Catatan Mengenai Beberapa Kontroversi Aturan PERMENDIKBUD 23 Tahun 2017

144

Yang harus dipahami, pertama, dari Permendikbud No. 23 tahun 2017 adalah waktu belajar dan jumlah hari yang dipersingkat akibat aturan yang dikeluarkan oleh Mendikbud. Senin hingga jum’at dan 8 jam, singkatnya gitulah.

Aturan tersebut, tentu memiliki akibat yang tidak hanya kepada pelajar sebagai individu, tetapi juga sistem pendidikan lain (MD) yang sudah lama bergerak sebelum adanya Permendikbud.

Bagi individu, tentu lelah dan pusing karena harus menyerap energi terlalu banyak, bukan hanya dari segi fisik tetapi dari segi kemampuan otak menerima pelajaran. Hal demikian, bagi sebagian pihak, tentu berimbas pada tidak efektifnya proses belajar mengajar.

Bagi MD, tentu secara tidak sengaja/kebetulan (imbas dari aturan itu) akan kehilangan muridnya yang biasa hadir dan dimulai sekitaran jam 2 atau ba’da ashar. Jika jam 2, dengan aturan full day school, murid MD belum pulang. Jika ba’ad ashar atau maghrib, murid yang biasanya berMD tentu bukan robot, murid sudah lelah dan tidak sanggup lagi. Akibatnya, bangunan Madin, pondasi Madin, runtuh dan tidak lagi diminati. Bukan karena sudah usang, tetapi dimatikan oleh karena sistem. Dan ini sudah terbukti.

Jika ditanya, ada atau tidaknya Permendikbud, buktinya FDS juga dibeberapa sekolah sudah dilakukan. Iya betul, tetapi keberadaan sekolah ala FDS itu menjadi pilihan, sunnah dan tidak wajib. Sedangkan apabila diberlakukan melalui Permendikbud, yang pilihan itu seolah menjadi wajib, menjadi salah/haram apabila tidak melaksanakan dengan apapun kemasan bahasanya. Sekolah tentu tunduk pada satuan sistem yang hierarkis, dimana Mendikbud adalah satuan tertingginya.

Kedua adalah soal klaim pendidikan karakter yang menjadi muatan diberlakukannya aturan Permendikbud tersebut. Faktanya, di dalam Permendikbud tersebut tidak dituliskan secara eksplisit mengenai itu, baik tujuan maupun niatan output.

Berbicara soal pendidikan karakter, Pesantren justeru lebih unggul. Sebelum ada FDS, Pesantren sudah lebih dulu lahir. Pesantren mencetak pribadi yang cinta tanah air, pribadi yang paham agama, dan bahkan pribadi yang siap tarung menjadi syuhada. Jadi, jika FDS baru berupa klaim, Pesantren justeru sudah memberikan bukti.

Kesalahan yang paling fatal adalah pada anggapan selanjutnya, yakni menyamakan sistem FDS dengan Pesantren hanya dari skema jumlah jam. Kenapa tidak sekalian saja bilang kalau homeschooling itu adalah/sama dengan pesantren? Pendidikan polisi yang bareng siang malem, dari bangun sampe tidur lagi, itu sama dengan Pesantren? Dll yang jumlah skema jamnya panjang. Pesantren punya skema sendiri, punya tata cara belajar sendiri, dan fokus tujuan sendiri. Persamaan dengan skema ngaco ini, selain seperti sedang maksa mempesantrenkan FDS (entah dengan tujuan menarik kalangan santri untuk tidak nolak FDS atau apa), juga tidak apple to apple dan logical fallacy (kekeliruan logika).

Justeru, pendidikan FDS ini membuat santri yang mengambil pendidikan di Sekolah formal menjadi lelah, tidak fokus mengkaji kitab kuning, dan kesulitan menyerap hafalan karena seluruh energinya telah dihabiskan di sistem FDS.

Bakhrul Amal DOSEN UNUSIA JAKARTA dan ANGGOTA ANSOR KOTA CIREBON