Dekonstruksi Gender terhadap Perempuan di dalam Masyarakat Kultural

406

Oleh: Heni Meliyanawati*)
Perempuan adalah makhluk Tuhan yang diciptakan dengan segala keistimewaan. Dari rahimnya, terbentuk calon manusia unggul, mereka manusia para tonggak perubahan yang hadir pada tiap kurun waktu tertentu.

Perempuan dilahirkan sebagai penyeimbang kehidupan, pendamping kaum Adam, melahirkan dan mendidik generasi baru untuk mencapai masa depan dunia yang gemilang. Namun perempuan seringkali dikonstruksikan sebagai makhluk sosial yang rapuh, ia dianggap tidak bisa tegak berdiri tanpa bantuan dari laki-laki.

Konstruksi gender yang melekat pada pemikiran masyarakat hanya memposisikan kaum perempuan pada wilayah domestik, selazimnya perempuan hanya mengurus berbagai keperluan rumah tangga tanpa harus bersusah payah membangun karier, karena pada akhirnya perempuan akan kembali kepada tugas mengurus keperluan dapur.

Keseteraan gender diperkenalkan di Indonesia lebih awal oleh R.A. Kartini, yang selanjutnya lebih digaungkan oleh para kaum feminis, sedikitnya telah membawa banyak perempuan pada pemikiran yang lebih maju.

Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa kebangkitan perempuan tersebut masih saja tersumbat oleh adanya stigma masyarakat terhadap perempuan yang berkarier di wilayah publik, dipandang sebagai perempuan yang lari dari tanggung jawab, dan lebih memprioritaskan keinginan pribadi daripada fokus mengurus keluarga.

Hal tersebutlah yang kemudian menghadirkan ketimpangan gender, adanya ketimpangan struktur di wilayah yang ditinggalinya dan justru sering tidak disadari oleh kaum perempuannya sendiri.

Ketimpangan tersebut akan menguntungkan kaum laki-laki dan merugikan kaum perempuan.
Ketika laki-laki memiliki kebebasan untuk menciptakan jalan kehidupannya, perempuan justru terpenjara pada stereotif masyarakat yang menganggap bahwa perempuan yang baik adalah perempuan yang diam di rumah. Pun ketika perempuan diberikan kebebasan untuk berkarier di wilayah publik, ia tetap saja dibebankan untuk menjadi perempuan yang sempurna ketika ia berada di tengah-tengah keluarga.

Menurut Aquarini Priyatna, seorang akademisi penganut faham feminis di Indonesia, menganggap bahwa menjadi perempuan yang diharuskan selalu credible di luar rumah dan perfect di dalam rumah adalah bentuk kekerasan terhadap kemanusiaan perempuan1 Namun lagi-lagi, perempuan selalu dibatasi oleh nilai dan norma di masyarakat yang menempatkan ia pada sesuatu yang tidak adil.

Tidak peduli pada lelahnya perempuan setelah melakukan pekerjaan di luar rumah, ketika sampai di rumah ia diwajibkan untuk mencuci pakaian, menyetrika, memasak, mencuci piring, menyapu, mengepel lantai, dan berbagai pekerjaan lainnya yang dianggap perkerjaan tersebut sungguh-sungguh hanya pekerjaan milik perempuan saja.

Lalu timbul pertanyaan dalam pikiran saya, kenapa urusan rumah tangga tersebut hanya dibebankan kepada perempuan, sedangkan laki-laki terkesan enggan untuk mengerjakannya? Padahal sama halnya seperti laki-laki, perempuan pun memiliki titik lelahnya sendiri, ia tidak bisa jika harus sama sempurnanya ketika sedang berada pada dua posisi yang berbeda. Belum lagi dengan hadirnya ideologi patriarki yang sangat kental dengan budaya Indonesia khususnya di tanah Jawa sejak zaman pra-penjajahan, yang ditandai oleh kuasa dan dominasi laki-laki terhadap perempuan, semakin menempatkan perempuan pada posisi yang sulit bergerak.

Beruntung Indonesia sempat memiliki pahlawan Nasional perempuan yang tercatat walau tidak banyak, yang memiliki jasa dalam hal kebangkitan perempuan, membawanya pada masa kebebasan berfikir dengan memiliki hak mendapatkan pendidikan yang sama dengan kaum laki-laki. Namun perubahan tersebut dirasa belum merata, konsep patriarki masih terdapat pada mayoritas masyarakat kita, perempuan masih saja terjebak pada posisi subordinat di bawah kuasa laki-laki. Hemat saya, laki-laki dan perempuan baiknya bersifat fleksibel terhadap perubahan dan tuntutan yang dibutuhkan.

Keduanya tidak hanya berdiam pada posisi yang telah ditempatinya sejak ratusan tahun yang lalu. Laki-laki tidak terlena pada haknya yang memiliki kuasa ketika dihadapkan pada ideologi pratiarki, toh tidak ada salahnya ketika laki-laki rela turun ke bawah membantu peran perempuan untuk menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga.

Dan perempuan, ia berhak untuk menyeimbangi peran laki-laki di wilayah publik, sebab perempuan pun bisa melakukan dan menjadi apa saja, tidak ada sekat dan ruang yang dapat membatasi mimpi dan kemampuan mereka.

Wilayah domestik dan publik adalah milik laki-laki dan perempuan, keduanya memiliki peranan penting untuk keberlangsungan umat manusia dimasa sekarang dan masa yang akan datang. Idealnya adalah antara laki-laki dan perempuan harus saling berbagi peran yang setara, saling menunjang dalam hal keinginannya masing-masing, saling bertukar dan

1. Dalam buku Kajian Budaya Feminis, Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop, hlm: 21. menghargai pendapat, saling memberikan kebebasan, dan jangan lupa untuk saling mengasihi satu sama lain.

*Pengurus Cabang PMII Kab. Sumedang, ketua biro hukum, advokasi, dan HAM dan Alumni Sastra Sunda, Unpad 2013.