Menegaskan NKRI, Meneguhkan NU

71

Menegaskan NKRI, Meneguhkan NU

Indonesia bukan Negara agama, Indonesia Negara-bangsa. Indonesia merupakan hasil dari jihad bersama seluruh warga negara dan agama, bukan hanya diperjuangkan oleh suku Jawa atau penganut agama Islam saja. Dan karenanya Negara Kesatuan Republik Indonesia milik bersama, bukan milik mayoritas umat agama–Islam–saja.

Penegasan tentang NKRI ini penting, untuk menyikapi ancaman terberat kita yakni keberadaan para aktivis ormas radikal. Mereka yang mengaku berwarga negara Indonesia, mengaku beragama Islam, tetapi ingin merusak NKRI, hendak memporakporandakan keberagaman yang ada di Indonesia dengan berbagai cara; aksi-aksi intoleran, penyebaran hoaks, ujaran kebencian, fitnah dll, termasuk mengobral ayat-ayat Al-Qur’an untuk mempolitisasi agama.

Adalah Nahdlatul Ulama, penjaga gawang NKRI sejati. Sebagai ormas yang membidani lahir dan merdekanya bangsa ini. Nahdlatul Ulama akan terus siaga, menjaga gawang NKRI dari kebobolan dan ancaman ormas radikal. Dan NU jugalah satu-satunya ormas yang sangat konsisten mendukung lahirnya Perppu Ormas sebagai dasar hukum untuk membubarkan ormas-ormas radikal.

Menegaskan NKRI mempunyai makna bahwa kita harus memahami bahwa Indonesia terdiri dari berbagai macam latar belakang; suku, budaya, bahasa, etnis, agama dan lain sebagainya. Indonesia berhak dipimpin oleh siapapun; apapun etnis dan agamanya. Jabatan Presiden, Gubernur, Walikota/Bupati dll secara terbuka boleh diikuti oleh non-Muslim sekalipun melalui sistem demokrasi.

Terpilihnya Halimah Yacob di Singapura, harus kita jadikan pembelajaran. Ia terpilih dan justru dielu-elukan oleh warga negaranya. Halimah Yaqob yang Muslimah dielu-elukan dan disambut bahagia keterpilihannya oleh seluruh umat agama yang ada di Singapura. Para aktivis ormas radikal dan yang lainnya berdalih bahwa sistem politik dan ketatanegaraan Singapura dan Indonesia sangat berbeda, kemudian mereka mengatakan bahwa tidak tepat membandingkan Singapura dengan Indonesia.

Menjawab persoalan ini tidak sulit sebenarnya. Bahwa Singapura dan Indonesia berbeda adalah iya, tetapi saya harus tetap mengacungi jempol bahwa warga negara Singapura jauh lebih dewasa dari sebagian warga negara Indonesia, terutama mereka para aktivis ormas radikal. Seorang aktivis ormas radikal menyatakan “kalau Indonesia mau seperti Singapura, menerima etnis dan agama minoritas, ubah dulu konstitusi dan sistem ketatanegaraannya.”

Pernyataan seorang aktivis ormas radikal itu hanya “ngeles.” Sebab di Indonesia, UUD 1945 dan Pancasila secara eksplisit dan implisit membolehkan siapapun–non-Muslim sekalipun–warga negara Indonesia untuk menduduki jabatan Presiden, Gubernur dan setererusnya asalkan sesuai dengan prosedur. Kita lihat saja, para aktivis ormas radikal justru mengharamkan pemimpin non-Muslim, padahal ormas sebesar Nahdlatul Ulama sekalipun tidak ada fatwa haram memilih pemimpin non-Muslim.

Jadi seandainya, ada di antara warga negara Singapura yang bermental kerdil seperti para aktivis ormas radikal di Indonesia, Halimah Yacob akan tetap didemo oleh mereka. Mereka akan menganggap bahwa Halimah Yacob adalah ancaman bagi agama Budha dan Kristen Singapura, betapapun jabatan Presiden di Singapura tidak mempunyai otoritas yang kuat seperti di Indonesia. Untungnya ini Singapura bukan Indonesia.

Mari kita jaga Indonesia dari gangguan para benalu; aktivis ormas radikal dan orang-orang bermental Saracen. Mari kita jaga NU untuk terus melawan para aktivis ormas radikal. Kita harus terus menulis tentang NKRI dan NU, untuk terus meng-counter narasi para aktivis ormas radikal dan orang-orang bermental Saracen.

Wallaahu a’lam

Mamang M Haerudin (Aa)
GP Ansor Kabupaten Cirebon

Pesantren Bersama Al-Insaaniyyah, 15 September 2017, 6.18 WIB