ISLAM NUSANTARA DAN PENDEKATAN DAKWAH PESANTREN

1771

Oleh: Yoyon Sukron Amin*
Seperti halnya awal kelahiran Islam di Makkah, Islam dikenalkan kepada seluruh masyarakat dunia melalui sebuah pendekatan dakwah yang tidak sederhana. Di Makkah, Nabi Muhammad SAW yang berposisi sebagai pemegang ‘saklar’ tidak serta merta menyalakan lampu yang mempendarkan cahaya Islam di tengah kegelapan masyarakat Arab yang telah menjadi tradisi kala itu. Tidak serta merta, lantaran Muhammad di awal mula proses kehidupannya pun telah diwarnai dengan seperangkat pengalaman yang telah cukup untuk membawanya ke dalam proses permenungan panjang.

Ditambah ‘kegelapan’ masyarakat Arab yang sudah mentradisi adalah sesuatu yang samar di mata pelaku tradisi itu sendiri, dan hanya gamblang dilihat melalui sebuah pandangan yang dihasilkan dari sebuah permenungan panjang yang sudah Nabi lakukan.

Proses permenungan Nabi –selain disebabkan realita sosial masyarakat Arab yang timpang saat itu- diawali juga dengan kehidupan pribadi yang telah melatihnya untuk terbiasa mengandalkan proses berpikir yang cerdas dan kepekaan yang tajam.

Kelahirannya yang tanpa Ayah, kehidupannya dalam ruang kesederhanaan bersama paman dan lain sebagainya, telah membawa diri Muhammad kepada perhatian-perhatian lain yang lebih luas, tentu peran ketuhanan Allah Swt kepada Nabi Muhammad melalui mandat kewahyuan menduduki posisi vital dalam penyebaran Islam di kemudian hari, namun pembentukan pribadi dan ketokohannya yang tidak sederhana menjadi perangkat lain yang harus dimiliki oleh seorang calon pemimpin, sama seperti yang telah dikaruniakan kepada Nabi-nabi lain, sebelum akhirnya mereka menjalankan tugasnya sebagai pendakwah ajaran Tuhan demi kebaikan umat manusia.

Keteguhan dan kekuatan berpikir seorang Nabi menjadi semacam jalan tunggal untuk membaca kondisi dan watak umatnya yang beragam.

Keteguhan dan ketajaman berpikir inilah yang telah mengantarkan keberhasilan Muhammad Saw untuk mengenalkan Islam di tanah Arab, melalui penyesuaian-penyesuaian yang dinamis, dari sembunyi-sembunyi ke metode terang-terangan, dari pemahaman tradisi Makkah hingga analisis sosial masyarakat Madinah.

Pemahaman dan pertimbangan kondisi sosial masyarakat tersebut hingga akhirnya melahirkan sebuah strategi dan pendekatan dakwah yang penuh penghargaan terhadap tradisi, keberagaman serta konsep dakwah dengan penuh kelembutan, seperti yang juga dilakukan Walisongo dan jaringan pesantren dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara, bukan melalui invasi dan pemberangusan tradisi masyarakat lokal.

Walisongo: Pemukul ‘Gong’ KeIslaman Nusantara

Pada ranah perdebatan yang serius, tentu akan muncul sebuah kesimpulan bahwa Walisongo bukan satu-satunya pelopor gerakan dakwah Islam di Nusantara. Banyak bukti dan penjelasan mengenai perkenalan Islam dengan masyarakat Nusantara dilakukan oleh banyak tokoh pendakwah. Mereka disebutkan berasal dari Gujarat –India-, Cina, semenanjung Arab dan lainnya, namun keberadaan Walisongo bisa menjadi ikonik menarik dalam sejarah Islam di Indonesia khususnya tanah Jawa.

Pertama, karena mereka terdiri dari keterwakilan tokoh tanah asal penyebar Islam. Dan yang kedua adalah pendekatan dakwah yang dipakai merupakan hasil analisis kondisi sosial dan watak masyarakat lokal Nusantara.

Gerakan dakwah Walisongo dimulai pada abad ke-14, mereka tinggal dan melakukan syiar Islam di beberapa wilayah penting di pantai utara pulau Jawa, yakni Surabaya, Gresik dan Lamongan untuk belahan Jawa bagian timur, Demak, Kudus dan Muria untuk daerah Jawa bagian tengah, serta Cirebon untuk tanah Jawa bagian barat.

Walisongo berhasil melakukan gerakan dakwah dengan mempertimbangkan kondisi sosio-kultural masyarakat Jawa pada saat itu. Tradisi dan kebiasaan lokal serta keberagaman watak masyarakat tanah Jawa mampu dipahami sebagai peluang untuk mengenalkan Islam. Walisongo mengadopsi kebiasaan-kebiasan yang ada dan berlaku di tengah masyarakat sebagai pintu masuk untuk menyajikan tema keIslaman secara lebih mengena. Bukan dengan cara mendebat kebiasaan sekali pun mereka berhadapan dengan keyakinan agama dan kepercayaan yang telah dianut terlebih dahulu oleh masyarakat lokal.

Agus Sunyoto, dalam atlas Walisongo menjabarkan bahwa konsep “wali songo” merupakan pengambilalihan dari konsep kosmologi Nawa Dewata atau sembilan dewa, yakni dewa-dewa penjaga delapan mata angin ditambah satu dewa di titik pusatnya. Kedudukan dewa-dewa itu kemudian digantikan oleh manusia-manusia yang dicintai Tuhan, atau para wali yang berjumlah sembilan (songo). 

Jadi konsep Wali Songo merupakan pengambilalihan dari konsep Nawa Dewa Dewata yang bersifat Hinduistik menjadi konsep sembilan wali yang bersifat sufistik. Di kalangan penganut ajaran sufi ada sembilan tingkat kewalian dari mulai wali quthub sampai wali khatam, seperti disebut oleh Ibnu Araby dalam Futuhat Makiyyah.

Konsep gerakan dakwah Walisongo dalam menanamkan akidah Islam di antaranya dilakukan dengan menggunakan sarana mitologi dan adat istiadat ataupun simbol-simbol masyarakat yang saat itu masih beragama Hindu-Budha.

–   Terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran wudlu yang melambangkan delapan jalan Budha.

–   Sunan Kudus menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid (setelah masyarakat Hindu tertarik kemudian dikenalkan bahwa dalam Al-Quran juga terdapat surat Al-Baqarah, yang dalam bahasa Indonesia bermakna sapi)

–   Mitologi-mitologi atau kisah dewa-dewa kemudian disisikan akidah Islam yang mengatakan bahwa dewa-dewa asal-usulnya adalah keturunan Nabi Adam.
–   Konsep Mo-Limo yang sebelumnya versi Hindu-Budha yang isinya adalah bahwa seseorang untuk mendapat kesaktian harus Mo-Limo: daging (mamsha), ikan (matsya), minuman keras (madya), bersetubuh (maithuna) dan bersemedi (mudra), kemudian oleh Sunan Ampel diganti menjadi : masyarakat Islam: Moh Madat (makan candu), Moh main (judi), Moh Maling, Moh Minum dan Moh Madon.

Berdakwah dengan membuat gending-gending Jawa yang berisikan ajaran Islam (sinom dan kinanti) dan wayang karena saat itu gending dan wayang sangat disukai masyarakat Sehingga saat itu terjadi perang ideologi para Ulama yang semakin jelas mengarah pada perombakan setting budaya dan tradisi keagamaan yang ada.

Singkatnya perombakan tradisi meliputi 3 hal:

Kebiasaan Semedi sebagai puji mengheningkan cipta, diusahakan berubah menjadi shalat lima waktu.
Kebiasaan sesaji diusahakan menjadi pemberian shadaqah.

Perilaku meniru dewa dalam upacara perkawinan dengan menanam pohon klepu, Dewa Daru, menabuh gamelan Okananta, nyanyian wanita yang mengelu-elukan kehadiran dewa dalam gerak tari tayuban diusahakan dihilangkan dengan jalan kebijaksanaan sehingga tidak menyinggung perasaan hati rakyat banyak.
Metode dakwah Walisongo juga melalui sarana dan prasarana yang berkait dengan masalah perekonomian rakyat.

Jadi dipikirkan masalah halal-haram, masak-memasak sehingga untuk efisiensi dalam perekonomian, mereka berijtihad tentang kesempurnaan alat-alat pertanian, perabot dapur, barang pecah-belah sehingga Sunan Kalijaga menyumbangkan karya seperti filsafat bajak dan cangkul, juga dengan membuat jasa dalam bidang tersebut diharap dapat menarik perhatian masyarakat. Begitu juga Sunan Drajat dengan pemikiran tentang kesempurnaan alat angkutan (transportasi) dan bangun perumahan. Sunan Gunung Jati menyumbangkan pemikiran tentang perpindahan penduduk (migrasi).

Selain itu dalam mengembangkan dakwah keIslaman para wali menggunakan sarana politik. Dalam bidang politik kenegaraan Sunan Giri tampil sebagai ahli negara para Walisongo. Beliau pula yang menyusun peraturan-peraturan ketataprajaan dan pedoman-pedoman tatacara keraton.

Sunan Kudus membantu Sunan Gunung Giri dalam perundang-undangan, pengadilan dan mahkamah.

Walisongo juga berdakwah melalui jalur keluarga dan perkawinan. Oleh Sunan Ampel dalam rangka memperluas dakwah Islam salah satu cara yang ditempuh adalah dengan menjalin hubungan dengan para tokoh Islam muda yang sebagian besar adalah murid Sunan Ampel sendiri.

Demikian beberapa strategi dan pendekatan yang dipakai oleh Walisongo dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa. Dan apabila dikaji lebih mendalam, maka akan didapati beberapa bentuk metode dakwah Walisongo, di antaranya: Pertama, melalui perkawinan. Diceritakan dalam Babad Tanah Jawi di antaranya bahwa Raden Rahmad (Sunan Ampel ) dalam rangka memperkuat dan memperluas dakwahnya, salah satunya, dengan menjalin hubungan geneologis.

Beliau menekankan putrinya, Dewi Murthosiah dengan Raden Ainul Yakin dari Giri. Dewi Murthosimah dengan Raden Patah. Alawiyah dengan Syarif Hidayatullah. Dan putrinya yang lain, Siti Sarifah dengan Usman Haji dari Ngudung.

Kedua, dengan mengembangkan pendidikan pesantren. Langkah persuasif dan edukatif ini mula-mula dipraktekkan oleh Syeikh Maulana Malik Ibrahim di Gresik, kemudian dikembangkan dan mencapai kemajuannya oleh Sunan Ampel di desa Ampel Denta, Surabaya.

Ketiga, mengembangkan kebudayaan Jawa dengan memberi muatan nilai-nilai keislaman, bukan saja pada pendidikan dan pengajaran tetapi juga meluas pada bidang hiburan, tata sibuk, kesenian dan aspek-aspek lainnya. Seperti Wayang, Sekatenan, Falasafah wluku lan pacul Sunan Kalijaga.

Keempat, metode dakwah melalui sarana prasarana yang berkaitan dengan masalah perekonomian rakyat. Seperti tampilnya Sunan Majagung sebagai nayaka (mentri) unison ini. Beliau memikirkan masalah halal-haram, masak-memasak, makan-makanan dan lain-lain. Untuk efesiensi kerja, beliau berijtihad dengan menyempurnakan alat-alat pertanian, perabot dapur, barang pecah-belah. Begun juga Sunan Drajat tampil dengan menyempurnakan alat transfortasi dan bangun perumahan.

Kelima, dengan sarana politik. Dalam bidang politik kenegaraan Sunan Girl tampil sebagai ahli negara Walisongo, yang menyusun peraturan-peraturan ketataprajaan dan pedoman tata cara keraton. Begitu juga Sunan Kudus yang ahli dalam perundang-undangan, pengadilan dan mahkamah.

Sebagai penutup untuk pembahasan tentang islamisasi Jawa oleh Walisongo, setidaknya ada dua faktor elementer yang menopang keunggulan don keistimewaan dakwah para Wall. Pertama, inklusivitas para Wali dalam melihat ajaran Islam. Kedua, potensi dan keunggulan vang dimiliki oleh para Wali. -Mereka telah membuktikan diri sebagai mujtahid yang memahami Islam tidak saja sebagai teori abstrak, tetapi juga sebagai realitas historic kemanusiaan.

Keberhasilan Walisongo diawali dengan metode dan gerakan dakwahnya melalui penjelasan makna Islam secara sederhana dan sesuai dengan pemahaman yang berlaku di tengah masyarakat, sehingga wajah keIslaman Nusantara pada akhirnya memiliki corak yang khas, turut menghargai dan memelihara tradisi masyarakat yang ada, serta dilakukan tanpa disertai pergolakan maupun kekerasan.

Apa yang telah dilakukan Walisongo melalui gerakan dakwahnya merupakan hasil sejarah. Dalam pemahaman lain, sejarah bukan merupakan sesuatu yang statis, diam dan tak berkembang, dia memiliki keterkaitan dan rangkaian waktu yang saling memengaruhi, sehingga apa yang telah diterapkan Walisongo dalam membentuk wajah masyarakat Islam di Indonesia sekarang ini adalah keberhasilan mereka sebagai pelopor keIslaman di Nusantara, selain itu Walisongo adalah intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya.

Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Nusantara terutama Jawa mulai dari bidang pendidikan, kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan  hingga kepemerintahan.

Walisongo dan Seri Dakwah Multikultural
Dalam melakukan dakwah keIslaman, Walisongo dihadapkan pada keberagaman tradisi dan kepercayaan masyarakat Nusantara.

Tentu, selain eksistensi agama Hindu-Budha yang terlebih dulu hadir, hal tersebut juga dilengkapi dengan kepercayaan Kapitayan yang dianut sebagian besar masyarakat Nusantara secara turun temurun. Menghadapi hal tersebut, maka hampir keseluruhan metode dakwah yang dilakukan oleh Walisongo mengadopsi strategi dialogis dan pengadopsian tradisi lokal untuk kemudian dimasukkan poin-poin syariat Islam.

Widji Saksono mencatat, Walisongo meneladani pendekatan dakwah Muhammad Saw -Bil Khikmati wal maudzotil khasanati wa jaadilhum billatii hiya akhsan-. Sebagai praktek dari penyampaian dakwah yang nir-kekerasan, Walisongo memperlakukan sasaran dakwah, terutama tokoh khusus, dengan profesional dan istimewa, langsung pribadi bertemu pribadi.

Kepada mereka diberikan keterangan, pemahaman dan perenungan (tazkir) tentang Islam, peringatan-peringatan dengan lemah lembut, bertukar pikiran dari hati ke hati, penuh toleransi dan pengertian. Metode Ini dapat dilihat pada kasus Sunan Ampel ketika mengajak Ariya Damar dari Palembang masuk Islam. Juga pada Sunan Kalijaga ketika mengajak Adipati Pandanarang di Semarang untuk masuk Islam.

Dalam pendekatan bil hikmah, Walisongo menggunakannya dengan jalan kebijaksanaan yang diselenggarakan secara populer, atraktif dan sensasional. Pendekatan Ini mereka pergunakan terutama dalam menghadapi masyarakat awam. Dalam rangkaian Ini kita dapati kisah Sunan Kalijaga dengan gamelan Sekaten-nya.

Atas usul Sunan Kalijaga, maka dibuatlah keramaian Sekaten atau Syahadatain yang diadakan di Masjid Agung dengan memukul gamelan yang sangat unik, baik dalam hal langgam dan lagu maupun komposisi instrumental yang telah lazim selama ini. Begitu juga dakwah Sunan Kudus dengan lembut yang dihias secara unik dan nyentrik. Apabila kedua pendekatan ini tidak berhasil, barulah mereka menempuh jalan lain yaitu Al-Mujadalah billati hiya ahsan. Pendekatan ini terutama diterapkan terhadap tokoh yang secara terus terang menunjukkan sikap kurang setuju terhadap Islam.

Selanjutnya, metode dialogis yang digunakan Walisongo tersebut merupakan semacam kunci atas pemahaman terhadap realita keberagaman tradisi budaya dan kepercayaan masyarakat Nusantara yang sudah ada. Metode Bil Khikmati wal maudzotil khasanati wa jaadilhum billatii hiya akhsan dijadikan sebuah draft penting dalam gerakan dakwah multikultural yang dilakukan oleh Walisongo.

Walisongo dan Lembaga Dakwah Pra-Pesantren

Di sisi lain, Walisongo juga memakai strategi tarbiyyah al-‘ummah, terutama sebagai upaya pembentukan dan penanaman kader, serta strategi penyebaran juru dakwah ke berbagai daerah.

Sunan Kalijaga misalnya, mengkader Kiai Gede Adipati Pandanarang (Sunan Tembayat) dan mendidik Ki Cakrajaya dari Purworejo, kemudian mengirimnya ke Lowanu untuk mengIslamkan masyarakat di sana. Sunan Ampel mengkader Raden Patah kemudian menyuruhnya berhijrah ke hutan Bintara, membuat perkampungan dan kota baru dan mengimami masyarakat yang baru terbentuk itu. untuk penyebaran juru dakwah dan pembagian wilayah kerja Walisongo, digambarkan oleh Mansur Suryanegara, mempunyai dasar pertimbangan geo-strategis yang mapan.

Jawa Timur mendapat perhatian besar dari para Wali. Di daerah ini ditempatkan lima wali dengan pembagian teritorial dakwah yang berbeda. Maulana Malik Ibrahim, sebagai Wali perintis, mengambil wilayah dakwahnya di Gresik. Setelah wafat, wilayah ini diambil alih oleh Sunan Giri. Sunan Ampel mengambil posisi dakwahnya di Surabaya. Sunan Bonang sedikit ke utara di Tuban. Sedangkan Sunan Drajat di Sedayu. Berkumpulnya kelima Wali di Jawa Timur adalah karna kekuasaan politik saat itu berpusat di wilayah ini. Kerajaan Kediri di Kediri dan Majapahit di Mojokerto.
Di Jawa Tengah, para Wali mengambil posisi di Demak, Kudus dan Muria.

Sasaran dakwah para Wali di Jawa Tengah tentu berbeda dengan yang di Jawa Timur. Di Jawa Tengah, dapat dikatakan bahwa pusat kekuasaan Hindu- Budha sudah tidak berperan, tetapi realitas masyarakatnya masih banyak dipengaruhi oleh budaya Hindu-Budha. Sehingga dalam berdakwah, Walisongo di Jawa Tengah ini banyak menggunakan instrumen budaya lokal, seperti wayang, gong gamelan dan lain-lain, untuk dimodifikasi sesuai dengan ajaran Islam.

Saat berlangsung aktivitas ketiga wali tersebut, pusat kekuasaan politik dan ekonomi beralih ke Jawa Tengah, ditandai dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit dan munculnya Kerajaan Demak, yang disusul kemudian dengan lahirnya Kerajaan Pajang dan Mataram II. Perubahan kondisi politik seperti ini, memungkinkan ketiga tempat tersebut mempunyai arti geostrategis yang menentukan.

Sedangkan di Jawa Barat, proses islamisasinya hanya ditangani oleh seorang wali, yaitu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Dengan pertimbangan saat itu penyebaran ajaran Islam di Indonesia Barat, terutama di Sumatera dapat dikatakan telah merata bila dibandingkan dengan kondisi Indonesia Timur. Adapun pemilihan kota Cirebon sebagai pusat aktivitas dakwah Sunan Gunung Jati, hal itu tidak bisa dilepaskan hubungannya dengan jalan perdagangan rempah-rempah sebagai komoditi yang berasal dari Indonesia Timur.

Dan Cirebon merupakan merupakan pintu perdagangan yang mengarah ke Jawa Tengah, Indonesia Timur dan Indonesia Barat. Oleh karena itu, pemilihan Cirebon dengan pertimbangan sosial politik dan ekonomi saat itu, mempunyai nilai geo-strategis, geo-politik dan geo-ekonomi yang menentukan keberhasilan Islam selanjutnya.

Gerakan dakwah Walisongo dengan sistem jaringan tersebut kemudian lebih diterapkan dengan meningkatkan kapasitas komunitas yang dibangunnya. Hingga pada akhirnya muncullah istilah pesantren, sebuah kelembagaan pendidikan dan dakwah Islam tertua yang terdapat hampir di setiap wilayah dakwah keIslaman di Nusantara.

NU dan Peran Jaringan Dakwah Pesantren
Seperti halnya gerakan dan metode dakwah yang dilakukan oleh Walisongo, pesantren juga berdiri sebagai komunitas penerus prinsip dakwah keIslaman yang memahami dan mengakomodir realita keberagaman tradisi dan budaya lokal masyarakat Nusantara.

Dalam sejarahnya, masyarakat pesantren semakin memahami bahwa kekuatan jaringan untuk gerakan dakwah seperti yang dilakukan oleh Walisongo merupakan pilihan yang paling strategis. Maka tak salah, jika pesantren menjadikan tahun 1926 sebagai awal pemaksimalan prinsip jaringan melalui keorganisasian yang kemudian diberi nama Nahdlatul Ulama (NU).

Peran pesantren dan NU dalam upaya menjaga keseimbangan antara dimensi-dimensi ekstrimitas sikap keislaman dengan mayoritas umat Islam di Indonesia yang bersikap tasamuh dewasa ini terus menguat. Di samping memang itu ajaran yang diterapkan di pesantren dari dahulu, upaya ini dilakukan mengingat semakin maraknya gerakan-gerakan Islam fundamental yang berusaha mengganti tradisi keindonesiaan dengan tradisi Arab yang mereka anggap sebagai citra Islam sejati.

Sebagai lembaga keagamaan yang turut menjadi benteng moral-agama bangsa, pesantren dan NU memang berada di garda depan menghadapi persoalan yang hendak merubah wajah Islam Indonesia tersebut. Jelas, itu karena pertentangan kelompok tersebut dengan prinsip-prinsip yang diterapkan di dalam pesantren selama ini.

Pesantren menggunakan kitab kuning sebagai lokomotif kemajuan keilmuan dengan nuansa diskusinya yang begitu kental. Kemajuan keilmuan yang berdasar pada kitab kuning ini, selain betapa kayanya pemikiran di dalam kitab tersebut, juga berangkat dari pluralitas pandangan yang ditawarkan oleh para pakar di dalam kitab tersebut. Hal ini wajar, sebab ulama yang menyusun kitab-kitab tersebut berasal dari berbagai daerah, yang mana jelas terpengaruh oleh budaya lokal di mana ulama tersebut hidup, belajar, dan memperoleh pengalaman spiritual.

Sehingga, dalam lanskap ini, berlangsung dialog antara santri dengan khazanah pemikiran yang berbeda-beda itu. Tidak jarang, suatu permasalahan diselesaikan dengan alternatif jawaban yang beragam antara satu dengan yang lain. Dengan demikian, santri begitu adaptif dengan keberagaman pandangan, yang sekaligus mendorong mereka ikut berkompetisi dengan mengemukakan pendapat independen melalui metode qiyas.

Sikap inklusif atas variasi pemikiran di atas juga membuat mereka tidak menutup mata atas pandangan-pandangan lintas madzhab selain empat madzhab, Maliki, Syafi’i, Hanafi, dan Hanbali.

Dalam konteks keilmuan, hal ini menunjukkan adanya nilai perbandingan (muqoronah), yang dapat meminimalisir stagnasi paradigma dalam menyelesaikan suatu persoalan mutakhir. Maka, diskursus-diskursus keagamaan yang berkembang di pesantren menjadi dinamis dan selalu memberikan berbagai alternatif solusi cerdas.

Jargon yang ada di pesantren al-muhafadhah ala al-qadim al-shalih wa al-ahd bi jadid al-ashlah -mempertahankan tradisi masa lalu yang baik dan mengambil tradisi atau budaya baru yang lebih baik- merupakan model pesantren dalam pengembangan pemikiran yang harmoni. Sikap berusaha menjaga harmonitas ini membuat pesantren begitu adaptif, bukan saja terhadap pandangan klasik, melainkan juga terhadap pandangan kontemporer.

Maka tidak salah, dalam hal dakwah, pesantren mampu menyapa kemajemukan dalam masyarakat untuk menyampaikan substansi ajaran-ajaran Islam, tanpa harus menyisihkan budaya lokal, selama tidak bertentangan dengan tauhid. Konstruksi paradigma wacana keilmuan yang adaptif itulah yang kiranya menjadi bekal pesantren dalam dakwah secara dinamis, yaitu lebih mengedepankan substansi daripada cara.

Dengan sikap seperti ini, pesantren dan NU mempunyai banyak keuntungan dari segi eksistensinya di tengah-tengah kultur masyarakat yang majemuk. Pesantren mudah diterima menjadi bagian dari mereka, sehingga seringkali dilibatkan dalam berbagai kegiatan sosial-kemasyarakatan.

Tantangan Pendekatan Dakwah Islam Pesantren

Perjalanan sejarah bangsa Indonesia, kini telah diwarnai oleh mobilitas sosial yang sangat tinggi. Terjadi akulturasi -percampuran budaya- dan transkulturasi -tarik menarik antarbudaya-, sejalan dengan kemajuan tekonologi dan perkembangan ilmu pengetahuan. Perkembangan yang spektakuler adalah pada teknologi komunikasi, yang kemudian sangat mempengaruhi pola dakwah masa kini.

Dalam kaitan dengan tantang dakwah pesantren, kelembagaan pesantren merupakan konsep sosial yang diitrodusir ke dalam kegiatan pendidikan dakwah. Jadi gerakan dakwah pesantren merupakan kebijakan dakwah yang mampu mengayomi setiap kelompok dan mengapresiasi perbedaan kultur di masyarakat.

Setiap kebijakan dakwah diharapkan mampu mendorong lahirnya sikap apresiatif, toleransi, prinsip kesetaraan antar budaya, kesetaraan gender, kesetaraan antar pelbagai kelompok etnik, kesetaraan bahasa, agama, dan sebagainya.

Memilih tema dakwah yang multikulturalis adalah pilihan-pilihan gerakan dakwah pesantren yang secara tidak langsung,  menangkap kominten sosial untuk secara bersama-sama mengusung persoalan kemajemukan dan untuk kemaslahatan bangsa itu sendiri. Karena bagaimanapun kegiatan dakwah yang berhasil adalah yang selalu mempertimbangkan sisi kultural sekaligus multikultural dalam masyarakat.

Islam Nusantara dan Tradisi Keagamaan Indonesia

Sebuah nilai yang dibawa oleh Islam sebagai agama, di satu sisi memicu sebuah revolusi besar yang mendobrak kemapanan sistem yang telah kokoh mengakar selama ribuan tahun.

Islam mengantarkan sebuah kabar kepada setiap manusia, dimanapun ia berada, siapapun ia, apapun warna kulitnya, untuk mulai memandang seluruh manusia sama sekali tidak berbeda dengan dirinya sendiri.
Di Nusantara, ribuan orang pergi meninggalkan takdirnya sebagai Sudra cukup dengan mengucap “La ilaha ilaLlah Muhammad RasuluLlah”. Sebegitu simpelnya. 

Grass root yang dulu bekerja untuk Borobudur, Prambanan, Kedung Songo, Candi Sewu, maupun kemegahan-kemegahan produk budaya lainnya, memperoleh ruang untuk menemui nasibnya yang baru sebagai manusia yang lain. Dengan mencantolkan diri kepada identitas Islam, fitrah kemanusiaannya menjadi setara dengan siapapun.

Manusia dilahirkan dalam kesucian yang sama, baik ia bayi dari seorang permaisuri kaisar maupun bayi dari budak belian. Dan, nilai kemanusiaan yang paling mendasar inilah yang kemudian mampu “menggembosi” kekuatan dinasti-dinasti Hindu-Budha secara permanen tepat dari jantungnya.

Di samping itu, selain Islam sebagai sebuah nilai, memasuki abad 9 hingga 17, setiap kerajaan Hindu-Budha juga menghadapi permasalahan lain dari luar dirinya akibat dari perkembangan Islam.

Jalur perdagangan yang dikuasai oleh Islam sejak jatuhnya Persia dan Bizantium adalah faktor besar yang menjadikan raja-raja Hindu-Budha “tidak boleh” bersikap gegabah dalam menghadapi orang-orang Islam di wilayahnya.

Karena, pada masa ini aspek-aspek niaga praktis telah pula didominasi oleh saudagar-saudagar muslim. Dan, perdagangan yang sedemikian rupa memakmurkan itu telah tersambung dari Laut Mediterania, Teluk Persia, Samudera Hindia, hingga ke Laut Cina Selatan.

Kedatangan Islam ke Nusantara, yang menurut peninggalannya telah berlangsung seiring dengan tersambungnya jalur perdagangan dunia melalui laut, telah menghasilkan pergulatan dalam satu aspek sosial yang vital dan dampaknya berpengaruh hingga amat jauh ke depan.

Sejak Sriwijaya tampil sebagai imperium dan emporium, juga Majapapahit, peran hegemoninya telah dirundung oleh berbagai dinasti Islam yang muncul di Barat dan Timur dunia. Di masa ini kekuasaan Islam pun terus luber tak terbendung.

Walau demikian, berkenaan dengan kedatangannya, Islam di Nusantara memiliki perbedaan corak yang amat mencolok dengan asklerasi Islam di region lain di dunia. Dan, perbedaan inilah yang kemudian menjadi anti-thesis atas stereotipe Islam sebagai pedang yang selalu menebas.

Orang-orang Islam yang masuk ke Nusantara, meskipun memiliki pengetahuan tentang jaringan niaga dunia, tidak serta-merta memanfaatkan potensi kekuatannya di bidang ekonomi untuk mencetuskan sebuah institusi kekuasaan baru.

Konsisten dengan substansi nilai agama yang dikandungnya, kedatangan para Alawyin di Nusantara tidak disertai dengan ambisi membangun dinasti-dinasti.
Sejak awal kedatangannya, Islam di Nusantara hanya merasuk secara berangsur-angsur tanpa disertai gerakan yang konfrontatif.

Potensi kekuatan orang-orang Islam di bidang ekonomi (jaringan niaga) tidak pula dimanfaatkan sebagai alat politik yang vis a vis di hadapan kedaulatan dinasti-dinasti Hindu dan Budha di Nusantara.

Bahkan, di tengah depresi ekonomi yang melanda Majapahit, kemunculan Maulana Malik Ibrahim sebagai tokoh Islam, hanya berjalan dalam irama kultural yang jauh dari hiruk-pikuk politik dan kemewahan emporium.

Dari pembahasan tersebut, jelaslah bahwa sejarah Islam di Nusantara dapat dimunculkan sebagai tradisi keagamaan di Indonesia, Islam yang tanggap terhadap keberagaman budaya, lebih merujuk kepada nilai, bukan pembentukkan kekuasaan dan keagamaan yang formalistik, dan hal inilah yang selama masa ke masa dikenalkan oleh sistem dakwah yang dilakukan melalui jaringan pesantren

*Penulis merupakan Pengurus Cabang GP Ansor Kabupaten Cirebon

Daftar Pustaka

  • Ahmad Baso, Pesantren Studies; Kosmopolitanisme Peradaban Kaum Santri Dimasa Colonial, Buku Ii Juz kedua Sastra Pesantren dan Jejaring Teks-teks Aswaja Keindonesiaan dari Wali Songo ke Abad 19 (Jakarta:Pustaka Afied, 2012)
  • Asrori S. karni, Etos studi kaum Santri. (Bandung:Mizan,2009).
    Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi Dan Modernisasi Di Tengah Tantangan Millennium III. (Jakarta:Kencana,2012)
  • Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo. (Bandung: Mizan, 2012)
  • Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah atas Metode Dakwah Walisongo . (Bandung, Mizan, 1996)