Pola Hijrah Para Artis dan Keluarga Muslim Perkotaan

183

Pola Hijrah Para Artis dan Keluarga Muslim Perkotaan

Jangan takut kehilangan ‘teman’ hanya karena kita berdiri kokoh atas prinsip-prinsip kebaikan dalam hidup ini. Tidak apa. Karena akan muncul teman-teman baru yang mendukung kita, dan boleh jadi, itulah sesungguhnya teman sejati kita. (Tere Liye)

Saya ingin mengawali catatan hari ini dengan turut meng-aamiin-kan quote Tere Liye. Bahwa dalam hidup kita memang harus punya prinsip yang kuat setebal baja, prinsip hidup dalam koridor yang baik dan benar, sehingga siapapun tak bisa menggoyahkan sedikitpun dari prinsip hidup yang kita pegang itu.

Benar apa yang dikatakan Tere Liye, kita tidak perlu takut kehilangan teman, hanya karena pendapat dan keyakinan kita berbeda dengan sebagian teman kita itu. Ini prinsip hidup yang ‘be your self’, hidup yang tidak hanya sekadar ikut-ikutan kebanyakan orang. Orang-orang yang hidup tidak dalam fondasi dan keilmuan yang kokoh.

Persis seperti terjadi dalam proses kehidupan para artis dan keluarga Muslim perkotaan, ketika mereka memaknai dan menjalani proses ‘hijrah.’ Mereka sepenuhnya orang awam dalam keilmuan Islam, tidak hidup dalam tradisi para santri di pesantren. Apa yang mereka sebut sebagai hijrah adalah masih sebatas simbol belaka. Konsep hijrah mereka masih sebatas ikut-ikutan yang sedang viral dan nge-tren.

Berubah menjadi lebih baik atau hijrah itu suatu kemuliaan. Bertobat dari segala kezaliman dan kemaksiatan adalah kemualiaan. Tetapi berhijrah-lah, bertobatlah secara gradual, setahap demi setahap, sesuai dengan kemampuan. Hijrah dan tobat itu dari hati, bukan karena gengsi dan bukan hijrah/tobat instan.

Berikut pola hijrah para artis dan keluarga Muslim perkotaan secara umum: malu karena ‘ketahuan’ banyak melakukan kesalahan dan maksiat, sadar bahwa dia telah banyak melakukan kesalahan, perubahan mencolok pada pakaian, menonjolkan simbol-simbol keislaman. Seiring dengan proses hijrah itu, sejurus dengan tren bisnis fashion dlsj. Beraktivitas apapun selalu melekatkan kata ‘syariah’; bank syariah, NKRI bersyariah dlsj.

Sekarang yang sedang nge-tren adalah berduyun-duyun ke majelis taklim, dengan gaya sosialita yang masih melekat, masih doyan nge-mall, berswafoto, arisan, berdandan serba mencolok dlsj. Gaya hidup masih hedonis, masih individualistis, masih materialistis. Masih bermewah-mewah. Masih silau dengan pujian orang lain, pokoknya serba ikut-ikutan kebanyakan. Lihat gaya keberisalaman Muslim perkotaan di komplek perumahan.

Kalau dari saya, kita memang harus berubah menjadi Muslim/Muslimah yang lebih baik lagi. Bertahap sajalah, jangan berhijrah/bertobat dengan tergesa-gesa. Teladani keberislaman pesantren, Nahdlatul Ulama dan kelompok Muslim moderat lain sejenisnya.

Wallaahu a’lam

Mamang M Haerudin (Aa)
GP Ansor Kabupaten Cirebon

Pesantren Bersama Al-Insaaniyyah, 1 November 2017, 22.47 WIB