Strategi Global Memperkenalkan “Islam Untuk Kemanusiaan”

551

Pidato Ketua Umum Gerapakan Pemuda Ansor Dalam Acara Humanitarian Islam

Pengembangan dan Pelaksanaan Strategi Global Memperkenalkan “Islam Untuk Kemanusiaan”

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Dalam hampir empat dekade terakhir dinamika global diwarnai konflik seputar Islam yang eskalasinya makin meningkat, berpuncak pada merebaknya radikalisme dan terorisme atas nama Islam.

Dunia telah mengenali kompleksitas faktor-faktor yang berperan dalam konflik tersebut, tapi semua kalangan, termasuk dunia Islam, ragu-ragu untuk mencermati elemen-elemen yang bisa menjadi sumber konflik di dalam Islam sendiri.

Deklarasi Nahdlatul Ulama dalam ISOMIL Mei 2016 telah menunjuk model tertentu dari interpretasi terhadap Islam sebagai faktor yang mendorong lahirnya eradikalisme dan terorisme serta memicu islamofobia.

GP Ansor serta merta menyusulinya dengan Global Unity Forum yang menyerukan dihentikannya penggunaan agama sebagai alasan berkonflik serta menyerukan kepada para ulama untuk meninjau elemen elemen dalam wawasan keislaman klasik yang dapat mendorong konflik agama.

Dunia Islam dewasa ini berada di pusaran krisis multi dimensi, yang dimensi-dimensi sosial, politik dan ekonominya mengarah pada satu isu yang amat menentukan masa depan, bukan hanya bagi umat Islam saja, tapi bagi keseluruhan peradaban umat manusia, yaitu: apa yang menjadi standar ajaran agama untuk diikuti oleh 1,6 milyar umat Islam?

Berkaitan dengan itu, kita menghadapi dua masalah mendasar sekaligus.

Pertama, kesenjangan yang lebar antara cara pandang Islam klasik yang dianggap sebagai standar ortodoksi dengan konteks realitas masa kini akibat perubahan-perubahan fundamental dalam perihidup dan peradaban umat manusia sejak ortodoksi Islam mencapai puncak kemapanannya, yaitu pada sekitar abad pertengahan

Kedua, kekuatan otoritatif ortodoksi tersebut sedemikian kokoh di mata umat Islam sehingga tidak mudah mendorong terwujudnya rekontekstualisasi kecuali dengan mengerahkan kekuatan otoritas yang sebanding.

Dengan kata lain: sumber kesulitan utama bagi umat Islam untuk berdamai dengan peradaban modern adalah kesenjangan antara realitas kontemporer dengan elemen-elemen tertentu dalam ortodoksi Islam itu sendiri.

Yang paling problematis dari elemen-elemen itu adalah:
Pertama, ajaran-ajaran yang mengatur hubungan antara muslim dengan non-muslim, termasuk hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan peran dari non-muslim di tengah masyarakat mayoritas muslim, dan sebaliknya.

Kedua, hubungan antara dunia Islam dengan dunia non-Islam.
Ketiga, keberadaan negara bangsa dalam pandangan Islam dan keabsahannya sebagai sistem politik yang mengikat kehidupan umat Islam di negara-negara tempat mereka menjadi warga.

Keempat, kedudukan konstitusi negara modern dan sistem hukum yang dihasilkan oleh proses-proses politik modern di dalam dan di hadapan syariat Islam. Kontras dengan ketegangan yang dialami oleh sebagian besar dunia Islam akibat kesenjangan antara ajaran-ajaran kunci dalam ortodoksi silam dengan realitas, Indonesia diberkahi dengan teladan sejarah dari para pendakwah Islam Nusantara.

Wali Songo dan para ulama penerus mereka menekankan pentingnya kontekstualisasi Islam terhadap perubahan yang terus-menerus berlangsung pada realitas ruang dan waktu, sambil menyajikan Islam bukan sebagai ideologi penakluk ataupun kendaraan kekuasaan, tapi lebih sebagai salah satu di antara berbagai jalan untuk mencapai kesempurnaan jiwa.

Segaris dengan ajaran-ajaran ini, Islam secara bertahap mengakar di seantero nusantara, memberi sumbangan bagi kedalaman dan keindahan peradaban nusantara yang telah ada, sambil pada saat yang sama memelihara, tidak mengganggu atau merusak, harmoni sosial.

Nahdlatul Ulama dan Gerakan Pemuda Ansor mewarisi tradisi ini. Selama hampir satu abad, para Ulama NU membangun wacana keagamaan yang luas yang bukan saja menjamin legitimasi keberadaan NKRI sebagai negara bangsa dengan beragam agama dan keragaman lainnya, tapi bahkan bisa menjadi “pilot poject” yang memperlihatkan dimungkinkannya kerja sama antara ulama dan negarawan untuk membangun sistem sosial-politik modern yang sah (legitimate) di mata agama, yang memperjuangkan kemaslahatan bagi seluruh warganya, baik muslim maupun non-muslim.

Pada Muktamar Nahdlatul Ulama ke 27 tahun 1984 di Situbondo Jawa Timur, KH. A. Sidiq Rois Aam terpilih meletakkan dasar-dasar pemikiran bagi ikatan persaudaraan yang tidak hanya meliputi umat Islam saja (Ukhuwwah Islamiyah), tetapi juga persaudaraan sebangsa (Ukhuwwah Wathoniyah) dan persaudaraan di antara sesama umat manusia (Ukhuwwah Basyariyah).

Musyawarah Nasional Alim Ulama di Lampung tahun 1992, di bawah kepemimpinan KH. Abdurrahman Wahid, menegaskan bahwa perubahan-perubahan realitas sepanjang sejarah menuntut upaya ijtihad terus menerus oleh para ulama untuk menyediakan panduan keagamaan
yang kontekstual.

Apabila syarat-syarat mujtahid sulit ditemukan pada diri perorangan tertentu, maka para ulama menanggung kewajiban untuk melakukan ijtihad secara kolektif yang disebut Al-Istinbath Al-Jama’i.

Tradisi kontekstualisasi sebagaimana yang dimiliki oleh Islam Nusantara ini sulit ditemukan di belahan dunia Islam lainnya, sehingga umat Islam secara global masih terjebak dalam wawasan keagamaan yang berpotensi menimbulkan kerawanan-kerawanan dalam pergaulan international.

Bahaya yang mungkin ditimbulkan oleh kerawanan-kerawanan tersebut tidak hanya mengancam dunia Islam saja. Apabila Islam tidak menemukan jalan keluar dari masalah ini maka nasib seluruh peradaban dunia dipertaruhkan.

Jelas bahwa, Islam Nusantara dan Nahdlatul Ulama harus menawarkan tradisi kontekstualisasi (ijtihad) yang dimilikinya sebagai solusi bagi kemelut yang melanda dunia dewasa ini.
Gerakan Pemuda Ansor sebagai elemen kinetik utama dari Nahdlatul Ulama terpanggil untuk mengambil inisiatif progresif dalam menjawab tantangan tersebut. Dengan inspirasi dari Islam Nusantara, kami membangun strategi untuk menyumbangkan solusi bagi peradaban dunia dengan menawarkan wawasan Islam untuk kemanusiaan, Al-Islam lil Insaniyah – Humanitarian Islam.

Dalam waktu dekat, pada bulan Mei yang akan datang, kami akan menggelar Bahtsul Masail international, yaitu konferensi international dengan menghadirkan para ulama, untuk mendiskusikan suatu peta jalan (road map) menuju rekontekstualisasi Islam ke dalam peradaban masa kini.

Untuk menggalang dukungan dan membangun jaringan dalam rangka operasionalisasi strategi global, kami menunjuk dan mengangkat petugas khusus sebagai duta internasional GP Ansor yaitu :

1. Duta internasional untuk dunia Islam, KH. Yahya C. Staquf.
2. Duta internasional untuk PBB, Amerika dan Eropa, Dr. Charles Holland Taylor.

Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 30 Maret 2017
H. YAQUT CHOLIL QOUMAS
Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor