Menjadikan Aswaja Sebagai Metode Berfikir

1305

Oleh : Setiawan Maulani Al-Farisi *)

Dalam NU, aswaja berperan sebagai pengikat utama gerakan dan cara berfikir dalam segala hal. Singkatnya aswaja telah bertransform dari yang asalnya sebagai madzhabi menjadi manhaji. Ahlussunnah  waljamaah sebagai metode berfikir, memiliki prinsip-prinsip yang bisa menjadi identitas pembeda dari kelompok lain. Prinsip-prinsip tersebut tertuang dalam bidang akidah, social-politik, akhlak, dan budaya. Sejatinya konsep mula dari aswaja itu sendiri selalu membicarakan aspek aqidah (dalam NU kita mengikuti Asy’ariyah-Mathuridliyah), aspek piqh (mengikuti salah satu imam 4 madzhab), dan dalam aspek tasawwuf (mengikuti Al-ghozali-Albaghdady).

Namun bagaimana ketika aswaja itu kita jadikan sebagai metode (cara) berfikir dalam menyikapi segala aspek kehidupan yang ada selama ini? Jawabannya kita merujuk pada apa yag telah dirumuskan oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ary dalam Qanun Asasi Nahdlatul ‘Ulama. Dalam perspektif pendekatan aswaja sebagai metode (manhaj) bisa dilakukan dengan cara bagaimana melihat aswaja dalam setting social-politik dan kultural saat doktrin tersebut lahir dan dirumuskan. Sebagai contoh, dalam konteks piqh misalnya, yang harus dijadikan bahan pertimbangan bukanlah produknya melainkan bagaimana kondisi social-politik dan budaya ketika imam hanafi/maliki/syafi’I atau hanbali melahirkan pemikiran piqhnya. Pun dalam konteks teologi dan tasawwuf pun demikian.

Berangkat dari pola pendekatan pemahaman aswaja perspektif manhaj alfikr yang paling penting dalam aswaja adalah menangkap makna dari latar belakang yang mendasari tingkah laku dalam ber-islam, bernegara, dan bermasyarakat. Dalam menyikapi inilah maka KH. Ahmad Sidiq (almaghfulah) merumuskan karakter aswaja sebagai metode berfikir (manhaj alfikr), yakni ; tawasuth, tawazun, ta,adlul, dan tasamuh.

Tawasuth yang berarti moderat ialah sikap tengah atau moderat yang tidak cenderung ke kanan atau ke kiri. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, pemikiran moderat ini sangat urgen menjadi semangat dalam mengakomodir beragam kepentingan dan perselisihan, lalu berikhtiar mencari solusi yang paling ashlah. Sikap tawasuth (moderat) ini sesuai dengan Q.S. Al-Baqarah: 143.

Tawazun yang berarti berimbang ialah sikap berimbang dan harmonis dalam mengintegrasikan dan menyinergikan dalil-dalil (pijakan hukum) atau pertimbangan-pertimbangan untuk mencetuskan sebuah keputusan dan kebijakan. Dalam konteks pemikiran dan amaliah keagamaan, prinsip tawazun menghindari sikap ekstrem (tatharruf) yang serba kanan sehingga melahirkan fundamentalisme, dan menghindari sikap ekstrem yang serba kiri yang melahirkan liberalism dalam pengamalan ajaran agama. Sikap tawazun ini sesuai dengan Q.S. Al-Hadid: 25.

Ta’adlul yang berarti adil ialah sikap adil dan netral dalam melihat, menimbang, menyikapi, dan menyelesaikan segala permasalahan. Adil tidak selamanya berarti sama atau setara (tamatsul). Adil adalah sikap proporsional berdasarkan hak dan kewajibannya masing-masing. Kalaupun keadlian menuntut adanya kesamaan atau kesetaraan, hal itu berlaku ketika realitas individu benar-benar sama dan setara secara persis dalam segala sifat-sifatnya. Apabila dalam realitasnya terjadi tafadlul (keunggulan), maka keadlian menuntut perbedaan dan pengutamaan (tafdlil). Penyetaraan antara dua hal yang jelas tafadlul, adalah tindakan aniaya yang bertentangan dengan asas keadlian itu sendiri. Sikap Ta’adlul ini sesuai dengan Q.S. Al-Ma’idah: 8.

Tasamuh yang berarti toleran ialah sikap toleran yang ersedia menghargai terhadap segala kenyataan perbedaan dan keanekaragaman, baik itu dalam pemikiran, keyakinan, social-kemasyarakatan, suku, bangsa, agama, tradisi-budaya dan lain sebagainya. Toleransi dalam konteks agama dan keyakinan bukan berarti kompromi akidah. Bukan berarti mengakui kebenaran keyakinan dan kepercayaan orang lain. Toleransi agama juga bukan berarti mengakui kesesatan dan kebatilan sebagai sesuatu yang hak dan benar. Yang salah dan sesat tetap harus diyakisi sebgai kesalahan dan kesesatan. Dan yang haq dan benar tetap harus diyakini sebagai kebenaran yang haq. Berkaitan dengan toleransi beragama, nampaknya kita harus merujuk sesuai dengan Q.S. Al-Kafirun: 6 dan Q.S. Ali-Imran: 85. Begitupun dengan toleransi dalam konteks tradisi-budaya bangsa, bersikap permisif yang bersedia menghargai tradisi dan budaya yang telah menjadi nilai normative masyarakat. Dalam pandangan aswaja, tradisi-budaya yang secara substansial tidak bertentangan dengan syari’at, maka islam akan menerimanya bahkan mengakulturasikannya dengan nilai-nilai kesilaman seperti yang dilakukan dan dicontohkan oleh para pendahulu kita Wali Songo.

Dengan demikian, tasamuh (toleransi) berarti sebuah sikap untuk menciptakan keharmonisan kehidupan sebagai sesame umat manusia. Sebuah sikap untuk membangun kerukunan antar sesame makhluk Allah di muka bumi, dan untuk menciptakan peradaban manusia yang madani. Dari sikap tasamuh inilah kemudian aswaja menciptakan konsep ukhuwah (persaudaraan) yang meliputi ukhuwah islamiyah (persaudaraan keislaman), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan) dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan kemanusiaan). Ukhuwah yang bercita-cita menciptakan keharmonisan kehidupan di muka bumi ini. Sesuai dengan yang tercantum dalam Q.S. Al-Hujurat: 13 dan Q.S. Al-Baqarah: 30.

*Demisioner PMII Kabupaten Bandung