Saya yang Manusia, Manusia yang Mulia

948

Oleh : Hilmi Sirojul Fuadi
“Manusia adalah makhluk mulia dan istimewa” menjelma menjadi ungkapan yang hampir tak pernah lolos dari obrolan tentang manusia dan kemanusiaan. Ia menjadi sebuah ungkapan kuno yang dibuat abadi. Berjuta kali diulang, diulangi kembali—seakan mengandung candu yang membuat telinga kita selalu ingin mendengarnya lagi dan lagi.
Saya sendiri meyakini kebenarannya; manusia memanglah makhluk mulia dan istimewa. Namun begitu, terlepas dari benar atau salah, ungkapan seperti di atas nyatanya telah berhasil menina-bobokan kita, membuat sang pengucap dan pendengarnya sama-sama terjebak dalam arus deras khayal belaka. Para penikmat klaim “kemuliaan manusia” itu, secara tidak sadar telah terjerumus dan terpenjara dalam ilusinya masing-masing. Ilusi tentang siapa dirinya, tentang apa itu manusia dan apa itu kemuliaan.

Berawal dari imajinasi bahwa kita telah memenuhi definisi manusia, secara otomatis memang akan menghasilkan konklusi bahwa kita adalah yang mulia. Dan celakanya, semua malah bergegas untuk tenggelam dan segera membetahkan diri pada keyakinan bahwa dirinya adalah sang mulia. Saking sibuknya meyakini natîjah “diri kita adalah yang mulia” itu, pada akhirnya kita melupakan koreksi terhadap kebenaran qadliyyah awalnya; apakah diri kita memang manusia?

Dengan level kepercayaan diri yang di atas batas ideal (baca: berlebihan), kita ujug-ujug menghukumi diri sendiri dengan îjab manusia, dan lekas menyusunkannya dengan premis kedua yang berisi “manusia adalah mulia”. Kita sungguh lupa untuk terlebih dahulu memastikan kebenaran dari masing-masing tashawwur kita mengenai ‘diri kita’ dan tashawwur kita tentang ‘manusia’. Sehingga pada faktanya kini, kita malah disibukkan dengan kelinglungan dan ketidakmampuan mengidentifikasi diri. Alih-alih berlari demi mencari kesejatian manusia dan mendapatkan kemuliaan yang sesungguhnya, yang ada hanya semakin mengkhianati patokan kemuliaan dan kemanusiaan itu sendiri.

Seperti yang saya sampaikan di atas, dengan kondisi kita yang memang terlalu lemah ketika dihantam pujian, terlalu mudah gede rasa, maka klaim kemuliaan manusia tersebut pada perkembangannya sangat rentan sekali menjadi senjata bunuh diri. Selain tentang sudut pandang, tentu saja ini berkaitan erat dengan mentalitas. Sebab jika mata yang kita setel adalah kerendahan hati sekaligus optimisme, seharusnya ungkapan-ungkapan yang menyebut manusia sebagai makhluk mulia itu dapat diposisikan menjadi bahan introspeksi, motivasi dan barometer tujuan dalam upaya melayakkan diri menyandang gelar manusia.

Tafsir QS al-Isrâ’ : 70

Di dalam al-Qur’an, Allah menyinggung pengistimewaanNya terhadap manusia pada beberapa tempat. Ambil saja salah satu ayat; pada QS al-Isra : 70, Dia Yang Maha Mulia mengumumkan kemuliaan manusia. Bahkan, selain menyebutkannya secara sharîh, pada ayat tersebut juga ditemukan beberapa perangkat taukid—penegasan yang Allah hadirkan.

Diawali lâm qasam (sumpah) yang disambut qad tahqîq (benar-benar menegaskan), lalu dipungkasi dengan maf’ûl muthlaq (lagi-lagi bermakna memperkuat) pada bagian akhir ayat; seakan tidak memberikan kesempatan untuk timbul sedikit pun keraguan. Ditambah lagi jika melirik penyajian fi’il yang menggunakan pola tadl’îfu-l-‘ain (pada lafadz karrama dan fadldlala)—ia mengisyaratkan makna melebihkan. Walhasil, ayat tersebut benar-benar menegaskan bahwa Allah sungguh telah memuliakan dan mengistimewakan keturunan Adam.

Setelah olohok dan gideug dengan padanan teks yang dituliskanNya pada ayat di atas—betapa seriusnya Allah memuliakan dan mengistimewakan makhluk bernama manusia, selanjutnya saya mencari-cari pandangan ulama mengenai tafsirannya—ada di manakah titik atau inti dari kemuliaan manusia tersebut? Bagaimanakah wujud kemuliaan manusia yang betapa dengan sangat tegasnya Allah menyebutkan hal itu? Dan ternyata, seperti biasa, tafsir yang saya temukan pun tidaklah tunggal dan justru sangat beragam. Bahkan, banyak pula mufassir yang mencantumkan beberapa tafsiran berbeda di dalam kitabnya.

Tafsiran normatif—hampir seluruh kitab yang saya buka menuliskannya, menyatakan bahwa keunggulan manusia ada pada bentuk tubuhnya yang sempurna; tangannya yang menjadi alat makan dan sepasang kaki yang menjadi alat berjalan. Atau tafsiran bahwa manusialah yang diberi hak untuk mengeksplorasi makhluk lain guna menopang kehidupannya, dan bahwa seisi alam ini memanglah disuguhkan Allah sebagai bekal kehidupan manusia. Atau lagi, sebuah pandangan lain yang menyatakan bahwa keistimewaan dan kemuliaan manusia ada pada Kanjeng Baginda yang dihadirkan sebagai saudara sespesies mereka; sama-sama manusia.

Beberapa tafsir di atas sungguh akrab ditemui pada kitab-kitab tafsir ulama kita. Namun demikian, tanpa ingin menyanggah kebenarannya, saya rasa tafsir-tafsir tersebut masihlah bersifat tamtsîl—perumpamaan dan tidak mendalam pada substansi kemanusiaannya. Kali ini, yang ingin saya garis bawahi adalah pendapat yang disandarkan kepada sahabat Ibnu ‘Abbas—yang didukung dengan tegas oleh al-Baghawi dan al-Syaukâni, dan juga disebutkan oleh banyak mufassir lainnya seperti al-Mâtûridi, al-Mâwardi, al-Zamakhsyari, al-Qurthubi, al-Baydlâwi dan al-Khâzin, yang mengatakan secara lafdzhan bahwa inti dari kemuliaan anak Adam tersebut ialah terdapat pada akalnya.

Menurut hemat saya, tentunya pendapat yang ini lebih substansial; mengingat bahwa akal merupakan fashl (batas) dari kemanusiaan. Seekor ‘manusia’ baru bisa memenuhi definisinya tatkala ia memiliki rasionalitas. Seonggok jasad yang berbentuk manusia, tetaplah bukan manusia ketika akal tak didapati di sana.

Menggunakan dan Memelihara Akal

Telah saya sebutkan di awal, hari ini kita terombang-ambing dalam gelombang kelinglungan dan bahkan kehilangan skill mengidentifikasi diri. Saya mengira, hal yang paling mungkin dituduh sebagai muasal dari ini semua adalah fungsi akal yang, sengaja atau tidak, semakin tumpul-ditumpulkan. Sederhananya, budaya malas berpikir adalah awal dari goncangan kelinglungan ini. Sejak horéam mikir menjadi tren, kita hampir saja menjadi binatang bersama-sama. Dan mungkin sebentar lagi, jika musibah ini terus kita nikmati dan biarkan, kita akan berhasil menjadikan bumi ini sebagai kebun binatang terbesar sejagad raya.

Apakah separah itu? Boleh saja dikatakan demikian. Sebab, ketika berbicara di bawah judul hayawân (bangun ruang yang bertumbuh, memiliki indera dan bergerak dengan kehendaknya), pada dasarnya kuda dan manusia adalah sama saja; terkecuali bahwa kuda tak mempunyai alat idrâk berupa akal. Satu-satunya pembeda seorang manusia dari seekor kuda adalah bahwa manusia memiliki akal untuk menyempurnakan bekal idrâknya.

Dari sini saja, sebenarnya sudah dapat disimpulkan bahwa menggunakan akal adalah menjadi manusia, merawat akal adalah menjaga kemanusiaan. Begitupun sebaliknya, melumpuhkan akal berarti menumpas kemanusiaan. Sebab ketika akal dipensiunkan, suatu hal yang tersisa hanyalah fakta bahwa kita tak beda dengan binatang; hanya memiliki indera dan syahwat sebagai alat menjalani kehidupan. Dan apabila keadaannya sudah seperti itu, maka tidak ada lagi negara, tidak ada budaya, tidak juga agama. Yang ada hanyalah rimba.

Bisa dibuktikan hari ini, kita semakin karib dengan praktik agama yang linglung, tata negara yang bingung. Agama yang menurut béja mah menghadirkan solusi, tetapi pada kenyataan hari ini ia malah seringkali menjadi sumber masalah itu sendiri. Negara yang menurut eceuk mah berfungsi sebagai pengatur ketertiban rakyat, kali ini kita lihat malah menjelma menjadi medan adu-bentur masyarakat.

Tetapi mungkin tidak sekronis itu, mudah-mudahan tidak sampai sekronis itu. Na’ûdzu billâh. Hanya saja kita harus tetap sadar dan waspada, selalu berikhtiar menegakkan akal waras dan menjadi manusia yang seutuhnya. Sebab gambaran di atas sangat mungkin terjadi ketika praktisi agama dan negara sudah tidak mampu lagi berpikir rasional, sudah bukan lagi manusia.

Padahal, Islam sebagai suatu agama itu sendiri menegaskan bahwa dirinya hanya untuk mereka yang memiliki rasio. Sungguh seringkali kita jumpai sebuah ungkapan: “agama adalah akal, tiada agama bagi dia yang tak berakal.” Atau juga jika kita buka kembali pelajaran fikih dasar, di sana akan kita temukan dua batasan taklîf: yaitu bulûgh (kedewasaan) dan akal waras/rasio. Kedua kriteria di atas adalah tahapan paling awal yang harus dipenuhi bagi siapa saja yang ingin beragama.

Maka artinya, siapapun yang ‘beribadah’ dengan tanpa bekal kedewasaan dan rasionalitas, sebenarnya ia tidak beribadah dan ‘ibadahnya’ itu bukanlah ibadah. Jika hari ini kita melihat banyak letupan semangat dalam menegakkan agama, hal yang harus disadari adalah bahwa agama tersebut tak dapat disentuh tanpa menggunakan akal waras. Manusia yang mengaku beragama tapi enggan menggunakan kewarasan, kalau pun ia adalah manusia, rasanya tak berlebihan jika ia disebut manusia gila.

Walhasil, memelihara kewarasan adalah keharusan yang berlipat. Ia merupakan tanggung jawab kemanusiaan, tanggung jawab sebagai umat beragama, terlebih juga menjadi suatu kewajiban dalam melaksanakan agama itu sendiri: bersyukur atas nikmat yang Dia berikan. Menjadi waras adalah kewajiban yang tak bisa dilewatkan dalam rangka melahirkan ‘manusia’ yang manusia, dan kemudian menghadirkan manusia yang agamis. Dan bertepatan dengan hadirnya ‘manusia’ yang manusia dan manusia yang agamis itu, bukankah pintu menuju manusia yang mulia juga akan terbuka?
Wallâhu a’lam bi-l-shawâb.

*Penulis Merupakan Seekor abege penyumbang jumlah populasi jomblo di Indonesia. Mudah-mudahan diakui sebagai santri oleh para guru dan kiainya, mukim di pondok pesantren al-Hikamussalafiyyah Cipulus – Purwakarta.