Menakar FDS Sebagai Fenomena Baru Permasalahan Pendidikan

113

OLEH : Ayi Sopwanul Umam
SEKERTARIS PKC PMII JABAR
Persoalan pendidikan kini semakin komplek. Fenomena kapitalisasi pendidikan membuat sistem pendidikan saat ini sudah tercerabut dari akar tradisinya. Hal ini merupakan suatu hal yang sangatmemprihatinkan bangsa ini dan harus di sikapi secara serius oleh berbagai elemen, OKP, ORMAS dan para aktifis pendidikan karena pendidikan merupakan landasan vital sebagai pembentuk karakter bangsa.

Dalam aplikasinya dibutuhkan manusia yang sadar akan haknya sebagai jiwa terdidik dengan moral serta perannya dalam kehidupan yang beradab. Hal tersebut yang kemudian mendorong terbentuknya elemen pendidikan secara formal oleh pemerintah. Namun, seperti apa karakter didik yang terbentuk, bila pendidikan sebagai tujuan mulia sudah diwarnai oleh kepentingan. Pendidikan sudah tidak lagi berbicara tentang pendidikan akan tetapi lebih cendrung menjadi lahan bisnis, komersialisasi dan menjadi alat pencetak uang.

Bagi bangsa yang ingin maju, pendidikan merupakan sebuah kebutuhan. Sama halnya dengan kebutuhan papan, sandang, dan pangan. Bahkan dalam institusi yang terkecil seperti keluarga, pendidikan merupakan kebutuhan utama.

Pendidikan banyak dipahami sebagai wahana untuk menyalurkan ilmu pengetahuan, alat pembentukan watak, alat pelatihan ketrampilan, alat mengasah otak, serta media untuk meningkatkan ketrampilan kerja. Namun banyak praktisi dan pemikir pendidikan yang menempatkan pendidikan justru sebagai wahana untuk menciptakan keadilan sosial, wahana untuk memanusiakan manusia, serta wahana untuk pembebasan manusia. Hal ini seiring dengan apa yang di Fatwakan oleh PAULO FREIRE:
“Pendidikan memiliki kekuatan politis dan ideologis dalam mengusung agendaperubahan sosial.Maka tak bisa dipungkiri bahwa institusi pendidikan selalu dijadikan medan dalam melanggengkan kekuasaan. Menjadi sebuah keniscayaan bahwa pendidikan mulai kehilangan fungsinya sebagai medan transformasi sosial dan mendidik masyarakat. Belum lagi penomena Mahalnya biaya pendidikan juga sering dikaitkan dengan ketidakmampuan pemerintah menyediakan sumber dana pendidikan. Padahal berdasarkan UU Sisdiknas No.20/2003 mengharuskan pemerintah mengalokasikan dana pendidikan 20% APBN.

Namun sejauh ini, penyediaan dana tidak pernah mencapai 10%. Dana alokasi pendidikan 20% APBN itu masih terlalu kecil dibandingkan dana yang digunakan untuk membayar utang luar negeri yang berkisar 35-40 %/tahun APBN. Kemudian, alokasi dana pendidikan yang langsung menyentuh publik juga semakin sedikit karena harus melalui pemotongan-pemotongan administrasi dan praktek korupsi. Indonesia butuh perubahan!

Semakin parah lagi, baru – baru ini pemerintah mengeluarkanKebijakan Full Day School melalui permendikbud no 23 tahun 2017 yang di gagas oleh menteri pendidikan Muhajir Efendy. Kebijakan ini dinilai merugikan sejumlah kalangan terutama para praktisi pendidikan madrasah dan pondok yang sudah mengakar di akar rumput terutama di wilayah pedesaan terpaksa harus gulung tikar ataupun mengurangi jam pelajarannya.
Belum lagi kerugian tersebut harus ditanggung oleh siswa yang masih duduk di bangku sekolah dasar atau menengah karena waktu untuk ngaji di madrasah ataupun di pondok pesanteran hilang gara – gara disita oleh produk kebijakan tersebut.
Tanpa menampik, penulis pun meyakini pak Mendikbud memiliki niatan baik ingin membangun konsep pendidikan baru guna inovasi dunia pendidikan yang sedang carut – marut karena dihantui permasalahan yang semakin komplek, terutama pergaulan bebas dikalangan remaja menyangkut seks beresiko, narkotika, tawuran ataupun kenakalan lainnya sehingga pendidikan yang dihasilkan tidak mampu lagi menciptakan generasi bangsa yang beraklaqul karimah.

Melalui gagasan FDS lah Muhajir berharap dunia pendidikan mengarah pada perubahan yang semakin baik.
Penulis menilai kebijakan menteri pendidikan Muhajir Efendi melupakan hal – hal lain dibalik semua itu. Padahal Selama ini madrasah dan pondok pesantren tidak diragukan lagi mampu membentuk pendidikan karakter yang cukup berhasil.

Contoh produk yang dikeluarkan oleh pondok pesantren ialah guru kita KH.Ahmad Dahlan ataupun KH Hasyim Asyari.

Selain itu penulis menilai, FDS akan menjadi gudang mitos karena anak didik belajar hanya dengan teori – teori buku tanpa diberikan ruang untuk berefleksi dilingkungan masyarakat yang kemudian akan menghasilkan kegagapan dalam merespon setiap perubahan yang terjadi dimasyarakat. saja senada dikatakan oleh ivan Illich “Sistem sekolah saat ini menjalankan tiga fungsi umum, yakni menjadi gudang mitos masyarakat,pelembagaan kontradiksi dalam mitos, dan lokus ritual yang mereproduksi serta melindungi perbedaan antara mitos dan realitas”

Jika kebijakan tersebut terus dijalankan kiranya 27.230 Pondok Pesantren akan kehilangan waktu untuk mentransformasi nilai – nilai agama kepada santrinya 68.471 madrasah diniah akan gulung tikar karena penyelenggaran madrasah diniah dilaksanakan sepulang siswa dari sekolah jumlah tersebut berdasarkan kutipan dari data statistik yang dikelola oleh kementerian agama pada 2011 – 2012 mungkin hingga 2017 ini pertumbuhan pondok pesantren dan madrasah diniah sudah bertambah lagi seiring adanya instrumen hukum yang dibuat oleh badan legislasi ditingkat daerah seperti di Kabupaten Cianjur adanya peraturan daerah tentang pendidikan madrasah diniah no 3 tahun 2014.
Oleh karenanya, menteri pendidikan mengurungkan niat untuk menjalankan gagasan full day school karena beberapa daerah sebetulnya sudah menjalankannya dimadrasah – madrasah, surau – surau ataupun pondok – pondok. terimakasih