MERAWAT AMANAH KEMERDEKAAN

243

MERAWAT AMANAH KEMERDEKAAN

OLEH : DENI AHMAD HAIDAR

Merdeka atau mati ! Semboyan suci yang dulu bergema membangkitkan semangat juang, meneguhkan bahwa kemerdekaan adalah harga mati, bahkan jikapun ongkosnya harus dibayar dengan nyawa. Apapun resikonya, berapapun harganya akan dibayar sebab tak ada yang lebih berarti selain dari kemerdekaan. Tanpa kecuali, para pendahulu kita merelakan diri berkorban. Ikhtiarnya didedikasikan bukan untuk dirinya, bukan pula keluarga dan golonganya.

Regangan nyawa dipersembahkan demi tanah tumpah darah. Langkah perjuangan didasari atas keyakinan bahwa perjuanganya akan mendapatkan Ridla dari Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Tidaklah mungkin seseorang akan seberani itu jika menganggap bahwa berjuang membela Negara hanya melulu soal duniawi. Pada titik itu, ada dorongan tauhid yang diyakini.

Disanalah ahlussunnahwaljamaah (selanjutnya :aswaja) bersemayam, bahwa jika pun harus mati membela Negara maka syahidlah hukumnya. Hidup mulia atau mati syahid adalah kalimat maha dahsyat, api perjuangan yang membakar cita-cita kolektif bangsa ini untuk merdeka. Sebab tak ada kemuliaan dalam penjajahan. Jikapun harus meregang nyawa karena memperjuangkanya adalah syahid.

Hidup dalam terjajah (terusir dari tanah air) adalah satu-satunya alasan boleh menggunakan kekerasan. Demikian aswaja menguhkan posisinya sebagai api dari semangat para pendiri negeri ini. Sebab kemerdekaan akan menjamin tegaknya al ushul al khams sebagaimana Islam diturunkan melalui Kanjeng Nabi SAW. Yang masih percaya bahwa membela Negara tak ada dasarnya sama saja dengan menyatakan para pejuang gugur demi kesia-siaan, satu pendapat yang tak bias diterima dan sangat menghina serta melecehkan jasa serta kapasitas para pejuang.

Dari sabang sampai merauke, anak-anak bangsa mengangkat senjata dalam perjuangan panjang merebut dan merebut kemerdekaan, harga terbesar pun sudah dibayar oleh para pejuang yang bahkan lebih banyak nama yang tidak kita ketahui. Mereka tak kita ketahui tapi jasanya nyata dan terasa. (mari bersama bacakan al fatihah untuk mereka). Kemerdekaan bukanlah warisan tapi adalah amanat yang harus kita rawat, dan serahkan pada generasi selanjutnya.

Maka jadilah seperti para pejuang yang menjadikan kata-kata sebagai pengobar semangat juang, bukan sekedar kata penghias dan pemanis citra. Bahkan tanpa katapun mereka berjuang tanpa harus repot bersolek mencari simpati dan empati, hanya berjuang dengan satu tujuan: MERDEKA!!!

Dalam ruang dan waktu yang berbeda kita memiliki tanggungjawab yang sama untuk berjuang dan membuat Indonesia ini lebih merdeka dan berdaulat. Jika para pejuang dengan segala keterbatasan mampu mendirikan dan memperthankan Negara ini, tentu kita dituntut untuk berbuat yang sama bahkan dalam kondisi yang serba terbuka, bebas dan lapang tentu semestinya kita bias berbuat lebih banyak namun sialnya ternyata jauh panggang dari api.

Generasi pejuang adalah generasi yang menempatkan kata-kata dibelakang sebagai api pembakar semangat dan menjadikan khidmah kerja perjuangan sebagai laku utama. Sementara generasi masa kini, lebih membuat kata-kata sebagai pemanis bibir, pemuas citra, menempatkan kata-kata didepan dan mebiarkan diri mabuk semantik dan diksi. Kata-kata hampa makna karena alpa dari kerja nyata. Jika para pejuang menempatkan kata dan ayat sebagai dasar untuk menentang bahaya, maka kita sedianya lebih banyak berkutat dengan tinjauan-tinjauan tafsir dan perdebatan sudut pandang.

Tentu tidak semua generasi masa kini tidak dapat digeneralisasi demikian Para pejuang tidak menggantungkan nasib kemerdekaan ini pada siapapun, mereka memikul semua tanggungjawabnya sendiri atas nama cita-cita terbebas dari penjajahan, bahkan kalaupun harus gugur di medan perang, menerima nyata papenyesalan. Sebab itulah sebuah harga yang harus ditebus untuk mencapai cita-cita. Hari ini menginjak usia 71 tahun kemerdekaan, tentu ikhtiar untuk mengisi dan mempertahankan kemerdekaan itu tidak lah mudah dan tidak mungkin diserahkan pada yang lain. Mengisi kemerdekaan tentu harus memiliki kecakapan yang mumpuni untuk mengelola dan memperbaiki kondisi bangsa dan Negara ini. Sebab kata-kata saja tidaklah cukup.

Sebagaimana dikatakan Si Burung Merak, W.S. Rendra ; Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Kata dan ayat-ayat seharusnya menjadi pemacu kita untuk bekerja lebih giat, berjuang lebih hebat, sebab Indonesia harus tetap ada dan jaya hingga hari kiamat. Kalimat ‘kita adalah pemilik sah negeri ini’ tentu memiliki implikasi yang tidak kecil, kalimat itu memiliki makna tanggung jawab yang sangat besar. Pemilik yang bijak akan berusaha menjadi pemilik yang benar-benar hakiki dan akan mempersiapkan diri untuk mengurus miliknya dengan baik.

Dititik inilah rasanya kalimat-kalimat telah meninggalkan kita di belakang, kita sibuk membaca dan meneriakkan kalimat-kalimat tersebut tanpa memiliki kesadaran sepenuhnya bahwa kalimat kita itu adalah kita. Ya,kita itu bukan orang lain. Kita adalah setiap individu yang sama-sama sadar dan sama berjuang mengejawantahkan kesadaran itu menjadi kenyataan. Tanpa Indonesia kita bukanlah siapa-siapa, tapi membiarkan Indonesia hanya dipenuhi kata dan kalimat sebatas jargon jugasia-sia. Kitalah pemilik sah neger iini, maka kitalah yang bertanggung jawab untuk memelihara, menjaga dan menmbuatnya tetap jaya. Semoga kita tidak jadi generasi yang (baru bisa berteriak) meminta posisi dan setelah itu mati, tanpa pernah memiliki posisi.

Relevan dalam memaknai perjuangan kemerdekaan, di akhir catatan ini, saya ingin menukil puisi milik Si Buruk Merak : Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh Hidup adalah untuk mengolah hidup bekerja membalik tanah memasuki rahasia langit dan sadra, serta mencipta dan mengukir dunia. Kita menyandang tugas, kerna tugas adalah tugas. Bukannya demi sorga atau neraka. Tetapi demi kehormatan seorang manusia.

Dirgahayu Indonesia-ku. Wallahhu ‘alam…