Filosofi Ngetem dan Budaya Generalisasi

372

Oleh: M Nailul Maali*)

Dalam kehidupan per-angkot-an di Jawa Barat ada suatu fenomena yang menarik namun paling dihindari oleh para calon pelanggan jasa angkutan kota. Meskipun begitu, praktek ini masih sering dilakukan oleh penyedia jasa angkutan umum sampai saat ini. Ngetem, adalah suatu tindakan yang mana supir angkot memberhentikan laju angkotnya dengan durasi yang singkat sampai (sangat) lama yang bertujuan untuk “mencari” penumpang.

Supir-supir angkot ngetem tersebut pada umumnya menjalankan angkot yang dikemudikannya apabila angkot terisi penuh oleh penumpang. Ketika kondisi hampir penuh pun, umumnya, supir angkot lebih sering berhenti untuk menanti penumpang yang diharapkan akan ikut bergabung di dalam angkotnya. Fenomena ini bisa ditemukan hampir di seluruh wilayah Jawa Barat (yang saya temukan, fenomena ngetem di Ibukota Jakarta lebih parah). Namun yang menjadi fokus bahasan di sini adalah Kabupaten dan Kota Bandung dan Kabupaten Sumedang.

Fakta yang terjadi di lapangan, supir angkot bahkan sampai berjalan mundur untuk menarik calon penumpang yang terlihat berjalan dari salah satu gang yang terlewatkan oleh angkotnya. Ini cukup mengesalkan karena bakal calon penumpang tersebut belum tentu ingin menuju ke daerah yang menjadi angkot itu. Dari tiga kali supir angkot memutuskan untuk berjalan mundur, setidaknya hanya satu yang merupakan keputusan yang tepat dari supir angkot. Angkot berjalan mundur tidak hanya untuk memastikan bakal calon penumpang yang tengah berjalan di gang yang telah terlewatkan oleh angkot. Kasus seperti itu juga sering terjadi ketika angkot telah berjalan cukup jauh, namun supir melihat melalui kaca spion bahwa terdapat bus damri yang menrunkan penumpang di pangkalan damri. Seringkali, kasus tersebut terjadi di pangkalan damri Unpad Jatinangor. Ketika angkot sudah mulai berjalan, supir melihat bahwa bus Cimahi-Jattinangor tiba, Supir memutuskan untuk berhenti dan berjalan mundur untuk menarik bakal calon penumpang yang baru saa turun dari bus tersebut.

Kasus bakal calon penumpang yang turun dari bus juga terdapat fenomena lain. Angkot yang tengah berjalan memutuskan untuk mengejar bus yang memang akan berhenti di pemberhentian terakhir. Yang aneh adalah supir angkot menghiraukan calon penumpang yang telah menanti di depannya. Ini cukup aneh bahwa melihat fenomena seperti itu, asumsi dasar yang terbentuk adalah bahwa supir angkot lebih memilih mengejar sesuatu yang tak pasti, tentunya dengan peluang akan mendapatkan penumpang lebih banyak dibandingkan satu penumpang yang telah pasti hendak menumpangi angkot yang ia kemudikan.

Hal tersebut juga aneh bahwa angkot itu juga pada awalnya ngetem! Tentu fenomena pengejaran bus tersebut sangat kontras dengan budaya ngetem yang lebih menjamur di kalangan pelaku jasa angkutan umum. Dari fenomena ngetem yang sedikit diulas tadi, muncul sebuah kesimpulan ngasal dari saya bahwa filosofi ngetem yang diterapkan dalam “penarikan” angkot adalah: “rezeki bakal nyamperkeun”. Ini tentu bertentangan dengan pemikiran saya bahwa rezeki itu dicari, bukan dinanti.

Fenomena tersebut mengingatkan saya tentang satu aliran pemikiran yang menggunakan metode induksi dalam pencarian kebenaran. Generalisasi adalah sebuah metode berpikir yang dapat dikatakan hanya menggunakan satu premis yang terus menerus terjadi sehingga menimbulkan kesimpulan yang telah dianggap pasti. Contoh sederhana dari metode generalisasi adalah jika cuaca mendung maka akan terjadi hujan. “jika cuaca mendung” merupakan satu premis yang dijadikan tempat bertolak metode generalisasi, dan “maka akan terjadi hujan” adalah kesimpulan. Metode berpikir seperti ini bagi kalangan terpelajar tentu telah jauh terbantahkan. Bahwa ada probabilitas dalam setiap fenomena, dan itu menjadi pertimbangan yang terus menerus dijadikan suatu batasan dalam mengambil kesimpulan. “jika cuaca mendung, kemungkinan besar akan terjadi hujan”, begitulah yang diterapkan oleh kaum terpelajar dalam memasukkan probabilitas dalam metode berpikirnya.

Dalam kasus ngetem, dapat diasumsikan secara ngasal bahwa supir angkot masih mempraktekkan generalisasi dalam menjalankan angkotnya. “Jika ada yang berjalan menuju ke jalan raya, maka dia adalah penumpang”, kurang lebih begitulah pikiran yang diartikan dari tindakan ngetem para supir angkot. Tidak ada yang salah dalam pikiran seperti itu, namun mereka kurang mempertimbangkan probabilitas kemanakah seseorang itu akan berpergian, atau akankah dia menggunakan angkot atau hanya menunggu jemputan kawannya dalam berpergian. Kepastian itulah yang sebenarnya ingin dicari oleh para supir angkot. Dalam tindakan ngetem, supir angkot sepertinya hanya bertolak dari “jika ada pejalan kaki menuju ke jalan raya, mereka adalah penumpang”. Inilah inti permasalahan sebenarnya dalam tulisan ini. Dan ini harus segera dituntaskan, karena tulisan bukanlah sebuah tulisan jika tidak tuntas.

Apabila dibandingkan dengan dunia per-angkot-an di Surabaya (tempat saya tumbuh besar), praktek ngetem masih jarang terjadi walaupun masih dapat ditemui. Dalam dunia per-angkot-an Surabaya, pikiran yang dipraktekkan adalah: “daripada menanti yang tidak pasti dengan diam, lebih baik mencari kepastian dengan terus berjalan”. Pertimbangan untung-rugi yang dapat dilihat dalam kehidupan per-angkot-an Surabaya adalah seperti ini: “apabila aku menunggu penumpang dengan berhenti di titik ini, aku mungkin menyia-nyiakan beberapa penumpang yang telah menanti di depan sana sepanjang perjalanan ini”.

Dalam persaingan pengangkutan pun, yang terjadi adalah, apabila telah terlihat dari kaca spion sebuah angkot dengan trayek yang sama, maka angkot tersebut memutuskan untuk melanjutkan perjalanan meskipun tidak mendapatkan penumpang dalam pemberhentian tersebut. Persaingan semacam inilah yang menyebabkan fenomena ngetem jarang terjadi di Surabaya. Dari perbandingan tersebut terlihat bahwa terdapat perbedaan praktek generalisasi dalam dua dunia per-angkot-an. Bahkan bisa dibilang, dunia per-angkot-an Surabaya lebih mempertimbangkan probabilitas daripada menggunakan generalisasi dalam menjalankan angkotnya.

Masih belum saya temukan apakah yang mendasari kenapa generalisasi masih dipraktekkan dalam filosofi ngetem di Jawa Barat ini. Apakah untuk memenuhi jumlah setoran kepada pemilik mobil angkutan ataukah banyaknya jumlah angkot yang beroperasi dalam satu trayek. Atau mungkin jarak dari trayek itu sendiri yang menuntut supir angkot untuk melakukan pengeteman, mengingat fenomena ngetem dari angkot Majalaya-Gedebage via Sayang jarang saya temui kecuali di waktu bubaran sekolah di kawasan Sayang. Namun intinya, hal ini menunjukkan bagaimana dampak dari praktek generalisasi dan kurangnya perhatian akan adanya probabilitas terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat menengah yang sangat bergantung kepada mobilitas angkutan perkotaan.

Alangkah lebih baik bila pembangunan masyarakat dimulai dari satu hal yang sangat sederhana, dengan tidak menilai buku hanya dari sampulnya saja, jangan menolak membaca hanya karena judulnya kurang menarik untuk, jangan menolak mendengar hanya karena sang pembicara status dan kedudukannya jauh di bawah kita “undzur ma qala wa laatandzur man qala”, jangan menilai orang dari impresi pertama saat bertemu, atau karena tindakan yang hanya kita temui sekali dua kali, karena hal-hal tersebut merupakan suatu bentuk penerapan dari generalisasi yang seharusnya jauh-jauh kita tinggalkan.

*Sekretaris Umum PC PMII Kab. Sumedang; Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik Universitas Padjadjaran