PENDIDIKAN CINTA

221

Oleh: Dedi Ahimsa

 

Hidup adalah sekolah cinta,

dan cinta adalah satu-satunya pelajaran

yang harus dipelajari dalam hidup.

 

Modernitas, yang diiringi dengan gerak industrialisasi, telah memaksa manusia untuk memandang segala hal sebagai komoditas—barang dagangan. Semua aktifitas manusia modern ditujukan pada tercapainya suatu cara untuk bisa mendapatkan komoditas yang bagus dengan harga jual yang tinggi. Maka diciptakanlah berbagai perangkat teknologi produksi untuk memproduksi suatu komoditas secara massal dengan modal seminimal mungkin. Proses objektivasi ini tidak hanya berlaku pada komoditas ekonomi, karena pada akhirnya, manusia, sebagai pelaku peradaban, juga menjadi objek dan medium untuk meningkatkan produksi. Diciptakanlah konsep link and match untuk memenuhi kebutuhan industri. Setiap orang—secepat mungkin—harus menguasai suatu keahlian tertentu untuk kemudian dipasang sebagai sebuah baut kecil pada mesin besar industri.

Sekolah tidak lagi menjadi media untuk mendapatkan kesenangan dan kebahagiaan batin. Sekolah tidak bisa lagi menjadi tempat istirah bagi pikiran yang lelah, bahkan ia telah menjadi sumber kelelahan dan tekanan itu sendiri. Merebaknya kasus kekerasan pada anak-anak dan juga yang dilakukan anak-anak, termasuk kasus kematian seorang siswa SD yang dikeroyok tiga teman sekolahnya, menjadi bukti nyata kegagalan sistem pendidikan dalam menanamkan kelembutan, cinta, dan kasih sayang, serta menghilangkan budaya kekerasan. Sistem pendidikan saat ini didorong oleh kebutuhan industri dan modernitas yang melihat manusia sebagai objek yang mesti memberikan keuntungan bagi manusia lain. Dalam ungkapan Gabriel Marcel, manusia modern cenderung melihat manusia lain sebagai “engkau” yang keberadaannya dianggap berguna hanya ketika memberikan manfaat dan keuntungan bagi “aku”. Inilah yang disebut Marcel sebagai hubungan aku-engkau, suatu jenis hubungan subjek-objek. Selain hubungan aku-engkau dan aku dia, Marcel juga mengajukan satu jenis hubungan antar-manusia yang paling ideal, yakni hubungan aku-aku, dan inilah hubungan cinta. Setiap “aku” melihat orang lain, juga sebagai “aku” yang memiliki keutuhan tersendiri; seseorang mengangap orang lain sebagai pribadi berkesadaran; atau lebih baik lagi, memperlakukan orang lain seperti pada dirinya. Pada hubungan semacam ini, tak diperlukan lagi komunikasi verbal tentang apa yang diinginkan seseorang dari orang lain, karena “engkau” telah menjadi bagian dari “aku”, sehingga “aku” niscaya mengetahui apa yang “engkau” butuhkan.

Mungkinkah menciptakan hubungan cinta di tengah perkembangan masyarakat yang tak lagi memedulikan cinta? Bahkan mungkin saat ini kita tak lagi bisa mengetahui apa arti cinta? Memang, cinta hanya bisa dipahami dengan cara mencintai, atau dengan kata lain dengan menjadi cinta itu sendiri, seperti yang dikatakan oleh Jalaluddin Rumi, “Apa pun yang aku katakan tentang cinta, ketika cinta datang, aku menjadi malu berbicara.”

Bisa jadi kegagalan di semua bidang pada dasarnya merupakan kegagalan cinta. Di abad ke-19, misalnya, ketika ilmu jiwa progresif membolehkan operasi pembuangan organ seksual atau cuping otak, organ yang diyakini memperparah penyakit moral manusia, tindakan ini tidak saja merupakan kegagalan inteligensi, melainkan kegagalan cinta. Dan di abad ke-20, ketika kesehatan mental dicari melalui shock therapy, pembentukan perilaku, atau resep zat-zat kimia—tindakan fiksasi terhadap kehidupan lahiriah yang material dan mengabaikan ketentuan-ketentuan kehidupan batin—sekali lagi, adalah kegagalan cinta. Demikian juga, sistem ekonomi yang didasarkan pada semata-mata nilai lahiriah, termasuk komunisme dan kapitalisme, pasti gagal jika tidak memasukkan di dalam intinya nilai-nilai cinta. Seni juga harus diilhami oleh cinta. Seni akan turun derajatnya menjadi teknik dan dekorasi saja ketika hanya melayani ego atau kepentingan ekonomis.

Dengan demikian, kita memerlukan sekolah cinta, sekolah yang tidak hanya mentransformasikan keahlian dan pengetahuan materialis—yang dibutuhkan untuk mendapatkan nilai material—tetapi yang juga mengajari kita tentang bagaimana memberikan empati dan simpati kepada orang lain, sehingga tak ada lagi hasrat untuk menguasai, mengubah, atau mengeksploitasi orang lain. Dalam hal ini, mungkin kita bisa belajar dari para sufi untuk menyiapkan suatu sistem pendidikan yang diawali dan berakhir dalam cinta. Kita bisa belajar untuk menciptakan satu jenis hubungan yang tulus antara guru dan murid; hubungan seperti Isa Almasih dengan murid-muridnya, hubungan antara Nabi Musa dengan Nabi Khidir atau hubungan antara Jalaluddin Rumi dengan Syamsi Tabriz.

Dunia modern adalah dunia komersial. Kita telah menetapkan harga pada hampir semua hal. Saat ini, kita mesti membayar dengan harga mahal agar seseorang mendengarkan kita. Pendidikan kita saat ini dipenuhi para guru yang pencerahannya digunakan untuk memenuhi tujuan egonya, guru yang memanipulasi orang lain, yang tidak dapat diatasinya. Akan sulit bagi kita saat ini untuk menemukan guru seperti Isa yang suatu ketika membasuh kaki murid-muridnya, atau seperti Khidir yang dengan sabar mendengarkan setiap keluhan Musa yang terus-menerus mengganggu otoritasnya sebagai syaikh.

Spesialisasi yang menjadi trend pendidikan dewasa ini telah memosisikan setiap manusia sejak usia yang sangat dini pada suatu jenis keahlian tertentu. Sejak kanak-kanak potensi fisik dan pikir seseorang telah disiapkan untuk menguasai dan siap menghadapi profesi tertentu. Misalnya, pada saat berlangsungnya Piala Dunia di Korea Selatan dan Jepang, seorang anak kecil ketika diwawancarai di sebuah televisi swasta dengan bangga mengatakan bahwa saat ini dia sedang belajar sepakbola di luar negeri sehingga kelak dia bisa menjadi pemain profesional dengan bayaran yang tinggi. Banyak contoh kasus lain di mana orang tua telah merencanakan—lengkap dengan segala tahapan yang mesti dilalui—profesi yang “mesti” dijalani seorang anak kelak. Di satu sisi, langkah semacam ini mungkin akan membentuk anak menjadi profesional yang handal di bidangnya. Tetapi di sisi lain, dunia anak-anak (atau manusia) menjadi semakin sempit. Imajinasi yang merupakan ciri khas seorang anak menjadi terbatas. Mereka hanya memiliki satu daun jendela untuk melihat keluasan dunia. Keadaan semacam ini dengan bagus digambarkan oleh Jalaluddin Rumi dalam sebuah aforismenya. Dia menceritakan bahwa ada seseorang yang sedang berjalan-jalan di sebuah taman yang indah. Kemudian terlintas suatu ide dalam pikirannya, “Bagaimana jika aku petik salah satu mawar ini? Apa yang akan dilakukan tukang kebun?” Tiba-tiba dia mendengar sebuah suara, “Mengapa mencuri satu mawar, ketika aku menawarkan seluruh taman?!” Sungguh, keindahan sebuah taman akan berkurang ketika hanya satu jenis, atau bahkan hanya ada satu tangkai bunga yang tumbuh di dalamnya.

Paradigma “siap pakai” yang digunakan dalam pendidikan telah menjauhkan dan membekukan hubungan yang terbangun antara guru dan murid. Kasus jual beli nilai antara guru dan orangtua murid, misalnya, menjadi contoh nyata tentang kerapuhan sistem pendidikan kita dewasa ini. Instanisasi dalam proses pendidikan telah menciptakan manusia setengah matang. Sekali lagi, kita bisa belajar dari para sufi. Pendidikan tasawuf tidak bertujuan untuk mencerahkan setiap orang dalam waktu sesingkat mungkin, melainkan bertahap, setapak demi setapak, dengan mengembangkan sifat-sifat kematangan, yang jika tanpanya pencerahan akan menjadi malapetaka. Pendidikan pendahuluan harus dilalui sebelum seseorang mendapatkan hak perbantuan yang akan memperbanyak kesempatan untuk mencapai pencerahan biologis.

Tetapi hal yang paling penting yang mesti diadopsi dari pendidikan para sufi adalah bahwa mereka, dalam setiap aktifitasnya, selalu mengutamakan cinta. Sekolah mereka adalah sekolah cinta, seperti yang dikatakan oleh Yunus Emre, penyair sufi Turki yang pertama dan terbesar, “Mari kita kuasai ilmu ini dan membaca kitab cinta ini. Tuhan mengajarkan: Cinta adalah sekolah-Nya.”

Cinta adalah misteri sekaligus pengetahuan. Lebih jauh lagi, cinta adalah misteri yang telah berbicara kepada kita tentang dirinya dalam bentuk wahyu-wahyu yang telah mengubah perjalanan dan kualitas manusia dan sejarah secara mendalam. Kehidupan dan ajaran Buddha, Isa, dan Muhammad telah mempengaruhi dan mengubah miliaran manusia karena kehidupan dan ajaran itu pada dasarnya adalah pelajaran cinta.

Penulis Adalah Wakil Ketua PC GP Ansor Kuningan