Jihad Banser Jaga Posko

225

Kata jihad cukup terkenal di Negara-Negara Islam temasuk di Indonesia, bahkan tidaklah salah jika kita mengatakan bahwa jihad adalah salah satu prinsip dasar ajaran Islam. Namun sayangnya, kata Jihad ini sering kali direduksi esensi maknanya atau digunakan bukan pada tempatnya.

Kata jihad sendiri di ambil dari Bahasa Arab: jahd, yang memiliki arti kesulitan, kesukaran atau juhud, artinya kemampuan. Kedua makna tersebut mengisyaratkan bahwa jihad yang sebenarnya tidaklah sangat mudah, karena harus bisa menjadikan sang mujahid berhadapan dengan aneka kesulitan dan kesukaran. Sang Mujahid juga dituntut untuk tidak berhenti sebelum kemampuannya berakhir atau cita-citanya terpenuhi. Itu sebabnya dalam perjuangan merebut kemerdekaan, para mujahid (baca : Pejuang) bangsa kita berteriak, “Merdeka atau mati.”

Merujuk pada sumber-sumber ajaran Islam baik dari Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi SAW, ditemukan aneka ragam varian jihad bermula dari jihad dengan hati untuk melahirkan atau mengukuhkan tekad, dengan lidah untuk menjelaskan dan membuktikan kebenaran, dengan tenaga, dengan harta, sampai dengan nyawa, demi tegaknya nilai-nilai ajaran Islam:

من قاتل لتكون كلمة الله هي العليا فهو في سبيل الله

“Siapa yang berjuang demi tegaknya kalimat Allah, maka dia telah menelusuri jalan Allah.”

Demikian sabda Nabi saw. Jadi, tujuannya bukan menumpahkan darah, apalagi membunuh, tetapi meninggikan nilai-nilai agama Allah. Perlu dicatat bahwa salah satu dari ajaran agama Allah adalah memberi kebebasan kepada setiap penganut agama atau kepercayaan untuk melaksanakan tuntunan agama atau kepercayaan mereka, sekalipun tuntunan tersebut bertentangan dengan ajaran Islam. Itu yang ditegaskan oleh firman Allah yang pada mulanya ditujukan kepada para kaum musyrik penyembah berhala, “Lakum dînukum wa liya dîn.” Memang jika mereka menghalangi kaum Muslimin untuk melaksanakan tuntunan agama, maka sikap mereka harus dihadapi dengan cara apa pun walau sampai tingkat pertempuran.

Atas dasar yang dikemukakan di atas adalah sangat keliru membatasi makna jihad hanya pada peperangan bersenjata. Bukankah Allah telah memerintahkan Nabi Muhammad SAW. untuk berjihad dengan menggunakan al-Qur’an ketika beliau masih di Mekkah, dimana kekuatan bersenjata ketika itu belum beliau miliki? Allah berfirman:

فَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُم بِهِ جِهَادًاكَبِيرًا

Janganlah patuh kepada orang-orang kafir dan berjihadlah menghadapi mereka dengan al-Qur’an jihad yang besar (QS. al-Furqân [25]: 52).

Jihad yang dimaksud di sini pasti bukan penggunaan kekerasan, tetapi ia adalah berusaha dengan semua kemampuan membulatkan tekad menghadapi kesulitan serta upaya menjelaskan nilai-nilai agama kepada mereka yang menentangnya.

Bukankah Allah memerintahkan Nabi SAW. untuk berjihad menghadapi orang-orang musyrik dan munafik?

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ

Wahai Muhammad, berjuanglah melawan orang-orang kafir yang menyatakan kekafirannya dan orang-orang munafik yang menyembunyikan hakikat mereka dengan segala kekuatan dan bukti yang kamu miliki. Bersikap keraslah dalam berjuang melawan kedua kelompok tersebut. Tempat tinggal mereka adalah Jahannam. Seburuk-buruk tempat kembali adalah tempat mereka. (QS. at-Tahrîm [66]: 9)

Wahai Nabi, berjihadlah menghadapi orang-orang kafir dan orang munafik dan bersikap tegaslah terhadap mereka! Tempat mereka kelak di Jahannam dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali (QS. at-Tahrîm [66]: 9 dan at-Taubah [9]: 73).

Sejarah menjelaskan bahwa tidak seorang munafik pun yang beliau hukum mati, walaupun pelanggaran beratnya telah berulang kali seperti halnya pemimpin kaum munafik, Abdullah bin Ubay bin Salul. Ketika Sayyidina Umar mengusulkan kepada Nabi saw. agar yang bersangkutan dihukum mati, beliau bersabda: “Nanti orang akan berkata bahwa Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya.” Jika demikian, arti jihad pada ayat di atas pun bukanlah penggunaan senjata atau pertempuran.

Fatwa Resolusi Jihad NU yang dikemukakan oleh Hadhratu Syeikh KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945, menyerukan perlawanan terhadap Belanda yang hendak kembali menguasai Indonesia setelah sukses mengalahkan Jepang dalam perang dunia II, ini menjadi cikal bakal kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hingga sampai saat ini.

Oleh karenanya tanpa adanya fatwa resolusi jihad tersebut, niscaya Indonesia saat itu kembali terjajah dan dikuasai.

Sejarah telah mencatat bahwa santri mewakafkan dirinya untuk kemerdekaan Indonesia. Mereka dengan caranya masing-masing membangun kekuatan untuk melawan penjajah.

Dikeluarkannya fatwa resolusi jihad itu sebelum terjadinya peristiwa perang antara arek Surabaya melawan tentara Inggris tanggal 10 November 1945 yang saat ini ditetapkan sebagai hari pahlawan. Semangat perjuangan mereka dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari usaha para kiai dan santri sebelumnya.

Sangat menarik, karena kata Jihad yang berafiliasi kepada Agama dipakai oleh Hadhratus Syeikh untuk kepentingan Negara. Sehingga makna Jihad menjadi luas, memperjuangkan kemerdekaan dan membela Negara Indonesia dari tangan-tangan penjajah.

Begitupula, Jihad Banser yang bertugas di posko-posko mudik sepanjang jalur perjalanan kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat. Penulis melihat sendiri bagaimana perjuangan para Banser yang ikut dalam mengamankan lajur kendaraan juga menbantu Kepolisian dalam mengatur lalu lintas. Hampir di sepanjang Pantura Banser ada, dan hampir di setiap Posko Mudik berdiri satu dua orang Banser yang sesekali melambai-lambaikan tangannya kepada Pengendara Motor juga Mobil. Terlihat sederhana dan biasa saja, namun di hati kecil penulis berpikir bahwa apa yang dilakuka oleh mereka adalah suatu hal yang sangat hebat dan membanggakan. Pasalnya, disaat yang lain ikut memeriahkan Hari Raya Iedul Fitri bersama Keluarga Besar dan Sanak-Saudara. Para Banser malah harus berdiri panas-panasan di pinggir jalan dan jika malam dingin-dinginan ikut dalam membantu Pemerintah dalam hal ini Kepolisian mengatur lajur lalu lintas, bahkan ketika penulis melewati Semarang ada Banser sekitar jam 11 malam yang mengangkut seorang pengendara motor yang jatuh ke Mobil Ambulance yang sudah disiapkan oleh Kepolisian. Hendak turun untuk memotret mereka yang bertugas, namun karena tak mungkin Penulis keluar dari Bus yang penulis tumpangi. Alhasil, hanya bisa memandangi para Mujahid Jalanan tersebut dari dalam Bus, berdecak kagum.
Mereka adalah Mujahid yang sesungguhnya, dengan sungguh-sungguh dan tanpa lelah mereka turun ke jalan, mengatur rambu lalu-lintas bahkan tak jarang ikut aktif dalam kecelakaan-kecelakaan yang terjadi di sekitar Posko Mudik mereka.
Oh iya, tanpa bayaran. Yah, mereka tanpa bayaran sepeserpun. Hanya niat membantu Kepolisian, hanya niat mengabdi kepada Negara, hanya niat menolong sesama. Mereka adalah Mujahid-Mujahid di Zaman Modern yang akan selalu menyebarkan semangat positif, akan terus teregenerasi hingga yaumul Qiyamah.

Mereka Mujahid, yah mereka Mujahid yang sesungguhnya. Bukan yang hanya berani teriak Jihad maupun yang hanya bisa mengadakan seminar-seminar tentang Jihad apalagi mengumpulkan Donasi dari Masyarakat yang katanya untuk para Mujahid. Mereka Banser adalah Mujahid yang sesungguhnya tanpa teriak, mereka sudah melakukan aksi Jihad yang tak semua orang bisa berkorban waktu, tenaga, pikiran bahkan yang untuk melakukan apa yang sudah mereka kerjakan selama menjaga Posko Mudik Iedul Fitri

Aziz ian
Kader GP Ansor Kabupaten Bogor