Catatan: Hari Santri ke-3, Santrikah Aku?

216

Catatan: Hari Santri ke-3, Santrikah Aku?

Oleh: Ahil Siradj

Terlibat dalam sejarah kepesantrenan, baik dengan kurun yang agak lama maupun sebentar, baik dengan keterlibatan yang dalam maupun yang dangkal, ada orang yang memaknai keterlibatannya itu sebagai kemunduran dalam hidupnya yang harus disesali; ada orang yang setengah minder oleh karena pergaulan dirinya di antara teman sebayanya menjadi tertinggal; ada pula yang menganggapnya sebagai kebanggan serta anugerah tak terbayar; ada juga yang menganggapnya sebagai tanggung jawab besar yang wajib dijawab. Bermacam variasi pemaknaan seperti di atas tentu saja ada. Yang belum saya temukan adalah data persentasenya yang nyata dari batang tubuh “santri” secara global.

Sedangkan mengenai definisinya, sebenarnya berbagai definisi terhadap “santri” telah banyak dikemukakan. Tentu saja, sangat beragam; ada yang mendefinisikannya secara minimalis-realistis (sangat inklusif), ada yang minimalis-idealis (sangat terbuka dalam satu sisi, sekaligus sangat ketat dalam sisi yang lain; jaami’an fii wajhin wa maani’an fii wajhin akhar), pula ada juga dengan definisinya yang sangat ketat; maksimalis-idealis (adakah istilah yang lebih pas?). Simbah Gus Mus, misalnya, yang saya anggap definisinya termasuk sebagai yang minimalis-idealis, menyebutkan bahwa santri itu tidak hanya yang berada di pondok (bagian minimalis dari definisi ini, bersifat inklusif), tetapi siapa pun yang berakhlak santri dapat dikatakan santri (inilah titik idealnya; berat dan ketat).

Lalu jika melihat KBBI, dikatakan di sana bahwa santri adalah: (a.) Orang yang mendalami ilmu agama, atau (b.) Orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh, orang yang saleh. Definisi KBBI ini sama sekali tidak menyinggung keharusan mondok atau tidaknya, maka definisi ini masihlah terlalu umum dalam pengertian budaya Nusantara kita. Atau juga jika kita lirik definisi alternatif lainnya, ada yang membedah kata “santri” dengan huruf per hurufnya yang diberi makna; dengan menggunakan huruf Hijaiyah, dari huruf ‘sin’ hingga ‘ya’-nya diberi makna yang mendalam–sehingga inilah yang saya anggap maksimum-ideal.

Walhasil, telah banyak upaya pendefinisian terhadap makhluk bernama santri ini, tentunya agar ada pembeda yang jelas di antara santri dengan selainnya (the others). Namun dari berbagai varian definisinya, dapatlah saya pahami bahwa kesantrian sangat akrab dengan dua hal: akhlak dan ilmu. Bagi saya, bahkan dua hal inilah pondasi pokok serta yang menjadi substansi dari makna kesantrian.

Dan dengan seperti ini, terang benderanglah bahwa pada hakikatnya, bagi saya, memperingati Hari Santri Nasional bukanlah merayakan identitas maupun eksistensi diri; melainkan momen Hari Santri merupakan sebuah pengingat penting bahwa diri saya yang sekarang dengan cita-cita besar saya, yaitu menjadi santri, masihlah terpaut jarak yang sangat jauh. Hal ini dikarenakan diri saya yang sama sekali belum memiliki sedikit pun dari dua pondasi pokok kesantrian seperti di atas; yaitu akhlak dan ilmu.

Hal berikut menjadi pantas. Terlepas dari sejarah di balik penanggalan 22 Oktober ini yang sarat akan perjuangan kemerdekaan negara, namun terang saja Hari Santri ini harus dapat memberikan segenap ruang terhadap refleksi-refleksi kesantrian dari berbagai aspeknya; bukan melulu tentang bela negara. Momen tahunan yang baru disahkan pada tahun 2015 ini harus bisa menjadi wadah bagi renungan-renungan kesantrian seluruhnya; termasuk mempertanyakan kembali: apakah kita telah benar-benar menjadi santri, ataukah hanya pakaiannya saja?

Cara yang paling mudah dan logis untuk menjawab pertanyaan semacam itu, tiada lain hanya dengan menyocokkan diri kita dengan berbagai definisi santri yang telah ada dan disebutkan di atas. Dari berbagai definisinya, adakah yang telah sesuai? Adakah definisi santri, yang paling minimal sekalipun, yang telah kita capai dan penuhi?

Maka dengan segala kesadaran diri, pahamlah diri saya bahwa dengan hanya terlibat dalam rangkaian sejarah kepesantrenan, hanya dengan memiliki pengalaman bergumul dengan pesantren, sama sekali tidak membuat seseorang pasti mendapatkan titel “santri”. Simbah Kakung KH. Musthofa Bisri boleh saja mengatakan bahwa seseorang di luar pondok pun, jika ia memiliki budi pekerti santri, ia berhak dikatakan santri; namun tetap saja harus diakui bahwa seseorang yang berada dan cukup lama di pondok pun, belum tentu berakhlak santri. Dan tak perlu jauh telunjuk menunjuk, saya sendirilah yang menjadi buktinya.

Sebagian orang di luar sana telah menentukan sikapnya. Dengan perasaan telah layak menjadi santri, ada yang kemudian malu atas kesantriannya itu; ada juga yang sampai menyesal; ada yang bangga; ada yang terpecut semangat. Dan bila ada yang bertanya, terus terang saja, saya pribadi belum bisa bersikap. Jangankan malu atau bangga atas kesantrian saya, sedang status saya sebagai santri pun masih sangat dipertanyakan. Bila Simbah Kakung (Gus Mus) pun memiliki pertanyaan: “Tuhan, Islamkah aku?”, hari ini saya juga ingin bertanya: “Kiai, Santrikah aku?”