Menjadi Manusia Unggul

554

Oleh : Deni Ahmad Haidar*

Kangjeng Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya aku diutus semata-mata untuk menyempurnakan akhlak”. Pada hadist yang lain, beliau bersabda:  “bahwa sebaik-baiknya manusia itu yang paling bermanfaat bagi manusia lainya”. Sementara tujuan syariat agama diturunkan ke muka bumi adalah untuk tercapainya masalahat bagi manusia (almashlahatu al-‘ammah).

Beliau yang agung memberi teladan paripurna dalam mengajari ummatnya dengan mengedepankan akhlak yang baik (uswah hasanah). Hingga orang-orang yang menentang, menghina, dan yang melakukan upaya-upaya pembunuhan sekalipun tetap diperlakukan secara manusiawi. Kaum Quraisy menyatakan keimanannya kepadanya karena terpukau dengan model akhlak personal dan akhlak sosial yang beliau lakukan. Tak ada paksaan juga terror dalam tabligh yang disampaikan.

Teladan Rasululloh ini jejaknya diikuti oleh para muassis dan masyaikh jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU). Para ulama menerjemahkan sabda Kanjeng Nabi SAW tersebut dengan kaidah-kaidah yang direlevansikan dengan ruang dan waktu. Salah satunya sebagaimana masyhur kita ketahui adalah ungkapan Almuhafadhotu ‘ala qodimi al-Sholih, Wal Akhdzu bi al-Jadidil Islah. Mempertahankan nilai lama yang baik dan mencari nilai-nilai baru yang jauh lebih baik. Ungkapan yang cukup dahsyat dan memiliki makna dinamis.

Selaras dengan pesan utama kaidah tadi, kita selaku kader Nahdliyin dituntut untuk terus menerjemahkan aswaja an nahdliyah dalam formasi ruang waktu yang dinamis, ada titah untuk terus menerus berdialog dengan realitas yang hadir  dan selalu mencari solusi-solusi semua persoalan yang muncul.

Sumber hukum yang jadi acuan dalam setiap istinbath al ahkam- setelah Quran dan Hadist- disepakati adanya ijma dan qiyas. Ini menyatakan bahwa produk hukum selalu berada dalam ruang dan waktu. Dinamika ruang dan waktu memungkinkan adanya perubahan-perubahan hukum. Ijma’ dan qiyas juga tidaklah hadir dari ruang hampa sejarah dan ruang tafsir sujektif. Tapi juga memiliki landasan dilalah yang bersandar pada al Qur’an dan al Hadits. Yang abadi adalah prinsip-prinsip hukumnya bukan pada tekhnis penerapanya. Sebuah metode yang benar-benar akademis dan modern.

Menjadi manusia NU adalah menjadi manusia yang selalu bermanfaat disegala ruang dan waktu, senantiasa bermanfat bagi manusia lain dan selalu manjadi solusi atas persoalan-persoalan kemanusiaan yang muncul. Sebab itulah inti dari risalah ajaran Islam sebagaimana dibawa oleh Kangjeng Nabi SAW.

Menjadi manusia yang selalu bermanfaat dan menjadi solusi adalah menjadi manusia yang memiliki pengetahuan yang luas dalam merefleksikan sejarah masa lalu dan memiliki pandangan-pandangan yang jauh kedepan. Menjadi manusia NU adalah menjadi manusia yang tidak ketinggalan zaman dan tidak pula meninggalkan jejak zaman. Manusia yang manusiawi ialah yang menyadari bahwa dia menempati ruang dan melalui waktu, disanalah eksistensinya berada dan harus bermakna.

Pilihan bermadzhab – tauhid, fiqh dan tasawwuf – merupakan sebuah kesadaran akan kewajiban berikhtiar untuk menyempurnakan akhlak. Memilih salah satu dari pilihan-pilihan yang ada adalah sebuah keniscayaan. Keputusan untuk tidak memilih salah satu bisa jadi menjadi sebuah upaya memutus mata rantai sanad agama, dan tentu saja itu akan makin menjauhkan nilai-nilai agama dari keterjagaan nilai dan mendekatan pada tafsir yang seweang-wenang bahkan bisa menyimpang.

Para ulama terdahulu adalah para ulama yang jarak hidupnya sangat dekat dengan masa hidup Kanjeng Nabi. Karenanya, mereka lebih dekat dengan sumber kebenaran. Mengandaikan pendapat yang lebih kekinian dalam bidang agama dianggap sebagai pendapat yang lebih otoritatif tentu berat untuk bisa diterima oleh nalar. Karena agama tentu berbeda dengan science.

Menjadi manusia NU yang mampu menjaga nilai lama yang baik adalah manusia yang faham dan sadar akan asal usulnya, menghargai garis genealogis, biologis dan ideologisnya. Manusia yang sadar bahwa sebelum dirinya ada generasi masa lalu. Manusia yang sadar bahwa keyakinan dan pegetahuannya dijembatani genaerasi sebelumnya. Dengan perangkat akalnya, manusia yang mampu memilih dan memilah yang baik untuk diteruskan, pun demikian manusia yang mampu meneruskan dialog keyakinan dan keilmuanya untuk selalu mencari formulasi baru yang lebih baik. Tidak semua nilai lama itu baik dan patut dipertahankan dan tidak semua yang baru juga lebih baik dan layak diterapkan dan diperjungkan. Baik atau buruknya nilai tersebut selalu diukur berdasarkan sabda Kangjeng Nabi SAW., yakni nilai kemanfaatan untuk manusia dan kemanusiaan.

Menjadi manusia yang hanya terjebak di masa lalu adalah manusia tunggul, dan yang melulu mencari yang baru adalah manusia tanggal. Manusia unggul adalah manusia NU yang menerapkan prinsip ber-mukhafadzah ‘ala al qadim as shalih dan selalu akhdzu bi al jadid al ashlah. Manusia yang menyejarah. Wallahu ‘alam.

*Ketua Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Jawa Barat