Pancasila dan Krisis Ke-Tauhidan

430

Oleh: Ali Ahmad Hudaya
(Kader GP Ansor Purwakarta)

72 tahun sudah Indonesia terbebas dari para penjajah baik Inggris, Belanda hingga yang terahir Jepang. Usia yang cukup matang untuk membuat gebrakan Internasional, baik dalam gagasan, konsep dan karya. Lihat Malayasia, Singapore yang kurun usia kemerdekaanya lebih muda dari Indonesia, tapi mereka sudah mampuh bersaing dengan dunia lain baik dalam ekonomi, politik dan militer.

Terlebih ketika bicara birokrasi, bobrok dan bikin muak. Pelayanan yang tidak maksimal, kinerja yang tidak sepadan dengan gaji yang diberikan rakyat dan sempitnya peluang usaha adalah isu yang tidak ada rubahnya.

Anggapan itulah yang selalu menjadi doktrin kuat untuk menyalahkan pemerintahan, sehingga ada ghirah/ semangat atau istilah baru yaitu spirit yang sampai berjilid-jilid untuk intimidasi bahkan sampai kudeta.

Padahal jika sedikit saja kewarasan rakyat untuk mau meneliti apa yang kita rasakan tadi, ini tiada lain buah hasil dari konsekuensi yang kita pilih. Juga jika mau membaca statistik, Indonesia belahan timur kini mulai mendapatkan hak yang sama, infrastruktur dan listrik diantaranya.

Perhelatan pesta demokrasi setiap lima tahun, menjadi gerbang awal ketaledoran dalam memilih. Peluang usaha, pelayanan yang prima dan meningkatnya SDM, sebenarnya itu semua, rakyatlah yang menentukan. jadi ketika apa yang kini kita rasakan, bukan semata karena salah sistem, tapi orang yang duduk diparlement. Mengapa kita mau memilih orang yang sudah tidak waras dari awal.

Kita tau, tidak semua yang duduk diparlement sama kejinya, kita faham betul itu. Tapi ketika muak sedang klimaks, kita buta akan hal itu. Semuanya dipandang sama, yang memperjuangkan hak kita dengan benar, kita salahkan. Kita kenapa ?

Buntut kekecewaan tadi berangsur sampai pada Penggantian falsafah, ideologi dan azas negara dengan khilafah, yang hari ini banyak mendapatkan dukungan. Deklarasi dimana-mana meski itupun orang-orangnya bisa terhitung jari.

Pancasila adalah final, wadah untuk merengkuh segala ras, payung untuk meneduhkan segala keyakinan dan jembatan untuk menghubungkan semua kepentingan. Ulama berperan dan mendukung sepenuhnya bahwa pancasila sudah benar.

Ulama disini digaris bawahi dengan ulama yang memperjuangkan hak-hak kemanusiaan, hak kemerdekaan yang sudah tidak lagi bicara “siap mati” dihadapan pengikutnya, tapi berada didepan menyusun strategi demi merebut kemerdekaan dari penjajahan.

Terbukti meski harus berpisah ruh dan jasad, demi anak cucu dan generasi selanjutnya agar tidak merasakan hal yang sama, mereka rela mengorbankan baik harta, tenaga, waktu dan fikiran dipertaruhkan sampai titik penghabisan. Pantang mundur sebelum penjajah lebur, pantang pulang sebelum merdeka digenggam adalah salah satu slogan perjuangan ulama dahulu yang hasilnya kini kita rasakan, yaitu kemerdekaan.

Susah payahnya ulama merumuskan pancasila setelah mengenyam merdeka agar segala visi dan misi dari keyakinan yang berbeda, ras dan kebudayaan yang tidak sama, bisa menyatu dan bersatu. Hari ini sebagian mencoba membantah itu dengan menyebut pancasila Hukum thagut.

HTI yang secara jelas dengan konsep khilafahnya mulai dilirik kalangan Nahdiyyin agar tidak berbuat semena-mena mengacak-ngacak dan mengobrak-ngabrik persatuan dan kesatuan Indonesia.

Meski NU tau, bahwa konsekuensi dari segala bentuk peredaman doktrin khilafah ini akan disebut syiah, anti Islam, bahkan kafir. Tapi bagi NU menjaga apa yang sudah susah payah diperjuangkan ulama dengan tetap menjadikan pancasila sebagai rumusan bangsa, adalah final tanpa tawar-menawar.

Banser (Barisan Ansor Serbaguna) yang diplintir Jonru dengan apalah itu, tak sedikitpun gentar dengan hujatan dari followernya dengan cacian dan makian. Karena, menjaga apa yang menjadi wasiat ulama, tak harus mengorek-ngorek dalil relevan.

Parahnya Ada anggapan baru bahwa sebagian ummat Islam hari ini mau cuci tangan dan cari aman dengan menyebut, “saya Islam, bukan NU bukan FPI apalagi HTI”. Bermodalkan ajakan dakwah dari youtube, artikel google dan media ekstrem, dengan sombongnya mengatakan saya sudah tidak lagi takdim terhadap NU, karena NU hari ini berbeda dengan NU dimasa Mbah Hasyim. Padahal mata rantai sanad keilmuan dan Duriyat ketua NU jelas.

Belakangan, Mereka menyebutnya dengan “Ummat Islam” tidak masuk ormas manapun, tidak mau taklid buta.

Istilah ini juga yang akhirnya menjadi kesimpulan, bahwa bangsa Indonesia sudah tidak memiliki tawadhu untuk bisa takdim terhadap ulamanya. Merasa lebih pintar dari ulama dengan langsung menerjemahkan Al-Quran seenaknya, mengartikan sesuai kebutuhan diri dan kepentingan golongannya. Hasilnya, mudah tertipu, karena rasa Tawadhu itu selalu sepaket dengan jiwa Kritis. Kritis hilang, tawadhu-pun luntur. Jadi wajar saja, apalagi isu agama begitu mudah ditiup untuk meraih kepentingan.

Dan ini menjadi PR besar, bagaimana bangsa Indonesia harusnya mulai memikirkan hal diluar perdebatan agama. Kita tertinggal jauh dalam teknologi, bangsa lain sudah mampuh liburan ke bulan, kita masih sibuk kafir-meng-kafirkan sesama. Bangsa lain sudah menjadi masyarakat yang berstandar High Politic, legowo menerima kekalahan. Tapi rakyat kita masih low Politik, pilres 2014, dan 2017 masih belum bisa move on. Hellow

Jadi, kembali ke tulisan awal bagaimana bangsa kita mau diperhitungkan dan bersaing dengan bangsa lain, sedangkan persepsi yang dibangun tak pernah ada gagasan yang menuju ke arah itu.

Agama, agama dan agama. Berputar putar bahasannya soal pemimpin. Ekonomi dan teknologi belum tersentuh sedikitpun.

Plered,
Kamis (04/05/2017)