Cerpen: Sore Bersama Ibu

371

Oleh: Salehudin (Mahasiswa Pascasarjana Linguistik Unpad)

Kira-kira pukul setengah lima aku telah sampai di rumah. Sore beserta warna keemasan matahari yang mulai redup mengantarkanku ke depan pintu. Sejak kustandarkan motorku aroma kopi buatan Ibu sudah tercium. Setiap sabtu sore, Bapak, aku dan Ibu semacam punya ritual ngopi bersama walaupun semakin kemari aku semakin sering tidak hadir.

“Wah dosen Ibu sudah pulang!” Ibu yang melihatku masuk langsung tersenyum.

“Bu, berhenti mendoakanku dengan nada memaksa seperti itu, doakan yang terbaik saja.” Sambil kucium punggung tangannya

“Jika Ibu saja tidak boleh memaksamu dalam doa, semestinya kamu juga tidak boleh mendoakan dia yang bukan siapa-siapamu dengan nada memaksa, Nak” cubit Ibu sambil menggodaku.

“Tapi aku sudah minta izin untuk mendoakannya, Bu.”

“Wanita baik tidak akan menolak untuk didoakan.. karena dia tau takdir terbaiklah yang akan menghampirinya bukan doa terbaik.”

Aku kehilangan kata-kata. Ibu selalu bisa menyadarkanku dengan cara yang baik.

“Iya Bu iya.” hanya kata-kata itu yang kemudian keluar.

“Setiap pengharapan mestinya bermuara pada keikhlasan, Nak” Ibu menghampiri seraya membawa pisang goreng dari dapur.

Dialog sore itu terjadi entah beberapa minggu yang lalu saat terakhir kali aku pulang. Namun hingga sekarang kata-kata Ibu selalu terngiang. Aku kemudian seperti biasa tenggelam dalam kuliah, tugas, diskusi, dan sesekali membantu dosen prodi. Kumpulan tugas bahkan membuatku lupa untuk menikmati kopi buatan Ibu di rumah yang biasa kusempatkan minimal dua minggu sekali.

Aku tersadar ternyata sudah lebih dari biasanya aku tak pulang. Situasi akhir-akhir ini memang membuatku lupa pulang. Kegiatan diskusi lebih sering dari biasanya karena menjawab fenomena di jakarta dan beberapa kota termasuk Bandung. Negara memanas karena banyak hal yang tak beres-yang sebenarnya sudah lama-. Pemantiknya ialah karena DPR menyusun RUU revisi KPK yang kini telah disahkan presiden yang kami anggap itu upaya pelemahan terhadap KPK.

Aku tiba-tiba saja sangat rindu pada Ibu. Setelah mendiskusikan manajemen aksi yang akan dilakukan besok, sore ini aku menyempatkan dulu pulang ke rumah. Tiga jam perjalanan naik motor tak pernah kukeluhkan demi menengok Ibu dan Bapak. Kepulangan kali ini memang tiada lain untuk izin kepada Bapak sebelum ikut aksi besok. Untuk hal-hal seperti ini aku selalu tak berani meminta izin kepada Ibu. Tak tega membebani pikirannya. Dan untungnya Bapak selalu bisa diajak kompromi. Bapak paham lelaki tidak boleh diam. Konon, dulu Bapak pernah kena tempeleng Abah karena ketauan ikut demo. Abah yang seorang tentara dan pengurus partai dengan lambang pohon beringin itu tentu saja tak ingin anaknya ikut-ikutan melawannya. Bapak sampai pernah diusir dari rumah. Sudah barang tentu gen Bapa lebih kuat daripada gen Abah padaku. Aku bahkan sangat sebal melihat tentara mengusir dan menyiksa petani seperti di Urutsewu dan beberapa tempat lain.

Malam ini kuteguk kopi Ibu dengan sangat khidmat. Semacam menjadi jamu kuat untuk aksi besok.

“Nak bener mau langsung pulang lagi?”
Tiba-tiba Ibu muncul di tengah pemufakatanku dengan Bapak.

“Di kampus masih banyak tugas, Bu.. minggu depan pulang lagi kok insya Allah”

“Kamu suka ada-ada aja.. tiba-tiba pulang tiba-tiba balik lagi.. tidak berubah.”

“Tomat-tomat belum dipindah ya Bu sejak kusemai? Mereka cepet banget tumbuh. Minggu depan aku pindahin deh Bu.” Sengaja kualihkan pembicaraan.

Setelah kuciumi tangan Bapak dan Ibu kutarik gas kembali ke Bandung.

Muka panas dan mata pedih karena gas air mata menemani perjalanan kembali ke Bandung. Peserta aksi mahasiswa kali ini konon yang terbesar setelah 98. Kita sepakat ada beberapa RUU yang bermasalah yang dirancang DPR. Output kami jelas tujuh tuntutan kepada Presiden dan DPR. Aku yang beberapa kali terjun pada kasus penggusuran lahan sangat muak dengan sikap pejabat-pejabat yang selalu melihat semuanya seakan-akan baik-baik saja. Kesenjangan kita sudah terlampau kronis. Oligarki kian berkuasa di tanah air. Bukan rahasia jika petani acap kali menjadi korban. Padahal menurut Mbah Hasyim, Pak Tani itulah penolong negeri. Bagiku ini semua patut diperjuangkan.

Setelah melaksanakan evaluasi aksi di sekretariat, beberapa teman kembali pulang ke kosan masing-masing. Aku berniat merebahkan badan setelah sejak kemarin malam dari rumah belum tidur sama sekali. Belum lama aku memejamkan mata suara gedoran keras pintu sekre membangunkanku dan beberapa teman yang juga tertidur. Gedoran kian keras. Dengan langkah gontai kudekati pintu sambil ingin mengkhotbahi kesabaran bagi seseorang yang di baliknya. Keterlaluan.

Setelah pintu dibuka ternyata perkiraanku salah. Bukan satu orang yang berada dibalik pintu. Mereka berlima berbadan kekar dengan wajah yang sepertinya sudah lupa bagaimana caranya tersenyum.

“Saudara Naufal kami tahan. Karena ikut bertanggung jawab terhadap kerusuhan aksi. Berikut surat penahanannya.” Satu orang di belakang yang berbicara memperlihatkan surat-surat.

Aku diseret lalu didorong masuk ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan perlakuan mereka tidak kuhiraukan. Setibanya di tempat yang aku tak tau dimana, mereka menggiringku. Di dalam ternyata sudah banyak teman-teman mahasiswa yang sebagian kukenali wajahnya di depan gedung DPR saat aksi. Mereka menyambutku tanpa kata. Wajahnya lusuh tak karuan; bibirnya bonyok dengan darah kering menghitam yang terlihat jelas. Sebagian bersandar memunggungi dinding ruangan dengan kepala menunduk. Bau asem dan amis memenuhi ruangan.

Aku dibawa ke sebuah ruangan. Orang-orang yang entah siapa mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaan. Sesekali bogem mentah mendarat di kepalaku. Semakin sering jawabanku tidak disukai mereka semakin sering pula perlakuan perlakuan tak manusiawi menghampiriku. Darah segar keluar dari dahi dan bibirku. Semua bagian tubuhku kini menjadi sasaran tendangan mereka. Dan entah di pukulan ke berapa semuanya menjadi gelap. Hitam. Kelam.

Di kegelapan ini aku teringat janjiku kepada Ibu kemarin. Lalu aku mencium aroma kopi buatan Ibu dan sayup-sayup terdengar suara yang aku kenal:

“Setiap pengharapan mestinya bermuara pada keikhlasan, Nak”

“Iya Bu, pengharapan terhadap perbaikan negara ini juga harus ikhlas meninggalkan sore-sore bersama Bapak Ibu.”