Nasionalisme Jejak Ulama-Santri

347

Nasionalisme (Jejak) Ulama-Santri

Oleh: Galun Eka Gemini*

Setahun lalu tepatnya pada 22 Oktober 2015, pemerintah Republik Indonesia resmi menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional – selanjutnya disingkat HSN. Penetapan tanggal 22 Oktober menjadi HSN itu diumumkan langsung oleh Presiden Jokowi. Berita ini langsung tersebar ke seluruh wilayah di Indonesia dan disambut positif oleh sebagian besar rakyat Indonesia, terutama respon dari kaum santri di pesantren.

Peringatan itu bukan tanpa sebab. HSN adalah peringatan kepada momentum disepakatinya resolusi jihad 22 Oktober 1945 – yang pernah dicetuskan Hadlratussyaikh Hasyim Asy’ari dan para ulama NU lainnya tentang Resolusi Jihad di Surabaya. Resolusi jihad memberikan gambaran bahwa umat Islam dengan penuh keyakinan dan kemauan siap tempur membela proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Dari itu pula, resolusi jihad adalah sebuah fatwa yang menempatkan perjuangan membela Islam dan Indonesia sebagai jihad fi sabilillah. Fatwa tersebut di antaranya berbunyi: (1) hukumnya memerangi orang kafir yang merintangi kepada kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardlu ‘ain bagi tiap-tiap orang Islam; (2) hukumnya orang yang meninggal dalam peperangan melawan Belanda-Sekutu beserta komplotan-komplotannya adalah mati syahid; (3) hukumnya orang yang memecah persatuan kita sekarang ini wajib dibunuh (Bizawie, 2014: 205).

Konstalasi politik Indonesia—dalam geografi Surabaya—usai tercetusnya resolusi jihad diwarnai dengan ketegangan dan sesekali baku-tembak antara para pejuang dengan pihak Belanda-Sekutu. Ekses lanjutan peristiwa ini sampai pada peristiwa 10 November, pertempuran di Surabaya. Suatu pertempuran terbesar di permulaan revolusi kemerdekaan, hingga Pasukan Sekutu menyebut para pejuang rakyat Indonesia di Surabaya sebagai “Pasukan Neraka”.

Sebagaimana kita ketahui, sejak zaman penjajahan Belanda, perjuangan yang dimotori para ulama-santri telah timbul dan terus dilestarikan secara turun-temurun dilingkungan pesantren. Misal, muncul sederet nama yang popular dari kalangan ulama pesantren seperti Hadlratussyaikh Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, KH. Mahfudz Sidiq, KH. Mashum, KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), KH. Abdul Halim (PUI) dan sebagainya. Mereka terlibat aktif dalam perjuangan melawan pemerintah kolonial Belanda. Ini pula yang melatari munculnya Islam sebagai kekuatan pembebas dan sumber ancaman potensial bagi Belanda. Sebuah perlawanan yang bersumber dari lingkungan pesantren dengan menjadikan ajaran Islam sebagai way of live-nya dalam menata pandangan politiknya.

Dalam konteks di Jawa Barat, perlawanan untuk mengangkat senjata yang digaungkan oleh ulama-santri juga terlihat dalam perlawanan KH. Zaenal Mustafa dari Pesantren Sukamanah Tasikmalaya melawan fasisme Jepang pada 25 Februari 1944. Meski sudah banyak yang menyebutkan dan mengetahui kisah ini, tetapi tidak ada salahnya bila saya sebut kembali sebagai bahan renungan kita semua untuk menohok perjuangan yang dimotori ulama-santri di wilayah Jawa Barat. Kenapa harus perlawanan Pesantren Sukamanah? Besarnya sumbangan yang diberikan oleh KH. Zaenal Mustafa dengan perlawanan Pesantren Sukamanah terhadap perjuangan mempercepat terwujudnya Indonesia merdeka, alasan inilah yang mendasari perlawanan Pesantren Sukamanah sebagai representasi perlawanan ulama-santri di Jawa Barat.

Bahkan, kepeloporan KH. Zaenal Mustafa dalam memimpin perlawanan Pesantren Sukamanah, kerapkali digadang-gadang sebagai prolog munculnya perlawanan-perlawanan di daerah lain, seperti: perlawanan KH. Abbas Cirebon dalam melawan Jepang, perlawanan petani dan ulama-santri di Indramayu, perlawanan KH. Ruchiyat Cipasung, yang pesantrennya pernah diberondong Belanda pada revolusi kemerdekaan Indonesia, hingga perlawanan Supriyadi di Blitar. Dengan kata lain, perlawanan KH. Zaenal Mustafa dan para santrinya di Pesantren Sukamanah telah memberikan efek domino bagi wilayah-wilayah lainnya untuk melakukan hal serupa, Jawa Barat khususnya dan Indonesia pada umumnya.

Sejalan dengan itu, tidak salah bila Holk. H. Dengel (2011) menyebut kaum ulama-santri sebagai salah satu katalisator munculnya nasionalisme dan tegaknya NKRI. Sayang, dalam historiografi Indonesia belum banyak kajian komprehensif yang mengisahkan perjuangan para ulama-santri dalam merebut dan menegakkan kemerdekaan Indonesia. Kisah perjuangan ulama-santri yang telah mereka torehkan terhenti dan hanya tersebar secara lisan dari generasi ke generasi. Artinya, ada kecenderungan peran ulama-santri terpinggirkan dalam panggung sejarah Indonesia.

Itu pula salah satu pemicu Zainul Milal Bizawie melakukan penelitian mengenai kiprah sentral ulama-santri dalam menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Hasil penelitian itu kemudian ia dokumentasikan ke dalam bentuk buku dengan judul Laskar Ulama – Santri dan Resolusi Jihad: Garda Depan Menegakkan Indonesia (1945-1949).

Dalam buku tersebut terbagi ke dalam enam bagian yang sangat penting untuk diketahui publik. Pertama, pemaparan tentang konsep-konsep yang diterapkan dalam penelitian ini. Tujuannya, memandu para pembaca dalam memahami kajian ini; kedua, dipaparkan sekilas secara kronologis plot cerita kiprah ulama-santri masa pra-revolusi kemerdekaan sejak kedatangan bangsa-bangsa kolonial; ketiga, dipaparkan lebih jauh pergerakan ulama-santri melawan kolonial yang bermuara pada terbentuknya Lasykar Hizbullah; bagian keempat, dikupas secara mendetail bagaimana jihad para ulama-santri dilaksanakan setelah tercetusnya resolusi jihad; bagian kelima, mengupas berbagai pertempuran guna menegakkan dan mempertahnakan kemerdekaan Indonesia. Bahkan, eskalasinya lebih rumit lagi lantaran diiringi dengan berbagai strategi diplomasi; Keenam, adalah mengisahkan tentang ulama, pesantren, dan bambu runcing. Banyak kisah-kisah heroik yang hingga saat ini diceritakan di kalangan santri.

Menariknya, Zainul menyertakan kisah tentang karomah dan kehebatan para kyai serta “kesaktian” bambu runcing yang telah mendapatkan do’a dari para kyai. Kisah-kisah irasional tapi telah berubah menjadi realitas sejarah. Kisah-kisah tersebut telah menjadi mistifikasi perjuangan yang membangkitkan para pejuang untuk tidak pantang mundur. Ulama-santri dan pesantren menjadi simbol perlawanan, juga peran pesantren sebagai basis-basis perlawanan terhadap kolonial (Bizawie, 2014: xx).

Bahasan dalam buku setebal 420 halaman ini terasa cukup kredibel dan komprehensif. Sebab, secara teknis, penelitian ini bukan hanya menggunakan studi literatur, tetapi juga diperkuat oleh sumber primer (primary sources) berupa; arsip, juga informasi yang diperoleh dari beberapa pelaku sejarah (oral history) yang masih hidup sebagai narasumbernya.

Buku ini tepat dibaca oleh khalayak masyarakat Indonesia terutama generasi muda Indonesia dan umat Islam (kalangan pesantren) itu sendiri. Bagi generasi muda, sudah selayaknya kaum muda menjadikan buku ini sebagai referensi dalam membangun politik kebangsaan kerakyatan sebagai wujud tanggung jawab memperkokoh NKRI.

Bagi umat Islam, kehadiran buku ini menjadi ‘pupuk’ untuk membangkitkan semangat juang umat Islam khususnya para santri untuk membangun negeri ini ke arah yang lebih baik. Sebagaimana yang dinishbatkan dalam hadis nabi : Hubul wathan minal iman, berarti cinta kepada tanah air adalah sebagian dari iman.
*) Penulis adalah Ketua PAC GP ANSOR Kec/Kab Majalengka, Dosen Pend. Sejarah STKIP Padhaku Indramayu, tinggal di Majalengka