Nahdlatul Ulama di Pilgub Jawa Barat 2018

555

Oleh ; Kurnia P. Kusumah

Menurunkan tulisan terkait Pilgub Jabar 2018, saya agak risih disebabkan pertama, semua calon yang diangkat Lembaga Survey besutan M. Qodari menyebut nama-nama; Ridwan Kamil, Dedy Mizwar, Dedy Mulyadi, dan beberapa yang lain satupun tidak menyebut kader NU. Indo Barometer tidak mengangkat calon yang beredar di NU, seperti Ella Giri Komala, Aceng Fikri, Deddy Wahidi, Syaiful Huda. Istilah “kader “untuk membedakan dengan orang NU. Kader adalah mereka yang pernah “berkeringat” di NU.

Kedua, pengurus wilayah NU terkesan gagap menerima para pelamar. Calon yang sudah merapat seperti walikota Bandung Ridwan Kamil (Emil) dan Gubernur Ahmad Heryawan (Aher)belum diapresiasi secara “formal”. Mungkin calon lain akan datang lagi. Pada waktunya memilih satu, tidak elok kesana-kesini oke. Saya lihat NU sekarang dilirik banyak calon, bukan untuk diminta orangnya, tapi untuk diambil suaranya.

Ketiga, Pilkada Jabar adalah Pilkada strategis setelah Pilkada DKI yang panas. Saya kira konfigurasi politik DKI akan berimbas langsung kepada Pilkada Jabar. Akan terjadi formasi “copy-paste”partai-partai, dan isu-isu yang mengikutinya. Sekarang sudah mulai terasa. Semoga tidak ada aksi tolak shalat jenazah di Jawa Barat. Jika ada, kawasan Lembang yang dingin akan terasa gerah.

Saya tidak akan meramal siapa yang bakal menang. Hasil pooling lembaga survey sudah membuat rangking sedemikian rupa, Ridwan Kamil teratas 30%, Dedy Mizwar 24%, calon lain tidak lebih17%. Kita bisa mengira-ngira dari hitungan ilmiah mereka; meski bisa saja meleset. Tapi biasanya hasil pooling sekelas Kompas, Indo Barometer, LSI tidak akan jauh beda dengan kenyataan.

Saya hanya ingin kader NU jadi gubernur atau wakil seperti Nu’man Abdul Hakim dulu; bukan hanya tampil jadi calon, tapi “jadi”. Sekarang, jadi calonpun tidak. Ada apa gerangan? Saya kira kita perlu introspelsi. Mungkin kader-kader NU saya sebut diatas lebih besar kemaluannya daripada keberaniannya. Ada bisikan, mereka tidak punya uang buat tampil. Loh, waktu dulu jadi anggota DPD atau DPR kan tidak punya uang juga seperti sekarang? Menurut saya masalahnya bukan uang, tapi keyakinan.

Saya lebih memilih sikap bertaruh. Saya ingin memberi sugesti, bahwa NU jangan dibawa murahan. Kader NU sebaiknya berkawan atau lawan secara tegas. Jangan pura-pura berkawan padahal lawan. Supaya lebih dihitung, calon-calon NU sebaiknya terus berusaha dengan cerdas penuh integritas.

Saya percaya bahwa politik adalah seni berpersepsi. Persepsi adalah imajinasi. Permainan ini hanya bisa dilakukan oleh pemimpin yang punya kecerdasan imajinatif. Apa maksudnya? Seorang diplomat ulung mampu menciptakan imajinasi yang bagus. Dia bisa memberi kesan dirinya seolah “singa” padahal kucing. Sementara si lawan merasa jadi “kucing” dihadapannya (Konfucius).

Sementara itu, nama-nama calon terlanjur beredar, saya menangkap hanya dua orang yang layak dihitung; Ridwan Kamil dan orang pilihan Ahmad Heryawan. (Aher tidak bisa nyalon yang ketiga kali).

Pilkada Jabar akan seperti DKI, yaitu terpecah atas dua kubu; Nasionalis-Islam moderat adalah mereka yang mendukung Ahok-Djarot; yang membawa panji-panji NKRI, kebinekaan, dan toleransi beragama. Kubu lawannya, Sosialis-Islam konservatif yang mendukung Anis; membawa isu-isu Al Quran, anti Cina, dan anti PKI.

1. Ridwan Kamil akang diusung Nasionalis-Islam moderat; PDIP, Nasdem, Hanura, PPP dan PKB. Golkar? Ketua Golkar Dedy Mulyadi tidak mau jadi pecundang. Dedi tengah mencermati dinamika pusat. Jika Luhut B. Panjaitan minta ke Megawati kombinasi PDIP-Golkar, saya kira Dedy Mulyadi siap menjadi calon wakilnya.

Jika Megawati emoh, Ibu nomor satu partai merah itu akan pasang kader tulen; Rieke D. Pitaloka atau TB. Hasanuddin? Emil diusung jadi calon nomor satu, tapi Emil tidak bisa menentukan sendiri pasangannya. Megawati tidak mau menyerahkan “kunci mobil, STNK, sekaligus BPKB” partai kepada kader dadakan seperti Ridwan Kamil. Dalam pikiran imajiner;” siapa elo? enak aja gretongan”.

Kita akan lihat nanti apa jadinya.

2. Ahmad Heryawan akan menampilkan isterinya Netty berpasangan dengan Dedy Mizwar. Kombinasi Sosialis-Islam konservatif akan berada di belakang pasangan ini; Gerindra, PKS, PAN. Saya gunakan istilah sosialis kepada Gerindra, karena ayah ketua Gerindra Prabowo Subianto adalah tokoh PSI Soemitro Joyohadikusumo. Lagipula, orang-orang yang berasosiasi dengan PSI dulu banyak bergabung di partai ini.

Sementara itu saya kira PKS tetap akan membawa isu-isu Islam demi kemenangan jagonya. PKS akan mencari kelemahan Ridwan Kamil yang mencla-mencle. Dulu Ridwan Kamil diusung PKS sampai jadi walikota, sekarang mau nyagub, pindah ke partai seterunya, PDIP, Dimata PKS, walikota Bandung ini seperti Ahok, pindah-pindah partai baginya hal yang ringan.

Pernyataan Ridwan Kamil yang cukup menohok ketika pidato dalam acara PWNU Jabar di Masjid Agung, Alun-alun, Bandung 17/03/17; “Saya ini keturunan pesantren Pagelaran Subang. Dalam tubuh saya mengalir darah NU, Ibu saya HMI, bapa saya HMI”. Esoknya jelang dua hari 19/03/17 Ridwan Kamil ke Jakarta berpakaian rapih, berkopiah, berbaju merah betemu ketua PDIP Megawati, disambut dengan senyum penuh arti. Selang satu hari, Ridwan Kamilpun bertemu ketua PBNU, KH. Said Aqil Siradj di kantor PBNU. Kenapa tidak menemui Rois Aam, KH. Ma’ruf Amin yang lebih tinggi kedudukannya?

Peristiwa ini terekam kamera tersebar hampir diseluruh media, termasuk share di grup WA kita ini.

Inilah yang menjadi catatan penting bagi PKS, Ridwan Kamil adalah musuh yang nyata menyongsong pilkada jabar.

Bagaimana dengan Partai Demokrat? Saya kira SBY tidak mengekor seperti di DKI. Partai Demokrat lebih ingin mengangkat “citra”nya yang sedang terpuruk. Mungkin saja SBY akan bikin ulah lagi di Jawa Barat. Tapi, kali ini SBY akan kehilangan isu yang bisa dimainkan.

Menarik dicermati, meski Emil rangking teratas dalam survey, tapi Jawa Barat adalah lumbung suara Prabowo Subianto. Dalam Pilpres 2015, suara Jokowi kalah dari Prabowo. Bisa saja afiliasi suara Prabowo tumplek ke calon gubernur besutan Ahmad Heryawan.

Wallohualam Bi Sowwab.

Penulis adalah Pengamat Politik, Koordinator Forum Komunikasi Generasi Muda Nahdlatul Ulama (FKGMNU) Jawa Barat, Mahasiswa Pascasarjana Unpad