KH. Hasyim Muzadi Penarik Lokomotif Intelektual Muslim Tradisional

498

Oleh : Iu Rusliana*
Berbeda halnya dengan umunya penulis buku ini yang mengenal dan dikenal secara personal, saya sendiri tak mengenal almarhum Kiai Hasyim Muzadi dengan baik. Tak ada perjumpaan istimewa atau kenangan bersifat pribadi. Terakhir bertemu dan berdiskusi dengan beliau saat menjadi narasumber seminar nasional di UIN Bandung tahun 2014. Namun banyak sekali tulisan dan pernyataannya di media massa yang selalu dibaca dan ditonton. Gagasannya mencerminkan sikap keislaman moderat, menguasai ilmu agama dengan mendalam dan memahami persoalan keumatan dengan baik.

Sikapnya yang santun, kritis dan teduh menjadi teladan bagi generasi muda Muslim Indonesia. Bagi kami yang aktif di Muhammadiyah, Kiai Hasyim Muzadi menjadikan era di mana dua ormas besar yaitu Muhammadiyah dan NU sangat intens berdialog dan berkomunikasi. Era dimana tak terasa persaingan di antara kedua ormas itu, seperti halnya Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Ahmad Dahlan berkiprah di awal berdirinya NU dan Muhammadiyah. Kakak dan adik gerakan sosial keagamaan Islam di Indonesia itu selalu “akur” dalam perbedaan yang menentramkan.

Saya mengenal dua nama besar “Hasyim” yang sangat berpengaruh di kalangan warga nahdliyyin. Bukan hanya Gus Dur yang dianggap mampu membuat kaum Muslim tradisional ke tengah percaturan, Kiai Hasyim Muzadi juga mendorong kaum muda nahdliyyin ambil peran yang luas dalam persoalan keumatan dan kebangsaan.

Kiai Hasyim Muzadi menunjukkan karakter intelektualnya yang luar biasa. Keberkahan ilmunya nampak nyata, dari sikapnya yang moderat, tegas pada kezaliman dan tindak-tindakan yang melecehkan umat, tapi terbuka untuk berdialog dan memperluas wawasan keagamaan dengan berbagai agama dan bangsa. Posisi pentingnya di International Confrence of Islamic Scholars (ICIS) dan World Confrence on Religions for Peace (WCRP) adalah salah satu buktinya.

Kiai Hasyim Muzadi adalah salah satu penarik lokomotif gerakan intelektual kaum tradisional yang bersedia terbuka dengan warna dan ragam pemikiran. Seolah mencoba memberikan jawaban atas persoalan keumatan dan kebangsaan yang masih berat untuk diselesaikan.

Harus diakui, lambatnya proses pembangunan, rendahnya tingkat pendidikan, buruknya kualitas berdemokrasi, masih tingginya angka kemiskinan dan rendahnya kemandirian bangsa, salah satunya karena kegagalan peran para intelektual Muslim.

Hipotesis ini tentu harus diuji kesahihannya dan dapat diperdebatkan. Namun sebagai kritik ke dalam, ada baiknya diakui sebagai upaya untuk melakukan perbaikan peran. Sebagai kelas menengah, intelektual Muslim dikaruniai Tuhan berupa kecerdasan dan kesanggupan mengakses level pendidikan yang lebih tinggi, mengemban tugas suci memberikan pencerahan dan melakukan perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Jika diidentifikasi secara mendalam, setidaknya ada tiga faktor penyebab mengapa peran intelektual Muslim belum maksimal.

Pertama, adanya afiliasi politik, organisasi dan ideologi. Untuk kepentingan tertentu, sekelompok intelektual bergabung dengan kelompok kepentingan dan menjadi pendukung kebijakan (think thank). Muncul istilah cendekiawan plat merah, pendukung kebijakan pemerintah yang mungkin salah.

Kedua, otoritas di lingkungan pendukungnya.Sebagaimana disinyalir oleh Edward W Said, relasi kuasa menjadikan intelektual tidak bisa mandiri. Atasnama tugas institusi, intelektual melakukan kewajiban “asal beres”. Moralitas akademik dan universalitas kebenaran hanya khutbah yang disampaikan di kelas. Ibarat paduan suara, harmonisasi adalah alasan utamanya. Sikap kritis dan dialog intelektual-komunikatif di ruang publik hampir tak terdengar.

Ketiga, relasi dengan sponsor. Riset dilakukan demi kepentingan sponsor. Hasil riset yang berlawan dengan keinginan sponsor diabaikan. Otoritas utama kebenarannya bernama “dana”. Sebagaimana disinyalir M Foucoult, wacana kebenaran diproduksi oleh pemilik kuasa, entah itu pemilik modal atau penguasa. Cendekiawan “pesanan”, menyampaikan wacana di media masa dengan mengabaikan kepentingan publik. Kaum tertindas hanya sebagai objek penelitian, bukan subjek pembelaan sebagai aktualisasi nilai kebenaran.

Genealogi intelektual Muslim di Indonesia dapat dilacak dari jaringan ulama Timur Tengah dan politik etis yang dikembangkan Belanda. Pada jaringan Timur Tengah, ada banyak ulama Indonesia yang belajar ke Timur Tengah dan mereka kembali dengan pengaruh keilmuan yang berkembang.

Cita-cita pembaharuan Islam pada awal tahun 1900-an di Indonesia yang dimotori oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah dan K.H. Hasyim Asy’ari dengan Nahdhatul Ulama (NU) menjadi bukti pengaruh dan jaringan intelektual ulama dari Timur Tengah. Tentang hal ini, Azyumardi Azra menulis khusus dalam bukunya yang berjudul “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara”.

Dari hasil politik etis yang dilakukan Belanda, lahirlah para intelektual yang tercerahkan, menuntut Indonesia merdeka. Awalnya melakukan konsolidasi gerakan dengan mendirikan organisasi pergerakan seperti Boedi Utomo yang didirikan oleh Dr. Sutomo dan kawan-kawan. Kemudian, bermunculanlah tokoh perjuangan yang merupakan intelektual Indonesia seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, M Natsir, Agus Salim dan yang lainnya dengan berbagai organisasi yang didirikannya.

Dengan demikian, dalam sejarah bangsa Indonesia, intelektual memegang peranan penting dan pencetus awal ide kemerdekaan bangsa. Satu bahasa, satu bangsa dan satu tanah air disepakati bersama sebagai dasar dari imagined community bernama Indonesia.

Pendiri bangsa ini adalah intelektual, penenun kain kebangsaan, berbenangkan kerajaan, suku bangsa dan daerah yang berbeda, berwarnakan kebhinekaan bernama Indonesia. Pijakan historis yang mengukuhkan fakta bahwa, cendekiawan harus aktif berjuang bersama, melampaui identitas SARA, melakukan perubahan dan tak boleh duduk di menara gading. Kaum tercerahkan, yang tugasnya menjaga moral, terus memberikan pencerahan jujur dan kritis, menyuarakan kebenaran dengan terbuka serta menyelamatkan kemanusiaan.

Intelektual tidak boleh apatis, apalagi menjauhi politik. Sikap itu yang ditujukan Kiai Hasyim, walau kontroversi itu muncul dan menjadi perdebatan tiada akhir di kalangan NU saat ia berpasangan dengan Megawati di Pilpres 2004 lalu.

Mungkin bagi Kiai Hasyim, dalam politik lah, seluruh kebijakan yang terkait dengan publik dirumuskan dan dilaksanakan. Oleh karena itu, menguasai kekuasaan politik mutlak diperlukan.

Di Indonesia, ada Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, M Natsir, Agus Salim dan sederetan cendekiawan bangsa yang keilmuannya diakui dunia, berhasil menjadi tokoh politik yang bersih dan disegani. Pengalaman di negara lain seperti di Iran, ada sederatan nama intelektual yang menjadi presiden, antara lain Ali Khamenei, Mohammad Khatami dan Mahmoud Ahmadinejad. Fakta tersebut menguatkan tesis bahwa intelektual tidak harus a-politik. Merekalah yang dengan kecerdasan intelektual, kesederhanaannya dalam keseharian dan kekuatan nuraninya secara tulus memimpin bangsa untuk mencapai sejahtera.

Pada kasus Indonesia, setelah era kemerdekaan, kaum intelektual banyak yang masuk ke kampus, memimpin perguruan tinggi, mendirikan lembaga yang berfokus kepada riset dan pengembangan masyarakat atau berkhidmat di organisasi sosial kemasyarakatan. Di antara mereka pun ada juga yang menjadi bagian penting pembangunan yang dilakukan pemerintah (tekhnokrat), menjadi menteri dan posisi-posisi penting di birokrasi. Kesemua peran itu mencerminkan pentingnya posisi intelektual pada masa pembaharuan pemikiran Islam awal, perjuangan kemerdekaan ataupun mengisi kemerdekaan.

Pada posisi itu pula, Kiai Hasyim Muzadi selalu menunjukkan peran yang unik dan menegaskan perannya untuk menarik gerbong gerakan intelektual di kalangan Muslim tradisionalis. Mengambil peran berbeda, didirikannya pesantren untuk mahasiswa. Sebuah keputusan visioner, menguatkan wawasan keislaman dikalangan sarjana Muslim. Mengisi ruang kosong wawasan keilmuan pesantren di kalangan perguruan tinggi.

Bagi saya, sikap terkesan menjaga jarak dengan kelompok Islam modernis tak nampak dari beliau. Keterbukaannya dan sikap tidak tendensius pada kelompok Islam tertentu itu lah sangat menyejukkan. Kepada pemerintah dan kelompok tertentu, tak terkesan “recehan”. Sikap kritisnya terus disampaikan terbuka, membela kepentingan umat dan bangsa. Kelompok muda pun didorongnya untuk bersinergi dan tidak terjebak dengan perbedaan di cabang pemahaman keagamaan.

Saya ingin menutup tulisan tentang Kiai Hasyim Muzadi dengan guyonan beliau tentang Pemuda Anshor dengan Pemuda Muhammadiyah yang berdebat tentang tahlil. Pemuda Anshor dan Muhammadiyah ribut soal tahlil, apakah sampai atau tidak kepada ahli kubur. Bagi pemuda Anshor, tentu saja tahlil itu akan sampai. Alasannya karena setiap kiriman tak pernah kembali. “Lah ini ngomong apa?” Ujar Kiai Hasyim berguyon.

Sementara pemuda Muhammadiyah tak terima, dibalasnya dengan menanyakan: “Lah mana tanda buktinya? Hahaha…” ujar Kiai Hasyim bercerita. Segala kebaikannya menjadi teladan bagi kita yang masih hidup, untuk terus menjalankan kiprah keumatan dan kebangsaan penuh dengan ketulusan dan keihlasan. Wallaahu’alam

* Penulis Adalah Ketua PW Pemuda Muhammadiyah Jawa Barat