Gus Dur, Pemimpin Muslim Pecaya Diri

809

Menjadi corong suara Muslim tradisional yang sekian puluh tahun oleh kalangan akademik dikategorikan kaum konservatif, , jumud, pemuja takhayul, bid’ah, khurafat, sinkretis dan atribut-atribut keterbelakangan lainnya yang dipandang menjadi penghambat laju modernitas.

Disaat Islam politik ditekan oleh penguasa orde baru dengan instrumen Pancasila alat legitimasinya, Gus Dur bersama kiai-kiai NU lainnya menerima Pancasila sebagai azas tunggal dengan tetap menjadikan Ahlussunnah Waljamaah sebagai landasan aqidahnya. Dimata Gus Dur dan para kiai, Pancasila sudah sejalan dengan prinsip ajaran Islam. Hingga penghujung akhir hayatnya, Gus Dur mati-matian membela Pancasila.

Tatkala sebagian elit muslim tanah air giat “mencari muka” dimata Soeharto dengan mendirikan ICMI, Gus Dur malah bersama aktivis gerakan lainnya memilih bersebrangan dengan membentuk Forum Demokrasi. Baginya, politik sektarian sangat berbahaya bagi pertumbuhan demokrasi yang sedang diperjuangkan dan akan lebih mengukuhkan prilaku politik totalitarian presiden Soeharto.

Pada dekade yang sama, dimana sebagian elit muslim berpeluk mesra bersama rezim berkuasa, Gus Dur memilih berjibaku dengan pejuang kemanusiaan lainnya menolak keras pembangunan waduk Kedung Ngombo yang mengakibatkan masyarakat setempat terusir dari tanah kelahirannya. Dari sikapnya ini Soeharto marah besar dan berupaya keras menggusur wibawa Gus Dur dari kursi Ketua Umum PBNU seperti yang terjadi dalam muktamar paling dramatis di Pesantren Cipasung Tasikmalaya tahun 1994.

Seorang pemimpin ormas islam terbesar di tanah air, namun Sepak terjangnya seringkali dianggap melukai perasaan ummat Islam. Dimata mereka, Gus Dur lebih getol membela non muslim dan warga minoritas. Tatkala terjadi peristiwa pembakaran gereja Situbondo, Gus Dur malah minta maaf lalu mengintruksikan Ansor dan Banser untuk selalu menjaga perayaan Natal mereka.

Demikian pula, Gus Dur menjadi tokoh yang paling keras  menolak kekerasan kepada kaum Ahmadiyah, turut melindungi orang Syiah di Indonesia, menyantuni kelompok Tionghoa dengan pengakuan perayaan imlek dan menjadikan Konghucu sebagai salah satu agama resmi di Indonesia. Sebagai seorang pengamal UUD 1945, Gus Dur hanya ingin menegaskan siapapun penganut agama memili hak dan perlakuan yang sama di mata Negara.

Demikian pula, Gus Dur mengasihani Inul yang dicerca gara-gara goyang ngebornya, mengapresiasi seorang Dorce Gamalama, mendukung Ahmad Dhani yang berseteru dengan FPI dan sebagainya.

Dalam pada masyarakat (Islam) Indonesia masih memendam peristiwa traumatik PKI dan hantu komunisme, Gus Dur sekonyong-konyong sebagai seorang Presiden meminta maaf atas kekejaman Negara kepada mereka dan bermaksud mencabut Tap MPR yang melarang ajaran komunis. Padahal Gus Dur pasti tahu,tidak sedikit ummatnya (kaum Nahdliyin) yang menjadi korban akibat benturan dengan kelompok ini. Disini, Gus Dur ingin mengajarkan kepada generasi muda NU agar kelak tidak mewarisi dendam sejarah sesama anak bangsa.

Ketika pengikutnya siap mati akibat pelengseran inkonstitusional dirinya oleh para pecundang politik dan gerakan sekelompok milisi muslim yang digerakan Tentara, Gus Dur lebih merelakan dirinya turun dari tahta kekuasaan daripada menimbulkan rakyatnya terjebak dalam pertumpahan darah.

Sosok pemberani untuk melawan arus besar dengan segala resiko yang harus ditanggungnya. Akibat sikap, ucapan dan tindakannya itu Gus Dur dicaci maki, dihina, dikutuk dan disumpahserapahi. Namun, Gus Dur tetap teguh atas prinsip dan keyakinannya. Sebagai seorang pemimpin, Gus Dur – meminjam bahasa KH. Husein Muhammad dalam bukunya Sang Zahid –  rela menanggung luka demi menegakkan harkat manusia, membela keagungan agama dimuka bumi. (Edi Rusyandi)