Corona, Keimanan, dan Tentang Kesabaran dari Syamsi Tabrizi

73

Corona, Keimanan, dan Tentang Kesabaran dari Syamsi Tabrizi

Oleh: Zaini Lutfi

Di hadapan badai pandemi, kita seolah dipaksa merumuskan kembali apa itu keberimanan. Kita disadarkan atas batas-batas keberimanan kita sendiri. Sebab bagaimana pun corona telah menunjukan, setidaknya, isi dari keberimanan kita.

Jika selama ini kita menganggap Rumah-rumah Ibadah sebagai Rumah Tuhan, corona telah berhasil menjauhkan kita dari Tuhan. Atau lebih-lebih, menunjukan kekeliruan bahwa Tuhan tenyata tak hanya hadir disana. Itu pun berlaku bagi sebagian orang yang menyadari bahwa kehadiran Tuhan melampaui batas ruang dan waktu.

Bukan saja keimanan dan tentang Rumah ibadah itu yang kita rumuskan ulang. Tetapi juga keyakinan selama ini pada ikhtiyar, pada hasil-hasil usaha kita. Corona sekali lagi membuat kita terhenyak, betapa lemah dan terbatasnya kita. Seorang Muslim mengetahui, bahwa “Tiada daya dan upaya melainkan hal itu atas kehendak Tuhan”. Selama ini kita mengetahuinya, tetapi selama itu pula kini kita disadarkan ternyata kalimat tersebut belum menjadi keyakinan kita. Belum menjadi isi kesadaran dari keberimanan kita.

Corona begitu pandai menyingkap ilusi-ilusi yang kita pertahankan selama ini. Dan mungkin itulah salah-satu tugasnya. Selain dari penyebab aksidental kematian. Dan sebagian lain, tugas corona juga adalah membangkitkan kepedulian di antara sesama kita. Tak hanya itu, dampaknya pun terasa bagi perbaikan ekologi dunia. Betapa berpengaruhnya corona bagi banyak sektor kehidupan kita.

Lalu bagaimana dengan nasib kita? Bagaimana mempermaklumi keberimanan kita di hadapan pandemi ini?

Kebetulan sekali, hari ini kita tengah berada dalam bulan Ramadhan, bulan dimana al-Qur’an yang perennial diturunkan sekali lagi. Dan kita diperintahkan berpuasa untuk menyambut kehadiran al-Qur’an. Berpuasa dalam situasi pandemi berarti bukan saja me-lockdown gerak-gerik tubuh, agar tak menciptakan kerumunan yang memancing banyak hal-hal tidak penting selain juga mencegah penyebaran corona. Berpuasa dalam situasi pandemi terlebih berarti me-lockdown ego kita. Karena secara harfiyah puasa memiliki arti “al-Imsak” (menahan keinginan-keinginan diri-ego kita).

Me-lockdown ego atau al-Imsak, adalah upaya yang disebut dalam agama sebagai kesabaran. Dalam kitab “`Awārif al-ma`ārif” Nabi Shallalahu ‘alaihi wa Salam bersabda, “al-Sabr nisfi īmān wa-l sawm nisfi al-sabr.” Artinya, “Kesabaran adalah setengah dari iman dan shaum (puasa) adalah setengah dari kesabaran”.

Syekh Syamsi Tabriz salah-seorang Sufi juga Guru ruhaniah Maulana Jalaludin Rumi memberikan kesaksiannya tentang apa yang dimaksud kesabaran dalam hadist tersebut, begini katanya:

“Kesabaran itu tidak berarti bertahan dalam kesulitan. Kesabaran ialah kau punya pandangan jauh ke depan hingga kau yakin dengan hasil akhir dari sebuah proses. Jadi apakah arti sabar? Sabar berarti kau melihat duri dan bunga mawar, kau melihat malam dan cahaya fajar. Ketidak-sabaran berarti kau melihat yang dekat sehingga tidak mampu melihat hasilnya. Para pecinta sejati tak pernah kehilangan kesabaran. Karena mereka tau bulan sabit memerlukan waktu untuk menjadi bulan purnanama.”

Dan persis disana jawaban dari pertanyaan diatas, dalam medan kesabaran itulah nasib dan keberimanan kita letakan. Dengan berpuasa, kita sedang berdialog dengan corona, menjawab persoalan yang diguncangkannya. Setidaknya berpuasa dan kesabaran itulah ikhtiar kita saat ini. Ikhtiar yang juga dicerahkan kembali oleh kalimat “La Haula…”

Selebihnya, kita beriman turunnya al-Qur’an tak hanya membawa pencerahan ruhaniah bagi sebagian manusia yang telah mempersiapkan diri. Tapi juga al-Qur’an turun sebagai obat penyembuh dan kasih-sayang bagi alam semesta dan bagi orang-orang yang berserah diri lagi beriman.

“Wa nunazzilu minal Qur’ani ma huwa Syifa’u wa Rahmat lil mu’minin …”