Santri, Pelajar yang Terdidik

379

Oleh : Nizar Maulana Malik
Hidup di pondok pesantren itu sangat menjenuhkan dan membosankan Habis shalat berjama’ah Subuh ngaji, lalu mandi pagi antri, selanjutnya berangkat ke sekolah, Pulang sekolah jama’ah sholat Dhuhur dilanjutkan dengan ngaji, setelah itu, makan siang lalu mandi (tentunya dengan antri) Usai itu jama’ah sholat Ashar dilanjutkan dengan ngaji hingga menjelang waktu shalat Magrib Dikarenakan waktu antara Magrib dan Isya’ cukup pendek, maka biasanya diisi dengan tadarus Al Qur’an atau baca wirid di dalam masjid Usai jama’ah shalat Isya’ semua santri ngaji lagi, selesai ngaji dilanjutkan muthola’ah atau mudzakarah, yaitu mempelajari pelajaran-pelajaran yang diikuti di sekolah dan di pesantren hingga jam 22:00 itupun dalam pengawasan keamanan atau dewan pesantren

Kegiatan seperti itu dijalankan setiap hari mulai hari sabtu hingga kamis Lalu berarti malam Jum’at bisa santai dong, tidak juga, Meskipun malam Jum’at adalah malam libur, namun santri tetap diwajibkan mengikuti kegiatan pondok seperti; Yasinan, Berzanji atau kegiatan lainnya.

Menu makan sehari-hari para santri adalah nasi liwet plus sambal trasi dengan lauk ikan asin atau krupuk, jika uang kiriman masih banyak lauknya agak mewah yaitu tahu atau tempe Jika beruntung bisa minum es teh, namun minuman favorit para santri adalah air putih yang dituangkan pada panci bekas ngliwet, atau gayung Wah segernya bukan main

Memiliki radio bagi para santri tempo dulu merupakan barang mewah, Seringkali petugas keamanan Pondok melakukan razia radio dan tape recorder di kamar-kamar para santri, Biasanya para santri hanya mampu beli kaset lagu-lagu favoritnya, lalu jika ingin mendengarkannya, para santri pergi ke warung di luar pondok untuk membeli segelas kopi sambil meminjam tape recorder pemilik warung guna memutar kaset yang dibelinya.

Jangan dibayangkan para santri tempo dulu tidur nyaman di atas kasur dengan bantal empuk, Tidur di lantai beralaskan sajadah dan berbantal gulungan sarung sudah merupakan kemewahan luar biasa bagi santri, Tak jarang bagi santri yang berangkat tidurnya kemalaman, maka dia harus rela tidur di emperan atau di masjid, Jika terpaksa tidak ada tempat, tidur di bawah bedug pun jadi, maka dapat dipastikan bedug subuh dapat segera membangunkannya.
Memang seperti kata Gus Dur, saat tinggal di pondok pesantren perasaan tidak ada yang istimewa, Setiap hari mendengar orang baca Kitab Kuning dan tadarus Al Qur’an, Aktivitas rutin seperti itu cukup menjenuhkan Terkadang beberapa santri mencuri waktu untuk sekedar mendengarkan lagu Bon Jovi atau Slank di warung kopi luar pondok Beberapa santri juga terlihat tidak istimewa, diantara mereka ada yang sekedar menjadi khadam/pelayan Kyai, tugasnya bersihin rumah Kyai, menyediakan keperluan Sang Kyai, mereka biasanya jarang mengaji

Namun, kini setelah sama-sama menjadi alumni, saya melihat beberapa teman santri ada yang menjadi Kyai termasyhur di kampungnya, ada yang menjadi pimpinan pondok pesantren, ada yang menjadi anggota DPR RI, bahkan beberapa ada yang lulus Master dan Doktor dari Perguruan Tinggi di Eropa atau Amerika serta menduduki posisi-posisi strategis di pemerintahan dan organisasi internasional Padahal mereka dahulu hanya sarapan nasi liwet dan sambel terasi dengan lauk ikan asin..

Mengapa para santri yang ketika di pesantren terlihat lugu dan cenderung ndeso bisa sedemikian berhasilnya? Satu hal keutamaan yang dimiliki oleh para santri yang tidak didapatkan oleh murid lain di luar pesantren adalah “Barokah Kyai” Hubungan Kyai dengan Santri tidak sekedar hubungan antara guru dan murid, Seringkali Sang Kyai bangun malam dan riyadah puasa Senin-Kamis untuk mendoakan para santrinya agar ilmu yang diberikan kelak dapat bermanfaat bukan saja bagi santrinya namun juga bagi masyarakat pada umumnya
Begitu pula yang dilakukan oleh para santri, senantiasa membaca Suratul Fatihah yang dihadiahkan untuk para guru dan Kyai mereka seusai shalat lima waktu sebagai bentuk ungkapan rasa terimakasih atas ilmu yang telah diberikannya

Inilah tradisi para santri, maka tak salah apa yang disampaikan oleh Almarhum Gus Dur tersebut.