Kita Semua Bersaudara

102

Kita Semua Bersaudara

Saya terkadang risih, ketika di zaman secanggih dan semodern ini, masih banyak orang yang mempersoalkan ‘pribumi’ dan ‘non-pribumi’; Cina, Arab dan lain sebagainya, untuk kemudian mempertentangkannya. Pengotak-otakan itu sebetulnya sudah tidak relevan. Karenanya, kita ini bersaudara, sesama warga negara Indonesia. Selama kita ber-KTP Indonesia yang sah, tak peduli dari mana kita berasal, kita semua bersaudara.

Yang harus kita jadikan prinsip adalah kebaikan perilakunya. Bukan identitas agama, suku, bahasa dan lainnya. Siapapun di antara kita, apapun agama dan alirannya; Islam, Hindu, Budha, Kristen, Katholik, Konghucu, Ahmadiyah, Syiah, Sunda Wiwitan, Kaharingan dan lain sebagainya, selama kita menjujung tinggi Pancasila dan NKRI, satu sama lain di antara kita harus saling menjaga dan memberi rasa aman.

Keberagaman bukanlah ancaman, ia adalah anugerah yang harus kita songsong dalam mewujudkan kehidupan yang indah. Lihatlah pelangi, betapa indah ketika kita memandangnya. Ia indah karena berbeda-beda warna. Karena perbedaan itulah warnanya menjadi satu padu. Saling melengkapi, saling memberi kesan indah.

Untuk memperkuat perspektif, berikut saya berikan contoh. Ada seseorang yang mengaku beragama Islam (Muslim). Ia membaca dua kalimat syahadat dan memenuhi rukun Islam yang lain berikut rukun iman. Tetapi di saat yang sama, identitas kemuslimannya justru membuat dia mau menang sendiri, merasa paling benar sendiri sambil menyalahkan orang lain yang berbeda.

Nah contoh di atas menunjukkan bahwa mengaku Islam saja tidak cukup. Itu karena identitas kemuslimannya tidak berbanding lurus dengan akhlaknya. Apalagi kalau kemudian, orang tersebut anti-NKRI, penganut khilafah Islamiyah dan kerap melakukan aksi-aksi intoleran. Orang seperti inilah sejatinya musuh kita bersama. Orang justru menodai kemuslimannya sendiri.

Betapapun kita beragam dan berbeda tetapi titik temu kita sama; Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Siapapun yang menjunjung tinggi 4 pilar konsensus bersama ini, patut kita hargai, kita berikan hak-haknya sebagai warga negara. Agama dan keyakinan itu wilayah privat, bukan untuk diperdebatkan, apalagi dijelek-jelekkan. Kita tidak boleh mengukur konsep keimanan agama Islam dengan agama lain, sebagaimana misalnya kita tidak berhak mengukur konsep keimanan Kristen dengan Islam. Begitu berlaku bagi agama yang lain.

Walhasil, perbedaan agama, etnis, suku, bahasa dan lainnya, sekali lagi, bukanlah halangan untuk bersatu. Mari kita jadikan keberagaman ini sebagai modal untuk membangun kehidupan sosial yang harmoni. Maka dari itu musuh kita dewasa ini bukanlah perbedaan tetapi mereka yang selama ini menjadi pengkhianat bangsa; teroris, koruptor, gembong narkoba, pedofil dan para pengkhianat bangsa lain sejenisnya.

Mari kita lunasi janji kemerdekaan ini dengan melakukan perubahan ke arah kebaikan. Dengan begitu, kita tidak boleh mudah terpengaruh pada provokasi dan fitnah sosial. Kita juga mesti waspada agar kita tidak melakukan ujaran kebencian, adu domba, menyebar berita hoax, fitnah dan kejahatan lainnya. Kita harus mengerahkan segala kemampuan untuk harmoninasi umat beragama dan keadilan sosial.

Wallaahu a’lam.

Mamang M Haerudin (Aa)

Lapangan Tegal Wangi Liga Santri Nusantara, 28 Agustus 2017, 15.33 WIB.