REALISTIS PRAGMATIS IDEALIS

108

Oleh : Tb. Seda Ahmad Ziyad

Ada tiga tukang batu yang sedang memasang batu tembok sebuah gedung yang sedang dalam proses pembangunan. Kepada mereka diajukan pertanyaan yang sama: “Apa yang sedang Anda lakukan?”

Tukang batu yang pertama tampak heran mendengar pertanyaan itu. Ia seolah-olah berpikir, sudah jelas sedang menyusun batu-batu, kok, masih ditanya juga. Lalu ia menjawab, “Saya sedang meletakkan batu-batu!”

Tukang batu yang kedua menjawab sambil tersenyum kecil, “Saya sedang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga.”

Tukang batu ketiga tampak berpikir sebentar. Lalu, dengan mata yang menerawang ia menjawab, “Saya sedang membangun tempat ibadah. Suatu saat nanti orang-orang akan beribadah dan nama Tuhan akan dimuliakan di tempat ini.

Jawaban manakah yang benar? Kalau Kamu adalah salah seorang tukang batu itu, apakah jawab Kamu?

Tukang batu pertama memberi jawaban yang realistis. Betul, ia sedang meletakkan batu-batu. Itulah rutinitas pekerjaannya. Jawaban ini menggambarkan perasaan lelah dan bosan, tapi jujur. Pekerjaan apapun yang kita pilih pasti ada saat-saat lelah dan bosan.

Tukang batu kedua memberi jawaban yang pragmatis. Tiap orang perlu makan. Sebab itu, setiap pekerjaan perlu diberi imbalan atau upah yang seimbang dengan hasil kerja. Semua pekerjaan menyangkut urusan hidup.

Dan, tukang batu yang ketiga memberi jawaban yang idealistis. Jawabannya terdengar seperti membual, namun mengandung visi yang jauh ke depan ( futuris ). Ia menyadari bahwa ia hanya tukang batu, namun ia memandang pekerjaannya bukan hanya sekadar meletakkan batu-batu dan bukan hanya sekedar meletakkan mencari nafkah. Ia melihat dirinya sebagai bagian ( an agent ) dari suatu pekerjaan luas nan integral.
Tidak banyak orang berpikir seperti tukang batu ketiga. Kebanyakan orang hanya berpikir seperti tukang batu pertama dan kedua. Jawaban tukang batu pertama dan kedua sama sekali tidak keliru. Seratus persen benar.

Namun, selama kita berada pada tahap berpikir tukang batu pertama dan kedua, pekerjaan kita hanya terasa sebagai beban yang membosankan dan melelahkan. Pandangan hidup kita pun menjadi sempit.

Di dalam hidup ada orang-orang yang tidak memiliki visi atau arah masa depan. Hidup mereka hanyalah urutan dari peristiwa yang satu ke peristiwa yang lain, episode satu bersambung episode berikutnya. Capek jadinya…
Mereka hidup menyambung hari ke hari, menjalani siklus hidup dari masa kanak-kanak ke remaja, ke masa pemuda, sampai masa lansia dan masa kematian mereka. Berpindah ke satu masalah ke masalah yang lain.

Tapi ada juga orang yang hidup dan menyadari perlunya memiliki arah. Namun, mereka tidak mampu memiliki visi, idaman, atau impian. Mereka tidak memiliki arah yang tajam yang akan membuat mereka dapat memfokuskan dirinya. Hal ini terjadi karena mereka tidak memiliki orang yang membimbing mereka untuk menyusun visi mereka tadi.
Mereka bagaikan para wiraswasta yang bermimpi membangun bisnis raksasa, namun tidak cukup jelas mengenai gambaran bisnis yang diinginkan, bagaimana pasarnya dan produknya. Mereka bagaikan seorang yang memimpikan hadirnya suatu masjid yang besar namun tidak jelas apa itu makna kehadiran masjid dan seperti apa masjid yang besar itu.

Syukurlah masih ada jenis manusia ketiga. Mereka adalah orang-orang yang memiliki rumusan visi. Mereka tahu kemana arah hidup mereka. Rumusan arah atau visi itu cukup tajam. Semangat!!

Namun, problem kita adalah bahwa walaupun orang sudah memiliki visi yang menjadi focus hidup, namun ketika menjalani hidup, mereka tidak memfokuskan energi, kemampuan, dan komitmen pada visi itu. Aktivitas mereka tidak mendukung upaya pencapaian visi tersebut.
Jadi, bagi orang-orang seperti ini, visi tadi menjadi pusat, namun ada factor lain itu menempel bahkan bersaing pada pusat itu. Karena itu, biasanya orang tidak berani mengatakan “tidak” pada hal-hal lain yang menariknya ke luar dari visi itu.

Nah, mungkin Anda ingin menjadi kalangan yang keempat. Mereka memiliki visi yang tajam dan juga metode untuk mengait