LAILATUL IJTIMA’

1240

LAILATUL IJTIMA’

Pada sebagian masyarakat muslim tradisional, terdapat sejumlah ritual dan praktek keagamaan yang secara sosial kultural mencerminkan kejamaahan, rempug jungkung, guyub, dan solidaritas sosial diantara sesama muslim dan warga masyarakat.   Diantara tradisi keagamaan tersebut diantaranya berupa tahlil, haol, muludan, rajaban, marhabaan, syahriahan dan sebagainya. Bagi masyarakat muslim tradisional, praktek keagamaan tersebut merupakan bagian dari warisan tradisi yang sudah turun temurun diageum oleh para leluhurnya. Selain sebagai bentuk keyakinan teologis, tradisi demikian juga merupakan wujud kepatuhan terhadap kebiasaan yang telah telah hidup dan berkembang sebagaimana dilakukan para moyangnya.

Sejak lama, model dan corak keberagamaan masyarakat tradisional ini menjadi salah satu yang telah menarik perhatian banyak peneliti sosial, tidak hanya dari dalam negeri namun juga dari luar yang dikenal dengan Indonesianis,  dalam melakukan kajian atas Islam Indonesia dengan segala atribut ritualnya baik ditinjau dari aspek sosiologis,politis maupun antropologis. Tahun 1950-an terdapat penelitian Clifford Greetz yang melakukan penggolongan sosial budaya masyarakat jawa berdasarkan aliran ideologi berbasiskan keyakinan keagamaan dalam karyanya yang monumental “The Javanese Religion” dengan trikotominya ‘abangan-priyayi-santri. Walaupun memunculkan banyak perdebatan dari teori yang dirumuskannya, melalui tangan Geertz inilah sebagaimana dikatakan Nur Syam telah membuka jendela internasional atas kajian islam dan masyarakat di Indonesia. Menyusul kemudian, ada peneliti Mark R. Woodward, Andrew Beatty, Niels Mulder  dan lain sebagainya. Tidak sedikit juga peneliti dan sarjana Indonesia yang melakukan hal yang sama dalam mengkaji hubungan islam dengan tradisi dan kebudayaan yang berkembang pada masyarakat muslim Indonesia.

Hal yang terpenting yang bisa kita tarik benang merahnya, bahwa Islam dengan segala atribut dan tradisinya yang ada di Indonesia memanglah unik dan khas yang mencerminkan karakter tersendiri dari model Islam Indonesia.  Keunikan ini merupakan hasil dari proses dialog antara Islam yang berasal dari luar dengan kekayaan tradisi lokal yang telah lama hadir di bumi Nusantara. Diantara keduanya tidak saling menafikan dan mengingkari, namun saling mengisi untuk membentuk tatanan harmoni ditengah-tengah social masyarakat. Melalui pendekatan demikian oleh para Wali Sanga, islam di Indonesia dapat tumbuh sumbur menjadi komunitas terbesar di dunia dan tetap lestari hingga kini. Akan sangat berbeda dengan penyebaran Islam pada belahan dunia lain yang cenderung dominannya menggunakan cara-cara peperangan dan militerisme, hanya tinggal menyisakan catatan dan puing sejarah.

Dalam organisasi NU, model kegiatan demikian diformalkan dalam bentuk kegiatan rutin yang dinamakan dengan lailatul ijtima’. Belakangan model sejenis diikuti oleh banom pemudanya yakni Gerakan Pemuda Ansor dengan nama Majelis Rijalul Ansor. Kegiatan lailatul ijtima’ ini dilakukan secara rutin baik mingguan maupun bulanan dengan tempat tentatif. Bisa bergiliran pada rumah tokoh-tokoh NU sendiri atau pesantren, maupun terpusat di kantor organisasi. Tujuan utama dari rutinitas tersebut, selain bagian dari menjaga dan mengembangkan amaliah ahlussunnah waljama’ah (aswaja) al-nahdliyah sebagai pemahaman dan pengamalan organisasi juga diorientasikan untuk menjaga kekompakan dan persatuan sesama pengurus organisasi serta menjadi ajang perbincangan dalam merespon berbagai dinamika dan pesoalan sosial yang berkembang di tengah-tengah masyarakat terutama dalam aspek keagamaan.

Penangkal  Radikalisme

Walaupun ditinjau dari aspek teologis praktek kegamaan masyarakat tradisional ini kadangkala oleh masyarakat “muslim modern” dianggap sebagai “penyakit TBC (Takhayul, bid’ah,khurafat) namun dibalik itu semua sesungguhya mengandung nilai dan spirit dalam konteks menjaga integrasi sosial masyarakat dari berbagai ancaman yang datang dari luar, termasuk momok menakutkan masyarakat modern-perkotaan berupa gerakan terorisme yang seringkali mendompleng atas nama agama untuk “menegakkan syariat agama”. Fakta menunjukan, bahwa berbagai peristiwa terror dan pengeboman yang terjadi di tanah air dipastikan terjadi di wilayah perkotaan.

Lepas dari cara pandang syariah maupun teologis, dalam konteks sosial kemasyarakatan, paling tidak terdapat tiga manfaat yang dapat dipetik dari model ritual lailatul ijtima’: Pertama, Majelis Ilmu. Dalam forum tersebut biasanya ada ruang khusus dari orang yang dianggap memiliki kapasitas pengetahuan agama, baik itu seorang kiyai atau pun tokoh masyarakat memberikan pemaparan dan pemahaman pengetahuan agama kepada para jamaahnya termasuk fenomena mutakhir keberagamaan ditengah-tengah masyarakat.  Kedua, Majlis silaturahmi. Melalui forum ini juga dipastikan terjadi ruang interaksi antar warga masyarakat dari berbagai elemen dalam membangun kerekatan sosial satu sama lain. Ketiga, media kontrol sosial. Dalam forum lailatul ijtima’ dibuka ruang tukar pendapat dan diskusi mengenai berbagai fenomena sosial kegamaan dan politik yang berkembang di tengah-tengah masyarakat termasuk kemungkinan munculnya paham-paham keagamaan yang dipandang dapat merusak tatanan sosial masyarakat setempat. Semua partisipan dalam forum tersebut memiliki hak yang sama untuk mengidentifikasi dan mengemukakan pendapatnya dalam menyikapi persoalan-persoalan sosial yang ada.

Dengan demikian, ritual seperti lailatul ijtima’ yang sarat dengan nilai-nilai spiritual ini, dapat pula menjadi salah model gerakan budaya berbasis kegamaan yang perlu digalakan ditengah-tengah masyarakat dalam menangkal arus pemikiran dan gerakan yang mengarah kepada terorisme yang jelas-jelas sangat meresahkan masyarakat dan telah memakan banyak korban manusia. Bagaimanapun pemikiran dan gerakan yang merongrong kedaulatan Negara harus disikapi dengan serius dan melibatkan partisipasi masyarakat secara luas. Program Deradikalisasi yang oleh banyak kalangan dianggap cukup kontroversi dan lebih kental nuansa proyeknya itu hanya akan memboroskan keuangan Negara, namun tidak memiliki dampak yang cukup signifikan dalam membangun kekuatan dan kesadaran warga masyarakat. Wallahu ‘alam. (Edi Rusyandi)