Gerakan Perempuan dalam Meretas Radikalisme

309

Oleh: Dhilla Nuraeni Az-zuhri (Mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana UNINUS Bandung/ Wakil Sekretaris I PW IPPNU Provinsi Jawa Barat)

Salah satu dari sekian banyak elemen masyarakat yang harus proaktif dalam gerakan upaya meretas jalan radikalisme adalah perempuan. Ya, perempuan melalui transformasi diskursus dan gerakan kesetaraan gender, memiliki andil yang signifikan. Potensi feminitas dalam diri perempuan mempunyai kesinambungan dalam membumikan nilai-nilai kasih sayang, kemanusiaan dan perdamaian.

Dalam mengimplementasikan gerakan ini, bisa kita ambil contoh Gerakan Moral yang mengampanyekan wajah agama yang humanis, inklusif, dan pluralis.

Sebagaimana telah diprakarsai tokoh-tokoh agama dari pelbagai organisasi keagamaan, seperti NU, Muhammadiyah, Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Hindu, dan Konghucu, setelah menelan pahit beberapa fakta radikalisme dan terorisme.

Gerakan perempuan melalui transformasi kultural dan pemberdayaan berperspektif keadilan dan kesetaraan gender harus dapat turut mempropagandakan kebersikapan anti radikalisme dan terorisme. Gerakan ini tidak dimaksudkan sebagai sebuah gerakan represif, melainkan merancang sebuah gerakan proaktif perempuan, yang proses garapannya selalu berjalan sinambung, berkelanjutan, dan menyeluruh.
Gerakan proaktif perempuan ini begitu penting, sekurang-kurangnya dapat dilihat dari dua sisi.

Sisi pertama, bahwa aksi radikalisme (berikut radikalisme) yang selama ini meledak, pelakunya mayoritas atau hampir semuanya adalah laki-laki. Sisi kedua, kuantitas perempuan di Indonesia hampir separuh dari jumlah laki-laki. Sehingga gerakan ini dirasakan cukup efektif sebagai antisipasi dan pencegahan agar perempuan tidak menjadi pelaku aksi radikalisme.

Beberapa wujud konkrit dari gerakan proaktif yang harus dilakukan perempuan ini antara lain; pertama, melakukan reinterpretasi terhadap teks-teks (baik dalam al-Qur’an maupun al-Hadits) yang berpotensi melahirkan aksi kekerasan yang diakibatkan kedangkalan dan kekeliruan interpretasi.

Kedua, melakukan sosialisasi akan pentingnya membangun kehidupan yang damai, santun, dan toleran terhadap pluralitas.

Ketiga, melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat dan generasi muda khususnya terhadap generasi muda perempuan, selain ia diberikan pemberdayaan berperspektif gender, pun diberikan pemberdayaan yang berbasis ekonomi lantaran tidak jarang tindak radikalisme disebabkan motif himpitan ekonomi.

Radikalisme, Konsekuensi dan Refleksi
Disadari atau tidak, realitas radikalisme dewasa ini, merupakan konsekuensi wajar dari kran reformasi yang telah bergulir tidak kurang dari 13 tahun silam.

Sama seperti beberapa konsekuensi yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan; krisis ekonomi global, kisruh politik dan korupsi, belum ajegnya sistem pendidikan, belum optimalnya pemanfaatan sumber daya alam, kemiskinan, pengangguran, dan lain sebagainya.

Tetapi perlu diingat bahwa sesulit dan sekompleks apapun kenyataan radikalisme dan realitas pahit lain diberbagai aspek kehidupan, kita sebagai bangsa Indonesia tidak boleh pesimis, tetap harus optimis sembari melakukan ikhtiar dalam mengupayakan strategi yang mengarah pada pengentasan radikalisme dan masalah-masalah lainnya.

Kiranya, fenomena radikalisme ini tetap dapat dijadikan pelajaran, betapa tidak mudah membangun sebuah tatanan kehidupan yang berjalan diatas rel kebebasan disatu sisi dan perdamaian disisi lain.

Untuk itu, sebagaimana melalui reinternalisasi ajaran tauhid dalam Islam dan komitmen bersama untuk kembali pada empat pilar, setidaknya dapat memberikan tawaran baru untuk bersama-sama kembali komitmen dalam membangun kebebasan dan hidup damai di tengah pluralitas.

Dengan demikian, dari niat dan disertai upaya-upaya konkrit gerakan proaktif perempuan dan gerakan serupa dari berbagi komponen masyarakat lainnya, penulis optimis bahwa tatanan kehidupan yang terbuka, toleran dan damai akan terwujud. Wallahu ‘alam.

*)Tulisan ini ditulis dalam rangka menyambut Hari Kartini, 21 April 2017 mendatang dan sebagai bentuk perwujudan dari perempuan sebagai benteng anti radikalisme dan terorisme. Tema ini diambil untuk antisipasi maraknya pemanfaatan perempuan dalam aksi dan jaringan terorisme.