Konsep Imam yang Mendadak Tenar

504

Oleh : Farid Farhan *)

Pembicaraan tentang Imam beberapa waktu yang lalu menyeruak ke permukaan. Benak masyarakat dikejutkan dengan deklarasi pernyataan diri sebagai Imam Besar dari salah seorang tokoh organisasi masyarakat Islam yang bahkan tidak terdaftar di Kementerian Dalam Negeri. Uniknya, cara pengangkatan sebagai Imam ini dilakukan melalui penandatanganan Surat Pernyataan.

Bukan sekedar Imam, ia mendeklarasikan diri sebagai Imam Besar atau dalam terminologi bahasa Arab sering disebut Imaamul Akbar. Dalam sejarah keempat Mujtahid Mutlak, Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, hanya Imam Abu Hanifah saja yang tersemat di depan namanya itu gelar Imamul Akbar, beliau menyematkan ini, saat menyusun Kitab Fiqhul Akbar, sebuah kitab berisi tentang ajaran Ketauhidan.

Memang, istilah fiqih pada awal penggunaannya, ditujukan untuk disiplin ilmu yang berhubungan dengan Ketauhidan, sebelum akhirnya kini dipakai sebagai istilah bagi ilmu furu’ yang membahas tentang tata cara peribadatan secara holistik dan kontekstual.

Syaikh Ihsan bin al Marhum Muhammad Dahlan al Jampasi al Kediri dalam Syarahnya terhadap Kitab Minhajul Aabidin, kitab terakhir yang disusun oleh Hujjatul Islam Imam Ghazali sempat sedikit mengulas tentang makna Imam.

Salah satu Ulama Nusantara ini mengatakan Imam sejatinya adalah dia yang diikuti sekaligus dituruti. Hemat saya, pendek kata, Imam adalah dia yang memiliki keteladanan bukan saja dalam ketaatan saat melakukan ibadah ritual, melainkan jauh lebih dari itu, perilaku sosial yang ia tunjukan, harus menjadi contoh bagi sekalian umat.

Adapun ukuran sederhana yang menjadi guide bagi umat dalam soal yang menentukan seseorang layak diikuti atau tidak, tentulah Al Qur’an, Sunnah, Ijma, Qiyas dan perilaku salafush shalih dalam kehidupannya. Bahkan, mereka yang memiliki karomah pun tidak termasuk ke dalam ukuran ini.

Dalam satu kesempatan, Imam Ghazali dalam Ihya ‘Ulumuddin pernah mengatakan, “janganlah kalian tertipu oleh orang yang mampu terbang secepat kilat atau berjalan diatas air sampai kalian mengetahui perilaku keseharian orang tersebut dalam melakukan perintah dan menjauhi sesuatu yang dilarang oleh Allah,”. Lebih jauh Hujjatul Islam itu mengatakan “Sesungguhnya Iblis dapat terbang dari Mekah ke Madinah hanya dalam waktu sekejap saja,”.

Pantaslah dalam konteks ini, Syaikh Ibnu ‘Athaillah al Iskandari mengatakan “jangan pernah kalian mencari karomah, tetapi carilah istiqomah”,. Konsistensi dalam ibadah baik ritual maupun sosial menjadi indikator kemuliaan itu sendiri, bukan di mata makhluk, tetapi di mata Allah, Tuhan yang Maha Kuasa.

Proses panjang dalam menyelami syari’at, tharekat untuk sampai kepada hakikat menjadi fase penting yang harus dilalui oleh seorang muslim untuk menjadi Imam, orang yang derap langkahnya layak untuk diikuti. Proses itu, tidak bisa serta merta diganti dengan penggalangan Surat Pernyataan dari umat yang boleh jadi masih awam dalam memahami batasan Imam dan Imam Besar itu sendiri.(*)