Desa dan Pemuda

105

Oleh: Idham Maulana (PC GP Ansor Kabupaten Bandung)

Di lumbung kita menabung
Datang paceklik kita tak bingung
Masa panen masa berpesta
Itulah harapan kita semua
(Lirik lagu Iwan Fals–Desa)

Lahirnya Undang-Undang Desa No. 6 Tahun 2014 tentang Desa meletakkan desa sebagai “Maha Desa”, memberi kesan adanya desa baru. Baru dalam pengertian regulasi yang baru, kedudukan baru, serta pengelolaan desa yang baru. Desa dalam perspfektif undang-undang sebelumnya merupakan “Desa lama”.

Lalu apa yang berbeda diantara keduanya. Desa lama menggunakan asas atau prinsip desentralisasi-residualitas. Desa tak lebih dari sekedar hanya kepanjangan tangan dari pemerintah kabupaten, provinsi maupun pemerintah pusat. Sementara ”Desa baru” hadir dengan asas rekognisi-subsideritas.

Rekognisi merupakan pengakuan dan penghormatan terhadap desa, sesuai dengan semangat UUD 1945 Pasal 18B ayat 2 yang memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.

Makna Subsideritas, menurut Sutoro Eko, memiliki tiga maksa. Pertama, Subsideritas adalah lokalisasi penggunaan kewenangan dan pengambilan keputusan tentang kepentingan masyarakat setempat ke desa.

Kedua, negara bukan menyerahkan kewenangan seperti asas disinteralisasi, melainkan menetapkan kewenangan berskala lokal desa menjadi kewenangan desa melalui undang-undang.

Ketiga, pemerintah tidak melakukan campur tangan (intervensi) dari atas terhadap kewenangan lokal desa, melainkan melakukan dukungan dan fasilitasi terhadap desa. Pemerintah mendorong, memberikan kepercayaan kepada desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat.
Indonesia tidak akan bercahaya karena obor besar di Jakarta.
Tapi Indonesia akan bercahaya karena lilin-lilin kecil di Desa
(M. Hatta – Wakil Presiden Republik Indonesia ke-1).

Undang-undang Desa menyatakan kepala/desa adat atau yang disebut dengan nama lain mempunyai peran penting dalam kedudukannya sebagai kepanjangantangan Negara yang dekat dengan masyarakat dan sebagai pemimpin masyarakat.

Besarnya mandat Undang-undang Desa, dengan memberikan kewenangan penuh mengelola dan mengatur dirinya sendiri untuk mewujudkan Desa yang berdaulat secara politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan bekepribadian dalam budaya.

Mengimajinasikan desa di masa depan bila tidak melibatkan generasi pemuda di dalamnya, sama saja dengan membuang energi. Investasi triliunan rupiah dana yang masuk ke Desa hanya akan menyisakan sejumlah masalah, karena masa depan Desa akan bergantung pada seberapa besar generasi pemuda ter (di) libatkan sejak dini.

Kepemimpinan muda yang inovatif dan progresif dibutuhkan oleh “Desa baru”, pemimpin yang bisa melibatkan partisipasi masyarakat Desa baik itu dalam merencanakan, melaksanakan serta mengawasi apa yang menjadi keputusan bersama dalam forum tertinggi di Desa yaitu MUSDES (Musyawarah Desa).

Gerakan Pemuda Ansor sebagai kawah “candradimuka” nya para calon pemimpin di masa yang akan datang dengan basis sampai ketingkat Ranting (Desa) rasanya tidak lah sulit untuk menghasilkan Pemimpin yang bisa mencerahkan dan menggerakan apabila dibarengi dengan seluruh kader di level tingkatan manapun tidak melupakan Desa nya dan mau aktif ter (di) libatkan diri dalam setiap aktivitas yang ada di Desa nya masing-masing.

Kepada pengurus untuk senantiasa meningkatkan kapasitas kader demi terwujudnya Kepemimpinan pemuda yang inovatif dan progresif disertai dengan mempunyai kesadaran dan niat yang kuat, serta keikhlasan yang tinggi dengan memberikan teladan yang baik, bersih dan transformatif, ada di tengah masyarakat Desa.

Desaku yang kucinta Pujaan hatiku
Tempat ayah dan bunda dan handai taulanku
Tak mudah kulupakan Tak mudah bercerai
Selalu kurindukan Desaku yang permai
(Lirik Desaku – L. Manik)