memilukan”. Pertanyaan saya, kenapa tidak dari dulu?

Sementara PPP-Romy tengah dihadapkan pada pilihan yang sulit juga. Jika surat suaranya dimasukan pada kotak suara milik paslon “kotak-kotak”, maka”kurs”nya akan jatuh, karena seterunya PPP Djan Faridz sudah lebih dulu disana. Tapi, bila suara diberikan kepada Anis-Sandi sebagaimana tuntutan massanya, maka Romy akan gagap dihadapan Presiden Jokowi, karena Romy bersekutu dengan “musuh” yang menerbitkan SK kepengurusan PPP versi dirinya.

Menurut salah satu peserta diskusi melihat pada akhirnya, Romy akan menelan pil pahit, pendukungnya disuruh bergabung dengan seterunya Djan Faridz, apa iya?

Bagaimana dengan partai SBY, Demokrat? Saya berpendapat, SBY adalah tipe orang yang tidak mau kehilangan muka. Kekalahan anaknya pada putaran pertama cukup menjatuhkan reputasinya sebagai mantan presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat. Maka, SBY seperti biasa tidak akan menyerahkan suaranya secara murahan. Menyerahkan suara ke “kotak-kotak”? Tidak mungkin ini dilakukan selama ada seterunya Megawati disana.

Mengalihkan suara ke Anis-Sandi? Mungkin saja SBY berbagi suara dengan Prabowo. Desas-desus SBY ingin tampil sendiri mewakili semua partai pendukung AHY-Silvy. Ada agenda yang ingin dicapai. Tapi, saya lebih percaya, SBY harus mendapat sesuatu atas kekalahan anaknya itu, apakah itu dalam bentuk konpensasi?

Wallohualam Bi Sowwab.