Belajar Kearifan Kepada Imam Madzhab Di Era Informasi Marak Hasutan

522

Oleh: Mualif Masykur (Sekretaris MDS Rijalul Ansor Jawa Barat)

Semenjak genderang reformasi di tabuh di negeri ini, arus informasi semakin kencang tidak terkendali. Kondisi demikian ini tentu ada pihak yang bersorak sorai karena pada posisi di untungkan, namun tak sedikit yang justru menjadi korban keganasan pena yang latah menorehkan tinta.

Sudah tidak terhitung jumlah berita hasil copy dan paste (copas) yang berseliweran memenuhi ruang semesta maya, baik berita itu nyata adanya maupun hasil pelintiran dan rekayasa demi menguntungkan kepentingan pribadi maupun golongan.

Salah satu yang sering di rugikan dengan adanya berita-berita tak terkontrol adalah pengurus Nahdlatul Ulama serta banom-banom yang berada di bawah naungannya.

Jika dulu yang sering muncul di dunia maya adalah menyerang amaliyah organisasi seperti tuduhan bid’ah, syirik dan kafir, sekarang serangan itu sudah berganti mengarah kepada individu seperti menuduh syi’ah, munafiq, liberal dan tuduhan-tuduhan laennya yang menyudutkan.

Jika dulu yang menyerang amaliyah Nahdliyah adalah bisa di pastikan dari sekte yang anti ziarah qubur dan tawasul, sekarang sudah lebih jauh dari itu karena yg merongrong Nahdliyyin sekaligus pengurus strukturalnya adalah mereka yang dalam hal amaliyah bisa di katakan tidak ada beda, bahkan banyak juga mereka yang menghantam pengurus NU adalah warga yang mengaku NU juga tanpa melakukan tabayyun dulu kepada yang bersangkutan. Ini merupakan tantangan yang tidak ringan, karena berpotensi menggerus umat Nahdliyyin sekaligus bisa menimbulkan gesekan di tataran jamaah.

Seolah tiada henti, selalu saja ada bahan untuk mencaci dan menyudutkan kepada tokoh-tokoh NU baik tokoh muda maupun tokoh sepuh, serangan-serangan seperti ini sebenarnya sudah dimulai sejak awal reformasi, lebih berhembus kencang sebelum pilpres 2014 kemarin dan makin menggila semenjak akan di helat pilgub DKI di tahun ini.

Tidak perlu saya sebutkan tokoh-tokoh yang telah menjadi korban vonis sepihak oleh mereka yang tidak cocok dengan NU. Bagi saya, perbedaan sudut pandang dalam menyikapi sebuah kasus atau tradisi saling kritik dalam khazanah Islam adalah sah-sah saja, dan dalam literatur agama yang demikian ini adalah no-problem.

Jangankan hanya berbeda paham, berbeda agama-pun sebagaimana dalam firman-Nya tidak ada paksaan untuk memeluk agama sesuai dengan kebenaran yang kita yaqini.

Sejarah Imam madzhab telah memberi contoh yang mestinya harus kita pahami dan kita ikuti, Imam Syafi’i yang sejak remaja berguru kepada Imam Malik pada tahap selanjutnya Imam Syafi’i memunculkan madzhab yang berbeda dengan gurunya tersebut, atau tradisi kritik yang terjadi antara al-Ghazali dan Ibnu Rusydi ketika menjelaskan tentang konsep alam dari kacamata filsuf.

Perbedaan ini tentu tanpa ada embel-embel saling menyalahkan dan mencaci kepada personal seperti yang terjadi akhir-akhir ini di negeri pertiwi.

Oleh karena itu, mulailah dari diri kita untuk menerima perbedaan dengan lapang dan tidak mencaci terhadap yang berbeda hanya berbekal dari kabar yang lalu-lalang di depan kita tanpa mencari dahulu kebenaran informasi tersebut terlebih informasi yang berdampak kepada merendahkan terhadap pimpinan kita khususnya dan merendahkan ke sesama manusia pada umumnya.

Bolehlah kita membaca semua informasi, tapi tetap harus selektif terhadap apa yg kita percaya dan berhati-hati dengan yang kita sebarkan kepada lainnya agar info tersebut bisa menjadi asbab kita memperoleh kebaikan dunia-akherat bukan malah menjadikan sabab kita terjerembab kepada beratnya hisab kelak di akherat. Wallohu ‘alam Bi al-Showab