NU Ladang Basah “Project” Khilafah

384

Oleh : Taufiq Rahman*

MENYIMAK realitas Indonesia dewasa ini menjadi tampak buram, khusus konteks keberagaman yang menjadi keniscayaan, akan tetapi serasa luluh lantah dihempaskan oleh ambisi menguasai negeri gerombolan manusia yang mengusung “project” khilafah Islamiah menggantikan dasar Negara pancasila.

Sangat relefan disebut project, karena keberadaannya bukan lahir dari dalam bingkai kemaslakhatan dan kesadaran warga bangsa, akan tetapi pesanan dari luar bangsa Indonesia dengan speck yang telah ditentukan. Cirinya, menjual teks-teks agama, jihad dan sejenisnya, demi menarik simpati publik dengan melakukan branding image semenarik mungkin melalui media masa cetak, elektonik juga media sosial resmi maupun tidak resmi. Jika dalam pandangan Ahli Tafsir terkemuka Prof DR KH Quraish Shihab, bahwa salah satu syarat pokok untuk memasyarakatkan sebuah ide harus menarik perhatian.

Menjadi tabu adalah, teks agama yang disuguhkan terlampau dipaksakan, bahkan pesan dari sebuah teks agama juga tidak dikaji secara komprehensif. Legitimasi berupa ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak membahas sistem khilafah islamiah dijadikan landasan, agar mendapatkan respon positif, seluruhnya didasarkan hanya pada kepentingan untuk memuluskan misinya mengganti sistem demokrasi yang sedang menuju pendewasaanya di Indonesia, meskipun mereka menggunakan kebebasan berpendapat dari sitem tersebut untuk menebar informasi menyesatkan dan cenderung mengarah pada fitnah.

Wacana khilafah yang kini makin getol didengungkan juga memanfaatkan momentum pilkada tahun 2017 dengan menolak calon pemimpin petahana Ibukota DKI Jakarta yang disebutnya sebagai kafir, hanya karena Basuki Tjahaja Purnama (Ahok, red) adalah non muslim.

Namun, kenapa harus Nahdlatul Ulama (NU) menjadi sasaran utamanya?; bahkan target kelompok yang belakangan populer dengan sebutan transnasional tersebut NU bisa dibubarkan di Tahun 2025 mendatang. Ormas Islam yang memiliki pengikut lebih dari setengah warga Negara Indonesia itu menjadi ibarat perempuan molek nan cantik yang diseret-seret dalam pusara konflik politik, kemudian menjadikannya sebagai ladang basah untuk direbut pengaruhnya hingga tingkat bawah demi ambisinya berkuasa.

Hal itu bukan hanya tampak pada masa kekinian, namun jauh sebelumnya sejak masuknya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) era tahun 1980an, sebagai salah satu ormas anti pancasila yang getol menyuarakan khilafah islamiyah mulai melegitimasinya kepada Pendiri NU, seperti tulisan dalam jaringan media informasi kelompoknya, yang mengangkat judul KH Abdul Wahab Hasbullah, tokoh pendiri NU dan inisiator konfrensi khilafah 1926, yang ditulis Wahyu Suluh. Kemudian tulisan NU NKRI dan Khilafah, karya A Baedlowi An-Nawy, selanjutnya tulisan NU dan HT dua saudara kembar dalam memperjuangkan Islam dan lain sebagainya.

Kesemuanya jelas bukan tanpa motif untuk berusaha memosikan kelompok mereka bukan orang lain di tubuh NU, sehingga akan dengan mudah mengajak jamiyahnya ikut bergabung tanpa harus berfikir ulang sejarah dan idiologi besar yang diusungnya. Namun, alangkah jauh lebih bijak jika dahulu dibeber sejarah singkat pasca sistem khilafah Turki berakhir pada Tanggal 3 Maret 1924.

Cirebon menjadi salah satu sejarah penting dalam masa-masa itu karena digelarnya Kongres 1 ulama yang dihadiri langsung KH Wahab Hasbullah, karena Tokoh muslim Indonesia yang terbelah menjadi dua Islam Reformis dan Tradisionalis dengan tokoh Kyai Wahab didalamnya, menyikapi fenomena Muhammad Ibnu Su’ud yang beraliran Wahabi, dimana kebijakannya pasca merebut Hijaz dan mendirikan Kerajaan Saudi sangat anti terhadap ritual keberagamaan seperti ziarah kubur dan membaca barzanji.

Hal itu juga dikuatkan dengan pandangan KH Abdul Muchit Muzadi dalam bukunya Mengenal Nahdlatul Ulama halaman 6-7 bahwa gerakan KH Wahab Hasbullah bersama dengan Hadrotusyaikh KH Hasyim Asy’ari membentuk komite hijaz mengirimkan delegasi mengkomplain kebijakan Ibnu Su’ud, karena tidak sejalan dengan ajaran Islam Ahlusunnah Waljamaah dan kemudian mendirikan NU, sama sekali tidak ada kaitannya dengan dukungannya pada khilafah Islamiyah. Hal itu menunjukkan klaim-klaim yang dituliskan sangat tidak memiliki dasar historis yang jelas dan pasti, semua hanya asumsi agar menaikkan posisi tawar khilafah di kalangan masyarakat Indonesia sama seperti menggunakan teks-teks Al-qur’an sesuai tafsirnya sendiri.

Dalam buku HTI Gagal Faham Khilafah karya Makmun Rasyid dituliskan, diantara yang menjadi semu pandangan gerakan khilafah di Indonesia diantaranya menginterpretasikan ulul amri minkum dalam Surat Annisa ayat 59, sama dengan pemerintah atau sesuatu yang memiliki wewenang atau mengelola sebuah pemerintahan yang terdapat dalam sebuah negara, kemudian mereka jadikan dasar menolak pemimpin Negara yang non muslim.

Hal itu mereka bukukan dalam adopted book (kitab primer, red) yang berjudul Ajhizah al-Daulah al-Khilafah fi Al-hukmi Wa al-idarah dimana dituliskan, dalam diri seorang khilafah harus memiliki 7 syarat mutlak, salah satu syarat in’iqad (syarat legal,red) harus seorang muslim. Padahal dalam ayat ya Ayyuhalladzina Amanu Athi’ullahaha Wa Athi’un Rosul Wa Ulil Amri Minkum tersebut, tidak ditemukan indikasi kuat ada dan diwajibkannya sistem khilafah.

NU juga selama ini dijadikan sebuah kendaraan agar misinya di Indonesia menjadi lebih mudah, seolah tidak menentang Negara akan tetapi perlahan dan kini tampak jelas menolaknya, akan tetapi konsistensinya mengharamkan demokrasi harus betul-betul diuji, karena dalam bahasa Ainun Rofiq Al-amin dalam bukunya membongkar proyek khilafah ala Hizbuttahrir Indonesia, dituliskan fakta dimana saat ini mereka mulai masuk dalam ruang demokrasi dengan mengikuti pemilu dan lain sebagainya.

Selain itu konsep kebangsaan NU yang tegas mengikuti bahkan ikut menciptakan UUD 1945 Pancasila dan produk hukum yang ada pada negeri ini dalam urusan berbangsa dan bernegara, tidak selaras dengan konsepsi khilafah yang diusung HTI dan kelompok anti pancasila yang lain. Yang menjadi masalah, belum terjawab dengan komprehensif diantaranya adalah bagaimana konsepsi politik HTI tentang khilafah?; Bagaimana implikasi konsep khilafah HTI?; Mengapa menggunakan dan menawarkan khilafah dalam mencari solusi sebuah bangsa?; Bagaimana relevansi konsep khilafah yang ditawarkan HTI dalam konteks perpolitikan di Indonesia?; Bagaimana penafsiran ayat-ayat khilafah menurut HTI?.

Semua project semu khilafah seperti yang dituliskan Nur Fuadi dalam bukunya Konsep Khilafah Islam HTI dan Implikasinya Terhadap Pluralitas Bangsa Indonesia sangat besar, diantaranya adalah menimbulkan adanya perpecahan warga Negara dan terjadinya konflik antar umat beragama. Kesemuanya sangat wajar dilakukan HTI karena dari berdirinya di Palestina, tidak menganut dan bertumpu pada nation state atau nasionalisme bangsa dan Negara meskipun sebagai organisasi politik. Khusus di Indonesia HTI juga tidak akan mati-matian membela jerih payah pahlawan-pahlawan dan para pendiri bangsa atas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena lahir setelah bangsa dan Negara ini merdeka oleh Taqiyuddin al-Nabhani pada tahun 1953.

Dalam buku HTI Gagal Faham Khilafah juga, Mayjen TNI Agus Agus SB dalam kontruksi pemikirannya menuliskan ada 5 tipologi golongan atau kelompok yang cenderung radikal yang harus diwaspadai keberadaannya. Pertama radikal gagasan, tetapi belum pernah terlibat dalam kekerasan, ini diwakili oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Majlis Mujahidin Indonesia. Kedua, radikal non teoritis, dimana kelompok ini masuk dalam kategori residivisme, gangsterisme dan vandalisme, ini diwakili di Indonesia oleh Front Pemebla Islam (FPI). Ketiga adalah radikal milisi, dimana kelompok ini masuk dalam kelompok yang pernah terlibat dalam konflik komunal, seperti Laskar Jihad (LJ), Laskar Mujahidin (LM) dan Laskar Jundullah. Keempat, Radikal Sparatisme yang mengusung misi-misi separatism yang diwakili oleh kelompok Negara Islam Indonesia (NII) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kelima, radikal teoritis yang mengusung gagasan bias konflik, dengan membungkus idiologi keagamaan dengan wajah buram dan berpotensi melakukan aksi terorisme di tengah-tengah masyarakat. Wallahu A’lam

*Penulis adalah Ketua Umum PC PMII Indramayu 2009-2010 dan Redaktur Harian Politik salah satu media group nasional.