Spektrum Gus Dur di Tatar Sunda

396

OLEH Wawan Gunawan

Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mewariskan nilai-nilai yang luhur. Kepada Jaya Suprana, sahabatnya, ia pernah berkata bahwa di atas politik masih ada kemanusiaan. Menurut Gus Mus, sepupunya, Gus Dur begitu yakin bahwa pesan hidupnya adalah untuk sungguh-sungguh merealisasikan sebuah ayat dalam Al Quran, “walaqad karamna bani adama”. Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam (QS 17:70).

Maka, bagi Gus Dur tidak ada satu macam manusia pun yang boleh dan pantas diperlakukan tidak adil, dihinakan, didiskriminasikan, dilumpuhkan hak asasinya, dizalimi, dan dipangkas nilai kemanusiaannya. Itu karena jika Tuhan saja sudah memuliakan manusia, sebagaimana ayat di atas, bagaimana mungkin kita, baik individu, golongan, maupun negara, dapat melakukan tindakan-tindakan yang tidak menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Atas keyakinannya itu, tidak heranlah Gus Dur selalu berdiri menjadi perisai saat di mana pun penindasan terjadi. Lembar-lembar sejarah hidupnya habis untuk membela kaum minoritas, kelompok yang lemah, dan golongan yang dipinggirkan.

Awalnya saya mengira, sebagai pemimpin, Gus Dur hanya karismatik untuk orang-orang Jawa. Ternyata tidak. Bahkan, Jawa Barat (Sunda) yang dalam geneologi akar budayanya tidak mengenal istilah kepemimpinan kolektif sebagaimana halnya pada suku Jawa begitu menerima sosok Gus Dur. Ini dapat diketahui setelah sang guru bangsa itu wafat.

Saya melihat, irama peringatan wafatnya Gus Dur di Bandung tidak kalah marak dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Bahkan, hingga hari ke-100 lebih, peringatan itu tak kunjung jua berhenti. Itu dilakukan oleh hampir semua komunitas, dari aktivis pergerakan, penggiat keagamaan, pendamping buruh, komunitas film dan radio, seniman, hingga yang lainnya.

Pada sekitar hari kesepuluh, misalnya, tajuk acara majelis duka untuk Gus Dur diselenggarakan di Yayasan Muthahari, pimpinan Jalaluddin Rakhmat. Hadir pada kesempatan itu aktor teater kawakan, yang sudah malang melintang membacakan puisi hingga ke Amsterdam, Iman Soleh, juga budayawan gaek Aat Suratin. Selain itu, acara ini juga berisi refleksi tentang Gus Dur dari para tokoh lintas agama di Jabar dan diakhiri dengan penyampaian doa bersama untuk Gus Dur dan bangsa Indonesia.

Lantas, refleksi 100 hari wafatnya Gus Dur diselenggarakan di Gereja Katedral Bandung, Jalan Jawa. Hadir pada kesempatan itu Ulil Abshar Abdalla, Jakob Sumardjo, dan para pemuka lintas agama. Belum lagi apresiasi media massa yang begitu luar biasa. Koran daerah hingga beberapa hari belakangan ini masih menurunkan berita dan tulisan yang membahas soal Gus Dur.

Ladang-sawah

Pertanyaannya, mengapa Gus Dur begitu diterima di hati masayarakat Sunda (Jabar), bahkan melampaui tokoh-tokoh nasional asal Jabar lainnya saat meninggal?

Masyarakat Sunda purba adalah masyarakat yang hidup dengan cara berladang sehingga alam pikiran Sunda adalah alam pikiran masyarakat ladang. Berbeda dengan masyarakat Jawa. Mereka hidup bengan cara menyawah yang harus diorganisasi dengan baik. Harus ada pengaturan air irigasi dan dibutuhkan pemimpin kolektif. Itu karena dalam persawahan ada pembagian tugas, dari pembajak, penanam, hingga penuai saat panen. Batas-batas kepemilikan juga harus tegas. Distribusi hasil harus ada mekanismenya dan seterusnya sehingga masyarakat sawah adalah masyarakat yang secara teoretis memang membutuhkan pemimpin yang berwibawa dan karismatik demi keteraturan lingkungan dan kehidupannya.

Adapun ladang dapat dikerjakan sendiri-sendiri, setidaknya hanya oleh keluarganya. Dalam sebuah keluarga pada masyarakat ladang, jika anaknya ada yang menikah, kemudian membentuk keluarga baru, dia membuka lahan perladangannya sendiri. Begitu seterusnya. Maka, kepemimpinan dalam masyarakat ladang adalah kepemimpinan pada lingkupnya yang kecil itu, yaitu lingkup keluarga atau kelompoknya saja. Tidak ada kepemimpinan kolektif dalam jumlah yang luas. Namun, bagaimana dengan fenomena adanya raja besar Sunda Pajajaran seperti halnya Prabu Siliwangi? Bukankah itu kepemimpinan dalam wilayah yang besar?

Konsep kepemimpinan masyarakat ladang adalah sebagaimana yang diungkapkan dalam sebuah pantun, cangkang reujeung eusi, kudu sarua lobana. Artinya, wadah dan isi harus sama kualitasnya. Masyarakat adalah wadah, dan pemimpin adalah isinya. Jadi, relasi pemimpin dan yang dipimpin dalam masyarakat jenis ini adalah relasi kualitas. Orang yang berkualitas akan dihormati oleh kelompok-kelompok ladang yang tersebar itu. Kepemimpinan di sini bukan dalam soal kebutuhan akan pengaturan, sebagaimana pada masyarakat sawah, tetapi lebih pada figur. Oleh sebab itu, pemimpin adalah panutan sebab ia berkualitas.

Itulah sebabnya orang di luar Sunda pun dapat menjadi figur di masyarakat Sunda sebab kualitasnya terakui. Maka dari itu, selain Gus Dur, masyarakat Sunda juga memiliki penghargaan yang juga tinggi kepada Bung Karno. Jika mengunjungi rumah-rumah orang tua Sunda, tak jarang kita menemukan foto Bung Karno digantung di dinding.

Pikiran Sunda “buhun”

Menurut Jakob Sumardjo, dalam acara tersebut, Gus Dur dapat diterima di Jabar karena kerap melakukan sesuatu yang sebetulnya tidak asing bagi alam pikiran Sunda buhun. Dalam pantun Sunda, misalnya, ada istilah nu panjang ulah diteukteuk, nu pondok ulah disambung.

Artinya, yang panjang biarlah panjang, dan yang pendek biarlah pendek adanya. Itu karena yang panjang jika dipotong sakit, dan yang pendek jika disambung akan tidak nyaman. Inilah prinsip pluralisme. Membiarkan sesuatu itu berbeda sebagaimana adanya. Dengan demikian, perjuangan pluralisme yang selama ini diusung Gus Dur ada di alam pikiran orang Sunda sejak lama. Rupanya Gus Dur bukan barang asing bagi masyarakat Sunda.

Iip D Yahya, penulis biografi Oto Iskandar Dinata, biografi ajengan Ilyas Ruhiyat, komik Gus Dur dan Romo Mangun, berpendapat, monumen Gus Dur yang pertama-tama di Jabar adalah makam Mbah Panjalu. Sewaktu jadi presiden, Gus Dur berziarah ke makam itu.

Dalam literatur kesundaan yang ada, sosok Mbah Panjalu ini bisa dibilang masih kabur, belum jelas. Namun, Gus Dur saat itu secara tegas memberikan makna bahwa Mbah Panjalu adalah seorang tokoh pembawa tarikat Syijiliyah di Jabar. Selain itu, masih menurut Iip, hubungan Gus Dur dengan masyarakat Sunda sudah dimulai oleh ayahnya, Wahid Hasyim. Ayah beliau sudah sejak lama berhubungan dengan tokoh-tokoh Sunda, semisal Zainal Muttaqien, pengusaha tekstil Majalaya, Unay Junaidi, Acep Sugandi, dan Hidayat Jaelani.

Bukankah Gus Dur sendiri saat menjadi Ketua Tanfidziyah PBNU berduet dengan Ilyas Ruhiyat, ajengan karismatik dari Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, sebagai Rais ‘Am-nya?

Penulis adalah Salah satu Pengurus Bidang Keagamaan di Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor, juga bergiat sebagai Koordinator  Jaringan Kerja Antarumat Beragama (Jakatarub), Mahasiswa Program Doktoral UIN Bandung