Ramadlan, Perselingkuhan Kebencian dan Perdamaian

130

Oleh : Aziz Ian
(Kader GP ANsor Kabupaten Bogor)

Indonesia merupakan negeri yang sarat dengan konflik kekerasan. Bersamaan dengan transisi politik, semua persoalan yang dihambat atau ditekan pada masa rezim Orde Baru mengemuka. Ketidakpuasan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah tiba-tiba menemukan penyalurannya melalui cara-cara kekerasan fisik dalam bentuk verbal, dan konflik komunal.

Belakangan ini, terdapat kecenderungan menguatnya kekerasan oleh kalangan masyarakat sendiri sehingga muncul kesimpulan bahwa kekerasan yang berlarut adalah hasil reproduksi secara sosial melalui proses intermalisasi pengalaman kognitif, setelah pada periode sebelumnya kekerasan lebih didominasi oleh kekerasan negara (state-violence) yang dilakukan secara sistemik melalui institusi-institusi kekerasan.

Maka, tak heran jika sampai saat ini, berbagai bentuk kekerasan terus terjadi di berbagai level masyarakat sehingga mempermudah terjadinya letupan konflik vertikal maupun horizontal.

Di satu sisi, sangat tidak mudah untuk menguraikan akar persoalan konflik kekerasan, bahkan menuntaskannya. Di sisi lain, hal ini justru memunculkan “tantangan” baru bagi kita untuk berupaya mencari jalan keluar dengan memikirkan altematif pemecahan persoalan yang sesuai dengan potensi serta komitmen yang dimiliki.

Tulisan singkat ini tidak dimaksudkan untuk mengulas satu per satu persoalan-persoalan yang berkaitan dengan konflik, krisis yang memberi “ruang” bagi munculnya konflik kekerasan, serta transisi politik yang berlangsung.

Namun, menawarkan suatu agenda posisi kita sebagai peace-worker ataupun peace-builder yang memiliki komitmen untuk mengupayakan alternatif keluar dan konflik kekerasan, dan mendorong terbentuknya budaya damai (peace culture) sehingga memungkinkan untuk membawa potensi konflik kekerasan atau konflik kekerasan yang sudah berlangsung ke arah perdamaian yang lebih kooperatif dan positif.

“Tidak ada perdamaian jika masih terselip kebencian. Karena kebencian mendegradasi keadilan yang jadi visi perdamaian”

Di bulan suci Ramadhan ini mari kita sucikan hati (walaupun sejenak). Tinggalkan sudah aroma kebencian dalam interaksi sosial kita. Mari membangun perdamaian dengan menebar kebaikan dan kesantunan pada sesama.

Mari berlaku adil bagi pikiran, perasaan, ucapan, dan tingkah laku kita. Jangan pernah adalagi sesuatu hal yang dapat menjadi bahan “omongan” khususnya di sekitar lingkungan kita. Tunjukkan pada Masyarakat bahwa kita mencintai lingkungan dengan tidak lagi saling melempar ujaran kebencian yang dapat menimbulkan pertikaian.

Yang sedang hangat-hangatnya yaitu Fenomena Dr. Fiera Lovita yang sangat sungguh disayangkan. Intimidasi seolah berjumpa dengan “pembenaran” bagi sebab sebuah ujaran kebencian. Sebagian orang merasa itu adalah tindakan yang biadab, bahkan ada juga sebagian orang yang mengutuk keras sekelompok orang yang sering mengancam Dr. Fiera.

Teman-teman saya di Facebook, Twitter, Instagram dan Social Media lainnya ini banyak juga yang mengecam aksi intimidasi FPI terhadap Dr. Fiera. memang mental manusia negeri ini masih mudah tersulut atas ujaran kebencian yang tidak sedikit dibalas dengan aksi intimidasi dan main hakim sendiri.

Ini negara hukum. Jika memang tindakan seseorang melanggar hukum. Silahkan diproses secara hukum agar keadilan bisa terbuka. Hindari tindakan main hakim sendiri.

Yang saya sayangkan, untuk merespon fenomena ini saja banyak kalangan terdidik berlaku tidak adil. Kasus Dr. Fiera dibesar-besarkan dan mengutuk keras FPI yang mengintimidasi. Sedangkan pada kasus Fahri Hamzah di Manado kalangan terdidik ini bungkam. Padahal ‘sama’ mengerikannya (bahkan lebih buruk) intimidasi yang dialami Fahri Hamzah yang diancam dibunuh dengan berbagai senjata tajam.

Sebetulnya Bapak, Ibu, dan kakak-kakak sekalian ini membela perdamaian atau membenci FPI? Tolong jangan jadikan kebencian sebagai pasangan selingkuh bagi perdamaian. Terlalu suci perdamaian jika diperselingkuhkan dengan kebencian.

Berlakulah adil, Dr. Fiera perlu dibela sebagai korban intimidasi sekaligus dihukum sebagai pelaku ujaran kebencian. Fahri Hamzah juga perlu dibela sebagai korban pengeroyokan sadis sekaligus dihukum sebagai pelaku ujaran satir yang mengarah pada kebencian.

Jangan hanya membela secara membabi buta. Membela itu penting, tapi tidak lantas menyingkirkan fakta dan bukti hukum. Jangan juga langsung menyimpulkan hukum di intervensi oleh sekelompok orang. Masih ada keadilan kok di negeri ini jika manusianya taat hukum. Saya sangat yakin itu.

Jadi ayo di moment ibadah yang penuh maghfirah ini. Kita belajar dan merenungkan kembali segala yang pernah kita lakukan. Semulia apa kita di sisi Allah dan makhluk lain. Atau sezhalim apa kita di sisi Allah dan makhluk lain. Di Bulan Suci yang penuh dengan Ampunan, mari kita saling berdoa meminta maghfirah nya dan jadikan Bulan Suci Ramadhan ini sebagai Bulan yang penuh dengan Rahmat (Kasih Sayang). Sehingga kita pun ikut serta dalam menebar kasing sayang Tuhan di dalamnya, bukan malah sering menjelek-jelekkan antara yang satu dengan yang lain. Biarkan roda kereta berjalan pada rel nya masing-masing dan Biarkan semua berjalan pada Sunnatullah yang sudah berlaku di Negara ini. Polisi dengan tugasnya, Presiden dengan tugasnya, TNi dengan tugasnya, Dokter dengan tugasnya, Semua punya tugas masing-masing. Jangan Polisi ingin jadi Dokter dan Dokter berhasrat menjadi TNI.

Apalagi kita makhluk yang masih penuh dengan dosa. Yang mengaku muslim saja kita harusnya tidak berani. Karena yang punya Hak Preogratif menilai kita Muslim adalah Tuhan apalagi menilai sebuah kebaikan dan keburukan seseorang.